Tuesday, November 17, 2009

Sholat di Belakang Shaff Seorang Diri

Jika seorang muslim memasuki masjid dan menemukan jama'ah yang sedang sholat, dan tidak ada tempat dalam shaff tersebut, haruskah dia sholat (berjama'ah) di belakang mereka seorang diri, ataukah mengajak seorang jama'ah yang berada di shaff depannya untuk berdiri di sampingnya?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah.

Kami telah menyatakan dalam jawaban sebelumnya, menanggapi pertanyaan no. 41025 bahwa tidak dapat diterima sholat jama'ah di belakang shaff, seorang diri. Hal ini merupakan pendapat Imam Ahmad, dan merupakan pendapat yang disokong lebih dari satu ulama.

Sheikh Ibnu ‘Uthaymin (semoga ALLah merahmatinya) ditanya tentang persoalan ini dan dia memberikan jawaban rinci di mana beliau berkata:

Diskusi mengenai persoalan ini meliputi 2 topik:

1 – Apakah sholatnya orang yang berdiri di belakang shaff jama'ah seorang diri itu sah atau tidak?

2 – Jika kita mengatakan itu tidak sah, dan dia menemukan shaff telah penuh, apa yang harus dia lakukan?

Berkaitan dengan topik yang pertama, para ulama (semoga Allah merahmati mereka) memiliki perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.

Beberapa dari mereka mengatakan bahwa sholatnya seorang yang berdiri di belakang jama'ah seorang diri, itu sah, entah dia memiliki alasan (yang dapat dimaklumi secara syar'i) atau tidak, namun beberapa dari ulama tersebut menyatakan bahwa hal ini makruh apabila seseorang melakukannya tanpa memiliki alasan syar'i. Ini merupakan pendapat tiga Imam, Imam Malik, Syafi'i dan Abu Hanifah.

Mereka mengutip sebagai bukti bahwa sholatnya seorang wanita yang sholat di belakang shaff itu sah, dan mereka mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam kaitannya dengan aturan Islam. Dan Nabi (sallallahu 'alaihi wassalam) tidak mengatakan pada Abu Bakar untuk mengulangi sholatnya, ketika dia sujud sebelum bergabung dengan barisan (shaff). [Hadits tentang Abu Bakar yang diriwayatkan Bukhori, 783]

Dan Nabi (sallallahu alaihi wassalaam) membawa Ibnu `Abbas dari belakang untuk berdiri di samping beliau selama sholat tersebut [diriwayatkan oleh Bukhari, 117 dan Muslim, 763]. Jika diizinkan bagi seorang muslim untuk berdiri sendirian selama sebagian sholat, maka tentu diizinkan baginya untuk melakukan yang demikian itu selama keseluruhan sholat tersebut, karena jika itu membuat sholat tersebut tidak sah, maka tidak akan ada bedanya entah itu dilakukan dalam tingkatan yang lebih kecil ataupun yang lebih besar, seperti berdiri di depan imam.

Mereka menanggapi hadits yang melarang sholat dengan berdiri sendiri di belakang shaff dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksudkan adalah sholat yang dilakukan dengan cara tersebut memiliki nilai kurang (namun bukan berarti tidak sah). Ini seperti hadist di mana Nabi (sallallahu alaihi wa salaam) berkata, "Tidak ada sholat ketika makanan telah siap" [Muslim, 650], dan sebagainya.

Beberapa ulama mengatakan bahwa sholatnya seseorang yang berjamaah dengan berdiri seorang diri di belakang shaff itu tidak sah. Ini merupakan pandangan Imam Ahmad yang masyhur di antara sahabat-sahabatnya. Ada khabar lain dari beliau di mana beliau setuju dengan tiga imam lainnya.

Mereka yang mendukung pendapat ini mendasarkannya pada pemikiran rasional dan hadits:

Hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (15862) dari `Ali ibnu Shayban (rodhiyallahu anhu), di mana Nabi (sallallahu alaihi wassalam) melihat seorang lelaki sholat di belakang shaff dan ketika dia selesai, Rasul saw mengatakan padanya: "Ulangilah sholatmu, karena tidak ada sholat bagi seseorang yang sholat sendiri di belakang shaff." Ini adalah hadits hasan di mana ada khabar yang menguatkan bahwa itu adalah hadits shohih.

Sebagaimana pemikiran rasional, jama'ah (jema'at) terjadi dengan adanya kebersamaan, di mana orang-orang berada di tempat yang sama, melakukan perbuatan yang sama. Oleh karenanya orang-orang yang berjama'ah bertindak serentak, mengikuti imam, dan mereka dikumpulkan di tempat yang sama, yakni shaff. Jika kita mengatakan bahwa diizinkan bagi mereka untuk memisahkan diri satu sama lain, bagaimana mereka bisa berpadu dalam suatu jama'ah?

Para ulama ini menjawab hujjah yang dikutip oleh mereka yang mengatakan bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita berdiri sendirian mengikuti sholat berjamaah di belakang shaff laki-laki dengan mengatakan bahwa Sunnah menunjukkan kalau ini merupakan fatwa yang berlaku hanya bagi perempuan, sebagaimana pada hadits dari Anas yang mengatakan: "Anak yatim dan aku berdiri di belakang beliau -artinya di belakang Rasululullah (sallallahu alaihi wassalaam) - dan perempuan tua berdiri di belakang kami," [diriwayatkan oleh Bukhari, 234; Muslim, 658], karena yang demikian itu tidak pantas baginya untuk berdiri di samping jama'ah laki-laki.

Berkaitan dengan hadist dari Abu Bakar, dia tidak sholat sendiri kecuali untuk waktu yang singkat saja dan Rasulullah (sallallahu alaihi wasSalaam) berkata padanya: "Jangan mengulanginya lagi."

Berkaitan dengan hadits dari Ibnu Abbaas, dia tidak berdiri di belakang barisan (shaff) jama’ah, melainkan ia hanya lewat saja dan tidak untuk berdiri dan menegakkan sholat.

Berkenaan dengan pandangan mereka di mana mereka berpendapat bahwa maksud hadits yang mengatakan bahwa “tidak ada sholat bagi seseorang yang berdiri di belakang barisan (shaff) tersebut” adalah bahwa sholatnya berkurang (kualitasnya, pent) namun tetap sah, interpretasi semacam ini harus ditolak karena prinsip dasar mengenai peniadaan dalam bahasa Arab biasanya harus dapat dipahami sesuai artinya, bahwa hal yang seperti itu menunjukkan ketiadaan; jika tidak dapat ditafsiri dengan cara ini, maka harus bisa dimengerti sebagaimana artinya bahwa hal tersebut tidak sah; apabila hal ini tidak bisa ditafsirkan dengan cara ini, mudah-mudahan dapat dipahami sebagaimana makna bahwa melakukan hal yang seperti itu akan memiliki nilai kurang atau tidak sempurna. Demikianlah hadits dalam pertanyaan tersebut, mungkin tadinya dipahami dengan arti bahwa “sholatnya tidak sah itu” harus diinterpretasikan dengan cara tersebut tadi di atas.

Hal ini berhubungan dengan mereka mengutip hadits, “Tidak ada sholat ketika makanan telah siap,” interpretasi mereka mengenai tidak adanya sholat ini memiliki 2 makna:

1. Alasan untuk hal ini adalah bahwa bisa jadi pikiran menjadi kacau karena makanan yang siap. Kacaunya pikiran akibat hal tersebut bukan berarti sholatnya menjadi tidak sah, sebagaimana yang telah jelas dari hadits tentang waswasah (bisikan syaithon) di mana dikatakan bahwa syaithon datang kepada hamba Allah yang tengah sholat dan berkata,”Ingatlah ini dan ini, ingatlah ini dan ini,” yang tadinya dia tidak ingat, dan syaithon terus melakukan hal itu sampai (hamba Allah tadi) tidak ingat dia sudah sholat berapa raka’at. [Diriwayatkan oleh Bukhari, 608; Muslim, 389].

2. Hadits tersebut yang menyatakan, ”Tidak ada sholat bagi seseorang yang berdiri sendiri di belakang barisan (shaff)” secara jelas menunjukkan bahwa sholat tersebut tidak sah karena Rosul (sallallahu alaihi wa salaam) menyuruhnya untuk mengulangi sholatnya dan menyatakan bahwa alasan dari hal tersebut yakni karena tidak ada sholat bagi seorang yang berdiri sendirian di belakang (shaff).

Dalam hadits Waabisah dinyatakan bahwa Rasul (sallallahu alaihi wa salaam) melihat seorang pria sholat sendiri di belakang barisan (shaff), dan beliau menyuruhnya untuk mengulangi sholatnya. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 682; Tirmidzi, 230]

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat yang paling benar adalah bahwa berdiri di belakang shaff jama’ah adalah suatu kewajiban dan bahwa sholatnya seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaff itu tidak sah, dan dia harus mengulangi sholatnya karena dia telah mengabaikan kewajibannya untuk berdiri dalam barisan shaff jama’ah.

Tetapi kewajiban ini, seperti kewajiban lainnya, akan dibebaskan bila tidak ada ruang di dalam barisan shaff jama’ah, atau apabila seseorang tidak mampu melakukannya karena alasan syar’i yang diperkenankan, atau karena secara fisik dia tidak mampu mengerjakan kewajiban itu, karena Allah berfirman (interpretasi dari artinya):

Maka bertakwalah kamu (lakukanlah kewajibanmu) kepada Allah menurut kesanggupanmu [QS al-Taghaabun 64:16]

Dan Rasul (sallallahu alaihi wassalam) berkata: “Ketika aku memerintahmu melakukan sesuatu, lakukanlah menurut kesanggupanmu.” [Diriwayatkan oleh Bukhari, 7288; Muslim, 1227]. Jadi dia harus berdiri dalam barisan dimana saja dia menemukan ruang untuk masuk ke dalam barisan (shaff). Apabila ia tidak dapat menemukan suatu celah/ruang maka kewajiban ini terbebaskan dalam keadaan ini. Kewajiban tersebut juga terbebaskan jika seorang tidak dapat berdiri dalam barisan (shaff) karena alasan syar’i.

Sebagai suatu contoh dari skenario pertama adalah:

Jika dia menemukan barisan (shaff) jama’ah penuh, maka dia dapat sholat dengan berdiri sendiri, karena tidak ada kewajiban bagi seseorang manakala ia tidak mampu untuk memenuhinya.

Suatu contoh bagi skenario kedua adalah:

Jika seorang wanita sholat sendiri dengan sekumpulan jama’ah laki-laki, maka dia sebaiknya sholat dengan membentuk barisan (shaff) sendiri di belakang shaff jama’ah pria, sebagaimana hal tersebut dicontohkan dalam sunnah. Apa yang diajarkan dalam Sunnah dapat diambil sebagai dasar analogi untuk mengatakan bahwa seorang pria diperbolehkan untuk sholat sendiri di belakang shaff jama’ah (membentuk shaff baru sendiri) apabila dia tidak dapat menjumpai ruang pada barisan shaff di depannya, karena suatu alasan fisik adalah serupa dengan alasan syar’i.

Penjelasan:


Jika seorang datang dan mendapati bahwa barisan (shaff) jama’ah penuh, maka dia bisa maju dan berdiri di samping imam, atau dia dapat menarik seseorang dari barisan shaff di depannya untuk berdiri di sampingnya, atau dia dapat sholat dengan membuat barisan baru (sendiri, di belakang shaff yang telah penuh, penj), atau dia dapat sholat dengan jama’ah di belakang shaff.

Berkenaan dengan bergerak maju dan berdiri di samping imam:

1. Hal ini bertentangan dengan Sunnah di mana imam berdiri sendiri, terpisah dari jama’ah dengan berdiri di depan jama’ah dan melakukan gerakan sholat sebelum jama’ah. Hal ini tidak disangkal oleh fakta bahwa Rosul (sallallahu alaihi wassalaam) berdiri di samping Abu Bakar [sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, 412], karena dalam kasus ini seorang yang datang dan berdiri adalah imam yang datang dan berdiri di samping wakilnya. Selain itu, Abu Bakar tidak dapat kembali mundur dan berdiri dalam barisan shaff, dan saat itu merupakan kepentingan jama’ah agar beliau berdiri di samping Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) dan mengulang menyuarakan takbir Rasul.

2. Bagi seseorang yang mendapati barisan (shaff) penuh agar datang dan berdiri di samping imam akan menyebabkan jama’ah jengkel berkaitan dengan upayanya untuk mencapai imam.

3. Hal itu juga akan mengakibatkan kesempatan bagi orang yang datang setelahnya untuk berdiri dalam barisan shaff menjadi hilang; jika dia berdiri sendiri dengan niatan untuk membentuk barisan shaff yang baru karena shaff depan telah penuh maka saat orang lain datang setelahnya mereka bisa membentuk sebuah shaff.

Berkenaan dengan hal menarik seseorang untuk keluar dari barisan shaff untuk berdiri di sampingnya, di dalamnya terdapat 3 kesalahan gerakan:

1. Hal itu dapat menghasilkan celah di dalam barisan (shaff), dan Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) memerintahkan kita untuk membentuk barisan yang rapat dan melarang kita meninggalkan celah-celah untuk syaithon. [Ahmad, 5961; Abu Dawud, 666; dikategorikan sebagai hadits sahih oleh al-Albaani dalam al Saheehah.]


2. Yang demikian merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap orang yang ditarik keluar dari barisan dari suatu tempat yang lebih baik ke tempat yang lebih buruk.

3. Hal itu akan membuyarkan konsentrasinya dari sholatnya dan dia boleh jadi akan mendebat dan mengkritik orang yang sudah menariknya tadi ketika ia usai sholat.

Hal ini tidak berubah dengan adanya hadits yang mengkhabarkan bahwa Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) berkata pada seorang laki-laki yang dilihatnya sholat sendiri di belakang barisan:

“Mengapa kamu tidak bergabung dengan shaff atau menarik seorang keluar?” karena ini merupakan hadits dho’if yang tidak bisa digunakan sebagai hujjah. [Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al Awsat, 8/374. Haythami berkata: (hadits ini) lemah sekali].

Adapun meninggalkan jama’ah dan sholat sendiri, ini merupakan pengabaian terhadap kewajiban bagi setiap muslim yang mampu melakukan sholat berjama’ah, jadi ini adalah suatu dosa.

Sholat berjama’ah di belakang shaff serupa dengan melakukan suatu kewajiban dengan kemampuannya yang terbaik. Salah seorang yang sholat dalam jama’ah harus melakukan dua hal:

1. Sholat secara berjama’ah

2. Berdiri dalam barisan (shaff) bersama mereka.

Jika dia tidak mampu melakukan salah satu di antaranya maka dia harus melakukan hal lainnya.

Jika dikatakan bahwa sabda Rasulullah (sallallahu alaihi wassalaam),”Tidak ada sholat bagi seorang yang berdiri sendiri di belakang shaff” hal tersebut memiliki makna umum dan tidak membuat perbedaan apakah barisan (shaff) tadi penuh atau tidak, kesesuaiannya adalah bahwa hadits ini menunjukkan kalau sholatnya seorang yang berdiri sendiri tidaklah sah karena dia mengabaikan kewajiban untuk berdiri dalam barisan (shaff). Namun jika dia tidak mampu melakukannya maka kewajiban ini dibebaskan darinya. Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) tidak akan menyatakan sholat seorang tidak sah karena melakukan sesuatu yang dia tidak mampu melakukannya.

Contoh yang serupa ditemukan dalam hadits-hadits dimana Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) berkata: “Tidak ada sholat bagi seorang yang tidak membaca Pokok Al Quran (yakni surat al Fatihah)” [diriwayatkan oleh Bukhaari, 756; Muslim, 394] dan tidak ada sholat bagi seorang yang tidak memiliki wudhu”[riwayat Imam Ahmad, 9137; Abu Daud, 101; Ibnu Majah, 399] – kalau yang terakhir ini adalah sahih. Bagi seorang yang tidak mampu menghafal al-Fatihah atau melakukan wudhu maka harus sholat tanpanya, dan sholatnya akan cukup. Tetapi dia harus menghafal bagian dari al Qur’an yang serupa panjangnya dengan al-Fatihah, atau dia harus ingat Allah (berdzikir) jika dia tidak mampu menghafal satu ayat atau satu suratpun dari Al Qur’an, dan dia harus melakukan tayyamum jika ia tidak mampu melakukan wudhu.

Sebagai kesimpulan:

Berdiri dalam barisan (shaff) merupakan kewajiban. Jika seseorang datang dan barisan (shaff) penuh, dia harus sholat berjama’ah di belakang barisan itu, dan tidak melangkah maju untuk berdiri di samping imam atau menarik seorang untuk berdiri di sampingnya, atau meninggalkan sholat berjama’ah.

Pendapat mengenai hal ini adalah bahwa diperkenankan untuk sholat berjama’ah dengan berdiri sendiri di belakang shaff jika seseorang memiliki alasan (syar’i, pent) untuk melakukannya, demikianlah pendapat Syaikh Islam Ibnu Taymiyah, dan Syaikh ‘Abdul Rahmaan asSa’di, dan ada beberapa lainnya yang mengatakan bahwa yang demikian sah pada setiap keadaan.

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa atas Alam Semesta.

No comments:

Post a Comment