Tuesday, November 17, 2009

Bid'ah

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Kita sering mendengar kata bid’ah, dan tak jarang pula mendapatkan penjelasan bahwa bid’ah itu terlarang. Tetapi di sisi lain, ada juga sebagia masyarakat yang justru mengatakan bahwa bid’ah yang mana dulu. Kalau bid’ah itu baik, mengapa tidak? Toh Umar bin Khaththab pun pernah membuat bid’ah, yaitu mengajarkan shalat Tarawih secara berjama’ah. Setelah itu Umar mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Lalu, mengapa orang sekarang ini mudah sekali menuduh orang lain melakukan bid’ah?

Makna Bid’ah
Dalam tinjauah bahasa, kata bid’ah berasal dari kata bada’a, artinya membuat sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Di sini segala hal yang dibuat dan tidak ada contoh sebelumnya, sebagaimana firman Allah Di antara yang masuk dalam kategori ini adalah firman Allah,

Allah adalah Pencipta langit dan bumi.”(QS. Al-Baqarah:117).

Kata yang dipakai di dalam ayat tersebut di atas adalah badi’, yang memiliki kesamaan akar kata dengan bid’ah. Sehingga maksud ayat itu adalah, bahwa Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.

Berdasarkan makna lughah (bahasa) ini, kita bisa membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu bid’ah dalam adab dan bid’ah dalam agama.

Adapun secara istilah, al-Fairuz Abadi dalam Bashair Dzawi At-Tamyiz berkata, “Bid’ah adalah hal baru dalam agama setelah agama disempurnakan.” Sedangkan Imam asy-Syathibi’ mendefinisikan bid’ah sebagai, “cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT”. Ini merupakan definisi bid’ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi seluruh aspek bid’ah.

Medan operasional bid’ah
Dari definisi di atas dapat dipetakan bahwa medan operasional bid’ah adalah agama. Ia adalah “tindakan mengada-ada dalam beragama”. Dalil pernyataan ini adalah sabda Rasulullah saw., “Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.” (HR al-Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, “Siapa yang menciptakan hal baru dalam urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.” (HR Muslim)

Oleh karena itu, salah besar orang yang menyangka bahwa perbuatan bid’ah juga dapat terjadi dalam perkara-perkara adat kebiasaan sehari-hari. Meskipun secara bahasa dalam kehidupan sehari-hari ada yang bisa dikategorikan bid’ah, tetapi itu bukan bid’ah yang dimaksud oleh syara’. Karena, hal-hal yang biasa kita jalani dalam keseharian kita, tidak termasuk dalam medan operasional bid’ah. Kalau, di masa Rasul dan shahabat tidak ada mikropon, karpet, meja, HP, mobil atau pesawat, lalu dikatakan bahwa itu semua adalah bid’ah maka ungkapan itu hanyalah seloroh alias guyonan. Benar, itu bid’ah tetapi tidak dilarang, karena hanya bid’ah dalam arti lughawi, bukan bid’ah dalam arti syar’i, seperti diungkapkan di dalam hadis nabi saw.

Macam-macam Bid’ah
Bid’ah dalam agama berdasarkan sifatnya bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu;

[1] Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat.

[2] Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :

a. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

b. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

c. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

d. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

Demikian juga bid’ah membaca shalawat pada malam maulid nabi. Membaca shalawat telah jelas perintahnya, tetapi mengkhususkan malam maulid untuk membaca tidak ada tuntunanya.

Jika ada sunnah maka bukan bid’ah
Sesuatu yang baru itu, jika ia mempunyai asal dan sumber dalam syariat, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah. Banyak hal yang dibuat oleh kaum Muslimin yang mempunyai asal dan landasan dalam syariat. Misalnya, penulisan dan pengkompilasian (penggabungan) Al-Qur’an dalam satu mushaf, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar berdasarkan usul Umar r.a..

Sebelumnya Abu Bakar merasa berat untuk melaksanakan rencana itu. Ia berkata, “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.?” Namun, Umar terus membujuknya dan memberikan argumentasi betapa pentingnya hal itu hingga akhirnya Abu Bakar menerima usul itu dan melaksanakannya. Karena, hal itu demi kebaikan dan kepentingan kaum muslimin, meskipun hal itu tidak dilakukan oleh Nabi saw.. Agama Islam dapat dipertahankan dengan menjaga dan memelihara Al-Qur an itu, dan Al-Qur an adalah pokok agama, sumber, dan pokok yang abadi. Oleh karena itu, kita harus menjaga Al-Qur’an dari kemungkinan tercecer atau mengalami kesimpangsiuran.

Nabi saw telah mengizinkan pencatatan wahyu saat wahyu diturunkan. Dan, beliau memiliki sekretaris yang bertugas mencatat wahyu-wahyu yang diturunkan (Zaid bin Tsabit). Semua itu dilakukan dalam upaya menjaga dan memelihara Al-Qur’an.

Selama masa hidup Nabi saw., beliau tidak mengkompilasikan Al-Qur’an dalam satu kesatuan. Karena, pada saat itu, ayat-ayat Al-Qur’an terus turun secara beriringan, dan Allah SWT terkadang mengubah sebagian ayat yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. itu. Sehingga, jika ayat-ayat yang diturunkan itu langsung dikompilasikan ke dalam satu kesatuan, niscaya akan ditemukan kesulitan jika terjadi perubahan dari Allah SWT. Terkadang, saat suatu ayat diturunkan, Rasulullah saw. memerintahkan kepada para pencatat wahyu, letakkanlah ayat ini dalam surah itu (surah tertentu), dan masing-masing surah dalam Al-Qur’an belum diketahui sudah lengkap atau belum ayat-ayatnya, hingga seluruh ayat Al-Qur’an selesai diturunkan.

Oleh karena itu, selama masa itu, Nabi saw. melarang upaya pengkompilasian Al-Qur an. Namun, saat kelengkapan Al-Qur’an telah diketahui, setelah wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat merasa aman dari kemungkinan adanya penambahan dan pengurangan Al-Qur an. Oleh karena itu, mereka segera mencatat ayat-ayat Al-Qur’an yang berserakan dalam berbagai media dan mengkompilasikannya dalam satu mushaf. Dengan demikian, hal ini mempunyai dasar dan sandaran dalam syariat sehingga perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai bid’ah.

Contoh yang lain adalah tindakan Umar r.a. yang menyatukan orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih dalam satu jamaah shalat di bawah satu imam shalat, yaitu Ubay bin Ka’ab. Sebelumnya, mereka melaksanakan shalat tarawih secara terpisah-pisah dengan imam shalat masing-masing. Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qaari bahwa ia berkata, “Aku berjalan bersama Umar Ibnul-Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Pada saat itu, kami menemukan masyarakat melakukan shalat (tarawih) secara terpisah-pisah. Ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang makmum. Melihat itu Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya semua orang disatukan dalam jamaah shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu orang imam niscaya akan lebih baik.” Dan, rencananya Umar akan mengangkat Ubay bin Ka’ab sebagai imam shalat mereka. Kemudian, pada malam lainnya, aku kembali berjalan bersama Umar (menuju masjid). Saat itu, kami telah mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu imam shalat mereka. Melihat itu Umar berkomentar, “Bid’ah yang paling baik adalah ini”.

Kata “bid’ah” yang diucapkan oleh Umar tadi, yakni kalimat “bid’ah yang paling baik adalah ini” adalah kata bid’ah dengan pengertian lughawi, bukan dengan pengertian syara’. Karena, kata bid’ah dalam pengertian istilah syara’ adalah sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat” yang belum pernah ada sebelumnya. Yang dimaksud oleh Umar dengan ucapannya itu adalah, manusia sebelumnya belum pemah melaksanakan shalat tarawih dalam kesatuan jamaah shalat seperti itu. Meskipun pada dasarnya, shalat tarawih secara jamaah itu sendiri pernah terjadi pada masa Nabi saw.. Karena, beliau mendorong kaum muslimin untuk melaksanakan shalat itu. Dan, banyak orang yang mengikuti shalat tarawih beliau selama beberapa malam. Namun, saat beliau mendapati banyak orang yang berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih bersama beliau, beliau tidak menemui mereka lagi untuk shalat bersama. Kemudian, pada pagi harinya, beliau bersabda, “Aku melihat apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas kalian.”

No comments:

Post a Comment