Sunday, August 23, 2009

Melihat Wajah Allah SWT

MELIHAT ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA





Bismillaahir rohmanir rohiim.
Assalamu’alaykum warohmatullaahi wa barokaatu.


Dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala, segala puji hanya milik-Nya, shalawat semoga tetap dilimpahkan kepada Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta salam teruntuk keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang setia mengikutinya.

Amma Ba’du.


Saudara-saudariku yang di muliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala…

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Ketika para calon penghuni surga masuk ke surga, Allah subhanahu wa ta’ala berkata: ‘Apakah kamu semua menginginkan sesuatu yang lebih dari ini?’ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah kami bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga? Bukankah Engkau telah menyelamatkan kami dari Neraka? Maka dibukalah hijab (penghalang antara Allah dan manusia). Padahal mereka tidak di beri sesuatu yang lebih di sukai oleh mereka selain bisa melihat Rabb mereka.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat, Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. (Yunus {10}: 27)” (Hadits Riwayat Muslim).

Jarir bin Abdillah menuturkan, “Suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bulan purnama seraya berkata, “Sungguh, kamu semua akan melihat Rabb-mu dengan mata kepala, seperti kamu melihat bulan purnama ini, jelas tanpa kabut. Bila kamu semua mampu untuk tidak meninggalkan sholat sebelum terbit dan sebelum terbenam matahari, maka lakukanlah.” Kemudian beliau membaca ayat, Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu sebelum terbit dan sebelum terbenam matahari. (Thahaa {20}: 130) (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).

Sesungguhnya alam ukhrawi itu jauh sekaligus dekat. Jauh, karena dia berada di belakang yang ghaib. Dekat, karena di sana, di sisi Allah, kita mendapati banyak raut wajah yang penuh dengan kesungguhan, ketenangan, dan ada juga ketakutan. Yang telah diletakkan dalam kitab-Nya yang abadi, yang setiap saat menyapa indera kita yang terdalam, pengetahuan kita yang paling luas, dan bisikan kita yang terkuat, dalam waktu dan tempat yang berbeda.




Sungguh tiada kerinduan lain di hati ini selain daripada bertemu dan menyaksikan langsung Wajah-Mu Yang Maharupa, bersama Kekasih shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta Rasul-rasul-Mu lainnya, di Jannah-Mu Yang Mahasempurna. Mahasuci Engkau yaa Allah

^__^,


Wassalamu’alaykum wr.wb.
Dari hamba-Mu yang dho’if lagi faqir.
~Insan Kamil~

Hadist-hadist Tentang Shalat

  1. Yang pertama-tama dipertanyakan (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada hari kiamat dari amal perbuatannya adalah tentang shalatnya. Apabila shalatnya baik maka dia beruntung dan sukses dan apabila shalatnya buruk maka dia kecewa dan merugi. (HR. An-Nasaa'i dan Tirmidzi)

  2. Paling dekat seorang hamba kepada Robbnya ialah ketika ia bersujud maka perbanyaklah do'a (saat bersujud) (HR. Muslim)

  3. Perumpamaan shalat lima waktu seperti sebuah sungai yang airnya mengalir dan melimpah dekat pintu rumah seseorang yang tiap hari mandi di sungai itu lima kali. (HR. Bukhari dan Muslim)

  4. Abdullah ibnu Mas'ud Ra berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, amal perbuatan apa yang paling afdol?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (HR. Bukhari)

  5. Shalat dua rakaat (yakni shalat sunnah fajar) lebih baik dari dunia dan segala isinya. (HR. Tirmidzi)

  6. Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka dia kafir terang-terangan. (HR. Ahmad)

  7. Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri). (HR. Abu Dawud)

  8. Barangsiapa lupa shalat atau ketiduran maka tebusannya ialah melakukannya pada saat dia ingat. (HR. Ahmad)

  9. Apabila seseorang mengantuk saat akan shalat hendaklah ia tidur sampai hilang ngantuknya, sebab bila shalat dalam keadaan mengantuk dia tidak menyadari bahwa ketika beristighfar ternyata dia memaki dirinya.(HR. Bukhari)

  10. Janganlah melakukan shalat pada saat hidangan makanan sudah tersedia dan jangan pula memulai shalat dalam keadaan menahan kencing dan buang air (termasuk kentut). (HR. Ibnu Hibban)

  11. Apabila diserukan untuk shalat datangilah dengan berjalan dengan tenang. Apa yang dapat kamu ikuti shalatlah dan yang tertinggal lengkapilah. (HR. Ahmad) Penjelasan: Tidak boleh tergesa-gesa dan berlari-larian menuju masjid.

  12. Allah Ta'ala tetap (senantiasa) berhadapan dengan hambaNya yang sedang shalat dan jika ia mengucap salam (menoleh) maka Allah meninggalkannya. (HR. Mashabih Assunnah)

  13. Allah 'Azza wajalla berfirman (hadits Qudsi): "Tidak semua orang yang shalat itu bershalat. Aku hanya menerima shalatnya orang yang merendahkan diri kepada keagunganKu, menahan syahwatnya dari perbuatan haram laranganKu dan tidak terus-menerus (ngotot) bermaksiat terhadapKu, memberi makan kepada yang lapar dan memberi pakaian orang yang telanjang, mengasihi orang yang terkena musibah dan menampung orang asing. Semua itu dilakukan karena Aku." "Demi keagungan dan kebesaranKu, sesungguhnya bagiKu cahaya wajahnya lebih bersinar dari matahari dan Aku menjadikan kejahilannya kesabaran (kebijaksanaan) dan menjadikan kegelapan terang, dia berdoa kepada-Ku dan Aku mengabulkannya, dia mohon dan Aku memberikannya dan dia mengikat janji dengan-Ku dan Aku tepati (perkokoh) janjinya. Aku lindungi dia dengan pendekatan kepadanya dan Aku menyuruh para Malaikat menjaganya. BagiKu dia sebagai surga Firdaus yang belum tersentuh buahnya dan tidak berobah keadaannya." (HR. Ad-Dailami)

  14. Nabi Saw ditanya tentang shalat, "Bagaimana shalat yang paling afdol?" Beliau menjawab, "Berdiri yang lama." (HR. Muslim)

  15. Nabi Saw bila mendengar seruan azan, beliau menirukan kata-kata dan seruannya. (HR. Ath-Thahawi)

  16. Barangsiapa mengucapkan (do'a) setelah mendengar suara muazzin: "Ya Allah, Robb seruan (azan) yang sempurna ini dan shalat yang ditegakkan, karuniakanlah kepada Muhammad derajat dan kemuliaan yang tinggi dan kedudukan yang terpuji yang Engkau janjikan untuknya." Maka patut baginya memperoleh syafaat (ku) pada hari kiamat. (HR. Bukhari)

  17. Maukah aku beritahu apa yang dapat menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat?" Para sahabat menjawab: "Baik ya Rasulullah." Beliau berkata, "Berwudhu dengan baik, menghilangkan kotoran-kotoran, banyak langkah diayunkan menuju mesjid, dan menunggu shalat (Isya) sesudah shalat (Maghrib). Itulah kewaspadaan (kesiagaan)." (HR. Muslim).

  18. Sebaik-baik shaf (barisan) laki-laki adalah yang paling depan dan yang terburuk ialah barisan paling akhir. Namun seburuk-buruk barisan wanita adalah yang paling depan dan yang terbaik ialah yang paling belakang. (HR. Muslim)

  19. Rapikan barisanmu, sesungguhnya merapikan barisan termasuk mendirikan shalat. (HR. Ibnu Hibban)

  20. Shalat jama'ah pahalanya melebihi shalat sendiri-sendiri dengan dua puluh tujuh derajat. (Mutafaq'alaih)

  21. Apabila seorang mengimami orang-orang hendaklah meringankan shalat karena di antara mereka terdapat anak-anak, orang tua, yang lemah, yang sakit clan yang punya hajat (keperluan), dan bila shalat sendirian dapat ia lakukan sesukanya. (HR. Bukhari)

  22. Tiga orang yang diridhoi Allah yaitu seorang yang pada tengah malam bangun dan shalat, suatu kaum (jama'ah) yang berbaris untuk shalat dan suatu kaum berbaris untuk berperang (fisabilillah). (HR. Abu Ya'la)

  23. Barangsiapa berjamaah dalam shalat subuh dan Isya maka baginya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari kemunafikan dan kebebasan dari kemusyrikan. (Abu Hanifah)
  24. Ada empat orang tidak diwajibkan shalat jum'at yaitu wanita, budak, orang yang sakit dan musafir (bepergian). (Abu Hanifah)

  25. Barangsiapa meninggalkan shalat jum'at karena meremehkannya tanpa suatu alasan maka Allah Tabaroka wata'ala akan mengunci hatinya. (HR. Bukhari dan Muslim)
  26. Paling afdol (utama) shalat seorang (adalah) di rumahnya kecuali (shalat) yang fardhu (lima waktu). (HR. Bukhari dan Muslim)

  27. Hati manusia kadangkala maju dan kadangkala mundur. Apabila sedang mengalami kemajuan shalatlah nawafil (sunah ba'diyah, qobliyah dan tahajjud) dan bila sedang mengalami kemunduran shalatlah yang fardhu-fardhu saja (lima waktu). (Ath-Thahawi)

  28. Barangsiapa sesudah shalat (fardhu) mengucapkan zikir "Subhanallah" (Maha Suci Allah) 33 kali dan "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah) 33 kali dan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar) 33 kali lalu digenapkan yang keseratusnya dengan (membaca): "Laailaaha illallah wahdahu la syariika lahu, lahulmulku walahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syai'in Qodir" (Tidak ada Tuhan kecuali Allah yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nyalah segala kekuasaan dan pujian. Dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa), maka akan terampuni dosa-dosanya (walaupun) sebanyak buih di lautan. (HR. Muslim)

  29. Rasulullah Saw berkata kepada Muadz Ra, "Ya Muadz, jangan meninggalkan sehabis tiap shalat ucapan:" Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat Engkau dan banyak bersyukur kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan baik." (HR. An-Nasaa'i dan Abu Dawud)

  30. Perbanyaklah sujud kepada Allah, sesungguhnya bila sujud sekali Allah akan mengangkatmu satu derajat dan menghapus satu dosamu. (HR. Muslim)

  31. Tiga orang yang shalatnya tidak sampai melampaui telinganya, yaitu seorang budak yang melarikan diri sampai dia pulang kembali, seorang isteri yang semalaman suaminya murka kepadanya, dan seorang imam yang mengimami suatu kaum sedangkan kaum itu tidak menyukainya. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

  32. Apabila seorang shalat hendaklah mengenakan pakaian rangkap. Sesungguhnya Allah lebih berhak (dihadapi) dengan keindahan pakaian. (HR. Ath-Thabrani)

  33. Rasulullah Saw bila menghadapi suatu dilema (situasi yang sukar dan membingungkan) beliau shalat. (HR. Ahmad)

  34. Malaikat selalu berpesan kepadaku tentang shalat tengah malarn sehingga aku mengira bahwa umatku yang terbaik ialah yang sedikit tidurnya. (Abu Hanifah)

  35. Rasulullah Saw apabila bangun tengah malam untuk shalat malam (Tahajjud) beliau mengucapkan: "Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Maha suci Engkau, ya Allah, aku mohon ampunanMu atas dosaku dan aku mohon rahmatMu. Ya Allah, tambahlah ilmu bagiku dan jangan Engkau memalingkan hatiku setelah Engkau memberiku hidayah (petunjuk) dan karuniakanlah dari sisimu rahmat. Sesungguhnya Engkau Maha pemberi rahmat." (HR. Abu Dawud)

  36. Umatku yang termulia ialah penghafal Al Qur'an dan yang selalu shalat tengah malam (tahajud). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi). Penjelasan: Hamalatul Qur'an artinya penghafal Qur'an, memahami artinya, sekaligus mengajarkan dan mengamalkan isinya.

  37. Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja maka Allah akan menggagalkan amalannya (usahanya). (HR. Bukhari).

  38. Apabila seorang mengantuk saat shalat Jum'at di masjid maka hendaklah pindah tempat duduknya ke tempat duduk lainnya. (HR. Al Hakim dan Al-Baihaqi)

  39. Bila seorang masuk ke masjid hendaklah shalat (sunnat) dua rakaat sebelum duduk. (HR. Ahmad)

  40. Apabila seorang isteri minta ijin suaminya untuk pergi ke masjid maka janganlah sang suami melarangnya. (HR. Bukhari)

  41. Sebaik-baik masjid (tempat bersujud) untuk wanita ialah dalam rumahnya sendiri. (HR. Al-Baihaqi dan Asysyihaab)

  42. Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, selain dalam masjid. (HR. Adarqathani)

  43. Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah telah berfirman dalam surat At taubah ayat 18: Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah lah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka mereka lah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

  44. Beritakanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan kaki di malam gelap-gulita menuju masjid bahwa bagi mereka cahaya yang terang-benderang di hari kiamat. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)

  45. Barangsiapa membangun untuk Allah sebuah masjid (mushola) walaupun sebesar kandang unggas (rumah gubuk) maka Allah akan membangun baginya rumah di surga. (HR. Asysyihaab dan Al Bazzar)

  46. Nabi Saw bertanya kepada malaikat Jibril As, "Wahai Jibril, tempat manakah yang paling disenangi Allah?" Jibril As menjawab, "Masjid-masjid dan yang paling disenangi ialah orang yang pertama masuk dan yang terakhir ke luar meninggalkannya." Nabi Saw bertanya lagi," Tempat manakah yang paling tidak disukai oleh Allah Ta'ala?" Jibril menjawab, "Pasar-pasar dan orang-orang yang paling dahulu memasukinya dan paling akhir meninggalkannya." (HR. Muslim)

IKHLAS

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Al-Mulk:2 "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".
Hanya “ENAM” huruf...namun butuh proses yang sangat panjang dan BERLIKU untuk mengaplikasikannya" demikian ungkap sahabat FB-WJ. Benar......., Allah Ta'ala.. pertama kali mencipatakan manusia "Adam as" mengajarkan tentang IKHLAS pada semua mahluk untuk hormat secara 'IKHLAS' pada Nabi Adam atas kelebihannya. Dari semua mahluk ciptaanNya yang ingkar dan menolak untuk "IKHLAS" adalah iblis laknatullah.

Untuk MENJADI IKHLAS sangat berat memang,...karena...inilah "PROYEK" panjang iblis berusaha "WARISKAN" ke"SOMBONGAN dan ke"INGKAR"an"nya pada jiwa manusia.
IKHLAS adalah penentu "FLUKTUASI"nya nilai ibadah seseorang.
IKHLAS penentu berat ringannya 'Nilai Ibadah'.
IKHLAS ada DEWAN JURI yang bersemayam dalam hati ataw QALBU. Ketika mata melihat, telinga mendengar, tangan-kaki berbuat dan indera perasa bekerja.... maka ketika itu Hati ber'UCAP'.... dan seketika itu malaikat mencatat nilai2 IKHLAS.

Ciri orang yang memiliki ke-IKHLAS-an :
1. Hidupnya jarang sekali merasa kecewa,
2. Tidak tergantung / berharap pada makhluk
3. Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil
4. Banyak amal kebaikan yang rahasia
5. Tidak membedakan antara golongan, ras, bendera atau organisasi.

Pembinaan IKHLAS tumbuh sejak kecil... dimulai dari pengalaman lingkungan keluarga dan luar rumah. Dia tumbuh dari teladan sikap orang tuanya dan diluar rumah didapat dari pergaulannya. Bila buruk pengalaman dari keluarga maupun lingkungannya maka sikap iklhlasnyapun dapat direka. Namun Allah Maha Pemaaf dan Yang Maha Membolak balikan hati manusia masih memberikan peluang agar amalannya tidak hilang, yakni sadar dan segera bertaubat serta istighfar atas khilafnya dan selalu berusaha meningkatkan keimanannya.

IKHLAS bermuara dari kebesaran hati, sabar, lapang dada dan jujur dalam sikap serta perbuatan seseorang. Begitu besar pengaruh orang yang IKHLAS itu, sehingga dengan kekuatan niat IKHLASnya mampu menembus ruang dan waktu. Seperti halnya apapun yang dilakukan, diucapkan, dan diisyaratkan Rasulullah, mampu mempengaruhi kita semua walau beliau telah wafat ribuan tahun yang lalu namun kita senantiasa patuh dan taat terhadap apa yang beliau sampaikan.

Bahkan orang yang IKHLAS bisa membuat iblis (syaitan) tidak bisa banyak berbuat dalam usahanya untuk menggoda orang IKHLAS tersebut. Ingatlah, apapun masalah kita kita janganlah hati kita sampai pada masalah itu, cukuplah hanya ikhtiar dan pikiran saja yang sampai pada masalah tersebut, tapi hati hanya tertambat pada Allah SWtT yang Maha Mengetahui akan masalah yang kita hadapi tersebut.

Syaikh Ahmad Ibnu Athaillah berkata dalam kitab Al Hikam, “Amal perbuatan itu sebagai kerangka yang tegak, sedang ruh (jiwa) nya adalah tempat terdapatnya rahasia IKHLAS (ketulusan) dalam amal perbuatan”

Iklhas paling penting untuk dipahami dan diamalkan, karena amal yang akan diterima Allah SWT hanyalah amal yang disertai dengan niat IKHLAS.
“Tidaklah mereka diperintah kecuali agar berbuat IKHLAS kepada Allah dalam menjalankan agama”.

Oleh karenanya, sehebat apapun suatu amal bila tidak IKHLAS, tidak ada apa-apanya dihadapan Allah SWT, sedang amal yang sederhana saja akan menjadi luar biasa dihadapan Allah SWT bila disertai dengan IKHLAS.
Tidaklah heran seandainya shalat yang kita kerjakan belum terasa khusyu, atau hati selalu resah dan gelisah dan hidup tidak merasa nyaman dan bahagia, karena kunci dari itu semua belum kita dapatkan, yaitu sebuah keIKHLASan.

"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi" (Al A'raaf:23)

Hadis Keutamaan IKHLAS
  1. Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya. (HR. Abu Dawud)
  2. Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukan maupun harta kekayaanmu, tetapi Allah memandang pada hatimu. Barangsiapa memiliki hati yang shaleh maka Allah menyukainya. Bani Adam yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertakwa. (HR. Ath-Thabrani dan Muslim)
  3. Barangsiapa memurkakan (membuat marah) Allah untuk meraih keridhaan manusia maka Allah murka kepadanya dan menjadikan orang yang semula meridhoinya menjadi murka kepadanya. Namun barangsiapa meridhokan Allah (meskipun) dalam kemurkaan manusia maka Allah akan meridhoinya dan meridhokan kepadanya orang yang pernah memurkainya, sehingga Allah memperindahnya, memperindah ucapannya dan perbuatannya dalam pandanganNya. (HR. Ath-Thabrani)
  4. Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah maka Allah akan menyempurnakan hubungannya dengan manusia. Barangsiapa memperbaiki apa yang dirahasiakannya maka Allah akan memperbaiki apa yang dilahirkannya (terang-terangan). (HR. Al Hakim)
  5. Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, seseorang melakukan amal (kebaikan) dengan dirahasiakan dan bila diketahui orang dia juga menyukainya (merasa senang)." Rasulullah Saw berkata, "Baginya dua pahala yaitu pahala dirahasiakannya dan pahala terang-terangan." (HR. Tirmidzi)
  6. Agama ialah keikhlasan (kesetiaan atau loyalitas). Kami lalu bertanya, "Loyalitas kepada siapa, ya Rasulullah?" Rasulullah Saw menjawab, "Kepada Allah, kepada kitabNya (Al Qur'an), kepada rasulNya, kepada penguasa muslimin dan kepada rakyat awam." (HR. Muslim)

Semoga Allah SWT membimbing kita pada jalan-Nya sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang IKHLAS.

Baarakallaahu lakumaa wa baaraka 'alaikum
Wassalamu alaikum wa rahmatullah wabarakatuh

Ingin Tampil Cantik?

TAHAJJUD MEMPERCANTIK WAJAH
Pernahkan anda duduk dekat ataupun memperhatikan wajah org alim? Amatilah…wajahnya begitu bening, bersih, teduh dan bercahaya tanpa make up. Demikianlah Allah memberinya ‘NUR’ yang terpancar diwajahnya. Bagaimana dengan Rasul dan sahabatnya….?? Subhanallah…tentu tak dapat dibayangkan wajah Penghulu Surga tersebut..Allahumma shalli ala Muhammdad.
Siapa yang tidak ingin tampil cantik/ganteng bercahaya seperti itu, terutama para wanita (lagi2 wanita lho?). Kecantikan merupakah satu hal yang sangat diinginkan oleh para wanita. Mereka para kaum Hawa itu banyak yang telah mencoba berbagai kiat, baik dengan menggunakan berbagai kosmetik, pemutih atau menggunakan lulur, ekstrak bengkoang dan lain-lain (banyak banget sih) agar wajahnya putih alami dan berseri. Terlepas dari keberhasilan semua trik-trik di atas yang notabene masih dipertanyakan terlebih lagi mengandung zat-zat kimia yang berbahaya, kenapa tidak menggunakan kiat yang satu ini? Apa kiatnya? Yaitu shalat tahajjud di malam hari.

Berkata Imam Ibnul Qayyim, ”Sesungguhnya shalat malam itu dapat memberikan sinar yang tampak di wajah dan membaguskannya. Ada sebagian wanita yang memperbanyak pelaksanaan shalat malam. Ketika ditanyakan kepada mereka mengenai hal tersebut, mereka menjawab, Shalat malam itu dapat membaguskan wajah dan kami senang jika wajah kami menjadi lebih bagus. Demikian yang dituliskan oleh Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Perlu juga diingat bahwa kiat ini bukan cuma monopoli kaum Hawa saja, kaum Adam pun perlu juga menerapkannya.

Keutamaan Shalat Tahajjud disamping hikmah diatas yang bisa di dapat dari melaksanakannya, shalat malam ini pun mempunyai keutamaan yang lain berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadist. Bahkan inilah yang lebih penting, yaitu :
  1. Allah akan mengangkat ke tempat yang terpuji, dalilnya adalah “Dan pada sebagian malam hari bertahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”(Al Israa : 79).
  2. Shalat malam dapat mendekatkan diri kepada Allah dan dapat menghapuskan dosa, “Hendaklah kalian melaksanakan shalat malam karena shalat malam itu merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian, ibadah yang mendekatkan diri kepada Tuhan kalian, serta penutup kesalahan dan penghapus dosa. (HR. Tirmidzi)
  3. Kemuliaan orang beriman ada pada shalat malam Jibril berkata, “Hai Muhammad, kemuliaan orang beriman ada dengan shalat malam. Dan kegagahan orang beriman adalah sikap mandiri dari bantuan orang lain.” (Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 831).
Shalat malam yang paling utama adalah pada sepertiga malam yang terakhir. Pada saat ini doa akan dikabulkan oleh Allah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasannya Nabi pernah bersabda: Allah turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir. Allah lalu berfirman, Siapa yang berdoa kepadaKu niscaya Aku kabulkan! Siapa yang meminta kepadaKu niscaya Aku beri! Siapa yang meminta ampun kepadaKu tentu Aku ampuni. Demikianlah keadaannya hingga fajar terbit. (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagaimana Agar Bisa Shalat
Shalat malam termasuk ibadah yang berat, karena di saat kita terlelap dan masih mengantuk maka kita harus bangun untuk shalat. Berikut beberapa tip agar dimudahkan untuk melaksanakan shalat malam.
  1. Berkeinginan kuat untuk shalat malam (niat).
  2. Berusaha untuk tidur di awal malam dan menjauhkan diri dari begadang. Rasulullah membenci tidur sebelum Shalat Isya dan berbicara sesudah Shalat Isyaa.
  3. Ketika akan tidur, perhatikan adab adab tidur, misalnya membaca doa sebelum tidur, membaca ayat kursi, membaca dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah, membaca Surat Al Kaafirun, dll.
  4. Tidur sebentar di siang hari
  5. Meninggalkan kemaksiatan, dosa dan perbuatan bid'ah
  6. Memasang jam alarm jam. Bisa juga dengan saling membangunkan istri, suami, dan keluarga. Bahkan bisa dengan saling membangunkan tetangga atau teman dengan menelpon melalui handphonenya. Saling berta'awun....
Baarakallaahu lakumaa wa baaraka 'alaikum
Wassalamu alaikum wa rahmatullah wabarakatuh

Monday, August 17, 2009

Cinta Tanpa Syarat

Malam tahun baru 1999 adalah awal malapetaka bagi saya. Saya mengalami kecelakaan hebat setelah motor yang saya kendarai bertabrakan dengan sebuah mobil taft. Sempat sadar setelah terjatuh, saya melihat darah berceceran di sekitar lokasi. Gagal mencoba berdiri, saya baru menyadari bahwa kaki kanan saya terluka cukup parah. Urat besar di bawah lutut saya putus.

Setelah dioperasi di Rumah Sakit Mekar Sari, Bekasi Timur, saya diharuskan istirahat total. Sejak saat itu saya harus menghadapi kenyataan pahit, kaki kanan saya pincang. Ya, saya cacat.

Hari-hari pada proses pemulihan kondisi terasa amat berat. Betapa tersiksanya ketika saya harus merangkak menuju kamar mandi untuk sekadar buang hajat. Dan sejak saat itu saya sadar bahwa karunia Allah atas kesehatan dan kesempurnaan pada tubuh kita begitu besar.

Dan orang yang rela menemani hari-hari berat itu dan merawat saya adalah ibu. Beliau membasuh darah yang kadang masih keluar dari kaki saya dan membasuh seluruh tubuh saya sebagai ganti mandi. Berbulan-bulan sakit itu hingga saya diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Kasih sayang beliau tak berkurang sedikit pun meski saya cacat.


***

Alkisah, ada seorang pemuda yang dikirim ke medan perang. Dia prajurit muda. Setelah sekian lama bertempur, dia akhirnya diperbolehkan pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, pemuda itu menelepon kedua orang tuanya terlebih dahulu.

”Ibu, Ayah, aku sedang menuju pulang. Tapi, sebelum sampai, aku ingin menanyakan satu hal. Aku punya seorang teman yang ingin kubawa pulang bersamaku. Bolehkah?”

”Tentu. Kami sangat senang bertemu dengan temanmu itu,” jawab kedua orang tuanya.

“Tapi, ada satu hal yang harus Ibu dan Ayah ketahui. Temanku ini sedang terluka akibat perang. Dia kehilangan satu kaki dan satu tangannya. Dia tak tahu ke mana harus pulang. Aku ingin dia tinggal bersama kita,” ujar sang pemuda.

“Kasihan sekali. Mungkin kita bisa mencarikan tempat untuk temanmu tersebut,” tutur kedua orang tua pemuda itu.

“Tidak. Aku ingin dia tinggal bersama kita,” tegas si pemuda.

“Anakku, kamu tak tahu apa yang sedang kamu minta. Seorang yang cacat akan menjadi beban bagi kita. Kita punya kehidupan sendiri. Dan sesuatu seperti ini tidak bisa mencampuri kehidupan kita,” jawab ayah pemuda itu.

“Menurut Ayah, sebaiknya kamu pulang dan lupakan saja temanmu itu. Dia pasti menemukan cara sendiri untuk hidup,” lanjut sang ayah.

Prajurit muda itu terdiam sejenak. Lalu, dia menutup telepon.

Beberapa hari kemudian, ayah dan ibu prajurit muda tersebut mendapatkan kabar dari polisi bahwa ada seorang pemuda yang bunuh diri dengan cara melompat dari puncak gedung. Berdasar identitasnya, diketahui bahwa pemuda itu adalah anak lelaki mereka.

Dengan perasaan duka dan sedih, kedua orang tua itu datang ke tempat kejadian perkara untuk memastikan kabar itu. Ketika berada di dekat jenazah, kedua orang tua tersebut yakin bahwa jasad lelaki itu adalah putra mereka.

Namun, yang membuat mereka sangat terkejut adalah jenazah itu hanya memiliki satu tangan dan satu kaki.

***

Sering kali, tanpa kita sadari, kita kerap terpesona oleh penampilan luar seseorang. Ada seorang guru yang hanya suka terhadap murid yang pintar. Bahkan, ada seseorang yang hanya menghormati orang yang cantik, tampan, kaya, dan segala sesuatu yang bagus-bagus saja.

Berapa banyak kata cinta yang terlontar dan kita dengar dalam sehari? Kata cinta dapat dengan mudah kita jumpai di majalah, surat kabar, televisi, radio, atau ponsel. Kata cinta juga gampang dijumpai di rumah, tempat umum, rumah sakit, atau diari sekalipun.

Mudah saja seorang pria mengucapkan kata cinta kepada gadis yang cantik rupawan. Mudah saja seorang ibu mengucapkan cinta kepada anak yang lucu menggemaskan. Mudah saja seorang guru bilang cinta kepada murid yang rajin dan pintar.
Mudah saja seorang bos menuturkan cinta kepada anak buah yang produktif dan kinerjanya baik.

Namun, mudahkah kita mengucapkan cinta kepada seseorang yang tak secantik, serupawan, selucu, sepintar, dan serajin yang kita bayangkan? Apakah seorang pria akan tetap mengutarakan cinta apabila si gadis tak lagi cantik dan memesona? Apakah seorang guru tetap mengasihi jika muridnya malas dan membangkang?

Tanpa disadari, kita acapkali hanya mau mencintai dan hidup bersama orang yang sempurna di mata kita. Namun, kita tak senang hidup dengan orang yang membuat kita tidak nyaman.

Seperti kisah prajurit muda tadi, kedua orang tua itu mencintai dengan tidak tulus, harus dengan syarat. Mereka gagal dalam ujian keikhlasan.

Dan untuk seorang ibu yang rela merawat dan membesarkan hati saya ketika saya merasa down, hanyalah doa agar Allah senantiasa menjaga dan memudahkan segala urusannya ketika kami tidak lagi bersama saat ini.

Terbang Ke Syurga

“Anak-anak, coba renungkan apa yang paling kamu inginkan dalam hidup ini ?” begitulah pertanyaan sorang ustadz yang sehari-hari mendampingi para santri kelas satu sebuah sekolah menengah pertama boardingschool di Bandung. Aghil (keponakan suamiku ) menjawab “saya ingin terbang ke surga”. Teman-temannyapun tertawa, karena mereka pada umumnya menjawab sewajarnya anak-anak belia “ke mall, ke luar negeri, ketemu artis, dll”.

Sang ustadz pun menanyakan kembali dengan pertanyaan yang sama. Jawaban aghil juga sama “aku ingin terbang ke surga”. Hingga diulangi untuk yang ketiga kalinya bocah berusia 12 tahaun itu masih menjawab dengan jawaban yang sama dan wajahnya tidak menunjukkan bercanda.

Kisah diatas dituturkan sang ustadz pada saat melayat Aghil. Tidak ada yang menyangka kepergiannya begitu cepat. Setelah satu minggu di rumah sakit, penyakitnya baru terdiagnosa “tumor ganas kalenjar getah bening”. Malam seteleh terdiagnosa dia muntah darah dan mengelurkan darah dari hidungnya. Pagi sebelum sholat subuh Allah telah memannggilnya. Suasana menjadi mengharukan bukan karena dia mati muda tapi proses menuju dia meninggal insyaAllah adalah perjalanan yang khusnul khotimah.

Teman-temannya bercerita bahwa hampir setiap malam di pesantrennya dia sering menagis karena giginya seperti mau lepas. Hinggga ketika sudah tidak tahan merasakan sakit barulah pulang dan opname. Saat masa mendiagnosis penyakitnya, Aghil mengeluarkan segala isi hati yang menjadikan rasa bersalah dan penyesalan kedua orangtuanya. ” Bu, Aghil mau curhat, sakitnya Aghil ini karena Azab. Aghil sebenarnya tidak mau masuk pesantren, jadi di pesantren Aghil bertemannya sama anak-anak yang nakal, anak-anak yang bodoh. Aghil minta maaf ya bu kalau Aghil salah”. Ibunya pun berurai air mata, bukan karena kesalahan sang anak, tapi karena menyesal tidak mengetahui keinginan sang anak, menyesal karena anaknya sampai takut menyampaikan isi hatinya, menyesal karena tidak memenuhi janjinya.

Sebelumnya mereka pernah berjanji memenuhi keinginan Aghil untuk les gitar saat SMP. Tapi janji itu ditunda menungggu prestasi Aghil di pesantren. Seiring perjalanan di pesantren Aghilpun berkata ”Pak, saya ndak usah les gitar, mahal, nanti juga bisa dikeluarkan dari pesantren”.

Aghil yang sehari-hari terlihat kekanak-kanakan menjadi begitu dewasa menjelang akhir hidupnya. Dia diberi kesempatan bertaubat, meminta maaf pada orangtuanya, menyampaikan cita-cita tertinggginya. Cita-cita yang mengalahkan keinginannnya untuk menjadi artis dan dapat uang banyak (Cita-cita inilah yang mengkhawatirkan sang Ibu).

Sebelum sakit Sang Ibu merasa Aghil jauh dari dunianya (kedua orangtuanya pendidik). Sang Ibu tidak memiliki jiwanya sebagaimana sang ibu bisa menjiwai kedua kakaknya. Sang Ibu yang menyesal mengapa semasa kecil Ia begitu nyaman menitipkan Aghil pada khodimat. Khodimat yang menurutnya sangat baik. Khodimat yang akhirnya menguasai jiwa Aghil.

Saat sang Ibu bisa mengerti isi hatinya, Ia diberi pilihan berdoa ”Antara mendokan bertahan hidup atau menyerahkan semuanya pada Sang Pemilik ruh” . Menjelang tengah malam Ia masih berdoa agar Aghil diberi kesembuhan, namun ketika melihat kondisi Aghil yang kesakitan, darah yang terus keluar, hatinyapun luruh, doanya berubah “Ya Allah berilah yang terbaik untuk anakkku”. Doa di pertiga malam terakhir ini dijawab menjelang subuh, aghil dijemput sang Jibril. Innalillahi wa innna ilaihi roji’un. InsyaAllah Aghil meninggal dengan jalan khusnul Khotimah, InsyaAllah keinginannnya untuk terbang ke surga tercapai.

Ayah Aghil berusaha menegarkan keluarga. “Jika kita ingin bergandengan tangan dengan Aghil di surga maka kita kita harus sekualitas dia”. Pun Sang Ibu selalu mewanti-wanti pada keluarga dan kerabat ”rawatlah anakmu baik-baik jangan serahkan dia pada orang lain, pahami keinginannya jangan paksakan dia pahami keinginan kita”.


Menyepelekan Dosa Kecil

"Sudah menikah mas?"

Tanya seorang wanita yang duduk disampingnya, ketika menumpangi "Pesawat Saudia" penerbangan Indonesia-Saudi Arabia.
"Belum". Jawabnya enteng.

Pemuda ini menceritakan kisahnya selama di pesawat yang duduk bersebelahan dengan seorang wanita, yang ternyata juga berprofesi sebagai pramugari. Saya cukup tersentak dengan cerita teman dari suamiku itu. Sontak saya menjawab.

"Kenapa sich nggak jujur aja kalau udah punya istri?. Kan kasihan istrinya disana.

"Ya bukannya apa-apa, kan kalau kita bilang kita udah nikah, nanti ngobrolnya nggak nyambung."

"Astagrfirullahal`azhiim," Aku beristigrfar mendengar jawaban teman itu.

Bukan sekedar heran karena dia adalah seorang mahasiswa indonesia yang menuntut ilmu di Madinah, bahkan satu-satunya mahasiswa Asia yang lulus melanjutkan ke S2 dalam ujian beberapa waktu yang lalu. Ada persoalan yang lebih mendasar yang terpikir olehku. Segampang inikah seseorang melakukan kebohongan. Aku percaya dia tidak punya niat sama sekali untuk menyakiti perasaan istrinya. Meskipun kalau istrinya tahu, ini tentu hal yang menyakitkan. Istri mana yang tidak terluka hatinya jika mendengar suaminya mengaku-ngaku masih lajang kepada orang lain.

Tapi kembali lagi, ada persoalan yang lebih mendasar.
"Ya bukannya apa-apa, kan kalau kita bilang kita udah nikah, nanti ngobrolnya nggak nyambung."

Kata-kata yang mengalir seolah tanpa beban. Semudah itukah manusia melakukan dosa kecil. Bahkan untuk alasan yang juga sangat seserhana. Hanya sekedar agar obrolan berjalan menyenangkan. Ya Allah, Tidak sadarah bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang dibenci oleh Allah, tidak terpikirkah ada Zat yang tidak pernah berhenti mengawasi.

Saya jadi teringat kata-kata yang populer di tengah-tengah akhwat masa-masa gadis dulu.

"Jangan lihat sekecil apa dosa yang engkau lakukan, tapi lihat sebesar apa Zat yang engkau tentang."

Tanpa sadar, kita begitu sering menyepelekan dosa kecil. Mungkin awalnya hanya sekali, dua kali. Tapi ingat, dosa sekecil apapun, jika ia tidak dibersihkan dengan Taubat, maka ia akan tumbuh menjadi kebiasaan. Kita punya hati nurani. Ketika kita melakukan dosa, hati nurani itu akan menentang, memberontak.

Tapi jika bisikan nurani itu juga tidak kita hiraukan, maka lama-kelamaan bisikan itu juga tidak akan kedenaran lagi. Karena ruang hati kita sudah dipenuhi oleh bisikan-bisikan syaiton. Dosa-dosa kecil yang kita lakukan seakan menjadi hal sepele, ringan tanpa beban.

Atau perumpamaan lain yang sering kita dengar, Hati ibarat cermin. Jika ada noda dosa yang menempel lalu kita bersihkan dengan taubat, maka kesuciannya akan tetap terjaga. Namun jika noda-noda kecil itu kita biarkan, lama-kelamaan cermin hati itu akan berkarat, dan inilah yang menghijabi antara kita dengan Allah.

Ketika kita melakukan dosa, kita seolah tidak bisa melihat cahaya Allah, karena dosa yang berkarat itu telah menutup cahaya itu untuk masuk.

Maka berhati-hatilah dengan dosa kecil. Karena jika ia dibiarkan, maka ia akan bersarang dan menjadi virus yang mematikan hati kita. wallahu a`lam Bisshowab. Semoga bermanfa`at.

Diludahi Karena Berdakwah

Syekh Solah Karim-nama samaran-adalah seorang Dosen di sebuah Universitas Islam terkemuka. Beliau telah menekuni bidang Sejarah Islam selama belasan tahun. Bisa dikatakan beliau adalah pakar dalam bidang Sejarah Islam dan Sunnah Rasulullah Shallallahu `alahi wa sallam.

Disamping kesibukan sebagai Dosen beliau juga sering diminta menjadi pembicara dalam berbagai acara seminar, dialog, bedah buku, dan setiap minggu mengisi acara Sirah Nabawiyah disalah satu stasiun radio islam. Beliau juga aktif dan produktif menulis tentang Sirah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam.

Suatu ketika beberapa orang anak muda datang ke rumah beliau. Anak-anak muda tersebut biasa mengadakan kunjungan mingguan ke rumah-rumah kaum muslimin dalam rangka silaturahmi dan berdakwah pada Allah `azza wa jalla. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Syekh Solah.

Setelah sedikit bercengkrama, para pemuda tersebut mengutarakan maksud kedatangan mereka, yakni ingin mengundang syekh Solah untuk menjadi pembicara di mesjid tempat biasa mereka beraktifitas. Syekh Solah menyambut baik permintaan mereka.

Dalam hal ilmu beliau memang tipe seorang dermawan. Beliau tak pernah minta imbalan setiap usai mengisi sebuah acara. Ketika ditanya sebab penolakan tersebut beliau menjawab, “Saya ingin berbuat karena Allah ta`ala, saya ingin mengikuti jejak pendahulu saya sebagaimana para Rasul dan Nabi.”

Acara hari itu berlangsung dari setelah ashar sampai maghrib . Dan seperti biasa usai penyampaian materi keutamaan berdakwah di jalan Allah mereka mengadakan silaturahmi ke rumah-rumah kaum muslimin. Menjelang berangkat mereka menentukan siapa yang akan menjadi penunjuk jalan, yang akan ikut keluar, dan pembicara.

Untuk menjadi pembicara mereka selalu memilih orang-orang yang alim diantara mereka. Pada waktu itu, Syekh Solah diminta untuk menjadi pembicara. Beliau pun dengan senang hati menerima permohonan mereka.

Ketika telah sampai di sebuah rumah yang akan mereka kunjungi, salah seorang dari para pemuda mengetok pintu rumah tersebut. Setelah beberapa lama menunggu, keluarlah seorang laki-laki, kemudian dia bertanya, “Ada perlu apa kalian datang kesini?”.
Salah seorang dari mereka berkata, “Kami datang dengan maksud untuk silaturahmi dengan anda.”

Dengan nada marah dan kesal laki-laki itu berkata, "Saya tidak sudi menerima kedatangan orang-orang seperti kalian, pergi dari sini!". Ia berkata sambil menyemburkan air ludahnya, dan air ludah tersebut tepat mengenai muka syekh Solah.

Para pemuda merasa sangat bersalah pada syekh Solah. Mereka membantu syekh Solah membersihkan air ludah yang berserakan di wajah beliau. Mereka meminta ma`af pada beliau, karena sebab merekalah beliau diludahi oleh laki-laki tadi. Mereka menjelaskan bahwa laki-laki tersebut adalah seorang preman dan gemar berjudi, mereka datang padanya dengan harapan bisa mengajaknya kembali ke jalan yang benar.

Syekh Solah hanya tersenyum, kemudian beliau berkata, “Anak-anakku, terima kasih kalian telah mengajarkan satu hal penting untuk saya saat ini. Pada hari ini saya telah menyadari dan merasakan bagaimana berat, susah, dan sulitnya perjuangan Rasulullah Shallallahu `alahi wa sallam dalam menyerukan dakwah islam. Selama ini saya hanya menulis dan sering berbicara dihadapan orang banyak tentang Sirah dan Sunnah Rasulullah. Saya hampir tidak pernah terjun langsung ke lapangan.”

“Dan hari ini telah tersingkap hakikat dihadapan saya, betapa dakwah bilqalam (dengan pena) begitu mudah dan betapa dakwah bilqadam (dengan berjalan kaki, mendatangi objek dakwah) begitu berat. Ya, betapa menulis di atas lembaran kertas sangatlah gampang sedangkan menulis di dalam lembaran amal sangatlah berat, butuh kesabaran, serta perjuangan tangguh.”

Semoga kisah diatas bisa menjadi renungan kita bersama, insya Allah.

Ampuni Aku Yaa Rabb

Aku duduk sambil tersungut di pojok beranda masjid. Hatiku geram. Sesekali gemerutuk gigi-gigi geraham yang bertubrukan menggoyang-goyang pipiku. Hembusan nafas antara putus asa dan rasa marah kulempar berulangkali. Kalau saja bukan karena di masjid, ingin segera kutumpahkan segala caci maki dan kejengkelanku sampai aku puas. Puas menumpahkan emosi kepada siapa yang telah menzalimi diriku.

Pandanganku menyapu tangga masjid tua itu sekali lagi. Dari satu pojok ke pojok yang lain. Dari satu tangga ke tangga yang lain. Bahkan rak sepatu dan sandal di sisi tempat penitipan barang telah aku periksa berungkali. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya aku menerima kehilangan itu dengan terpaksa. Terpaksa menahan marah, jengkel, kecewa di ”Rumah” Tuhan. Terpaksa pula kehilangan kesabaran karena dizalimi di ”Rumah” Tuhan.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang kakek tua berjubah putih telah duduk persis di samping kananku. Aku setengah takjub. Belum hilang rasa jengkelku karena kecurian, kedatangan pria yang seolah misterius ini menambah kalut mesin beripikir di kepalaku. Meskipun begitu, sejenak aku terhibur. Ia tersenyum amat berwibawa. Wajahnya berseri. Janggutnya yang lebat rapih menyihirku. Ia menatapku dalam menghujam.

”Apa yang Engkau risaukan, anak muda?”, sapanya. Suaranya khas sekali. Berat dan kharismatik.

”Bapak, siapa?”, kujawab sapaannya dengan balik bertanya.

”Sama seperti kamu, anak muda. Hamba Tuhan. Mengapa wajahmu kelihatan marah dan tertekan?”, ia kembali bertanya tentang perasaanku.

”Saya kehilangan sandal. Sandal seharga duaratus limapuluh ribu. Baru saya pakai sakali ini”, jawab saya datar tidak seperti lahar kejengkelan yang membara sebelum bertemu laki-laki sepuh ini.

”Cuma sandal?”, ia balik bertanya mendengara jawaban saya.

”Ya, memang cuma sandal. Tapi harganya cukup mahal”, kilahku.

”Duaratus limapuluh ribu, itu harga yang murah. Belum sebanding”, kali ini pernyataannya lebih ditekan. Perasaanku ikut tertekan.

Sejurus, lelaki sepuh berjubah putih itu berdiri. Tangannya diulurkan ke arahku. Anggukan kepalnya memberi isyarat, agar aku mengikuti langkahnya. Aku menurut saja.

”Mari saya carikan obat”.

Obat? Aku tak butuh obat pikirku. Kalaupun yang kubutuhkan sekarang adalah sandalku kembali. Aku juga butuh tahu siapa orang yang telah mencurinya. Kalau perlu aku akan menghajarnya karena telah mengambil milik orang yang bukan haknya.

Aku terus mengikutinya hingga sampai di suatu tempat yang mirip pasar tradisional tapi lengang. Aku dibawanya mampir ke sebuah toko. Susana di sekitar toko itu pun sepi. Hanya ada satu dua orang saja yang melintas dan melihat-lihat barang yang dijual. Kesepiannya mengantarku seperti tengah berada di negeri asing. Suasana dan orang-orang yang kujumpai asing. Orang yang mengajakku pun asing. Lalu, Aku ditunjukkan pada pemilik toko yang juga asing. Aku kemudian tahu, ia menjual sepatu dan sandal-sandal bekas.

”Anak muda, singgahlah sebentar dan tumpahkan kekesalanmu pada pemilik toko ini. Mudah-mudahan hatimu ridha atas sandalmu. Sandalmu belum sebanding”. Aku belum tetap mengerti maksud ucapan ”belum sabanding” lelaki sepuh itu. Aku ingin menanyakannya, tetapi ia keburu menghilang. Entah kemana.

Tapak kakiku terasa panasperih. Kerikil dan tanah kering yang terbakar terik matahari, leluasa menusuk-nusuk hingga ke ujung jari kakiku yang tak lagi bersandal. Kakiku tersiksa oleh keculasan si pencuri. Dia telah memecah-mecah tumitnya hingga menyisakan garis-garis hitam. Jelek dan kusam. Yang kumaki kini bukan lagi si pencuri sandal, tapi juga kuratapi nasib kedua kakiku.

Kuhampiri lebih dekat toko itu. Lebih dekat, kulihat sosok laki-laki bersurban duduk bersila di atas dipan. Gamisnya menutup tubuhnya hingga kedua kakinyapun tersembunyi. Melihat kedatanganku dan mendekat, laki-laki itu tersenyum dan menyambut hangat. Tapi sedikitpun ia tidak bergeser dari duduknya. Hanya mempersilahkan aku melihat-lihat barang bekasnya.

”Silahkan anak muda. Barangkali ada yang berkenan di hatimu”, laki-laki itu menyapa dan menawarkan dagangannya. Aku merasa ada baiknya memilih sepasang.

” Terima kasih. Kalau bukan karena pencuri sialan itu, mungkin saya tidak akan sampai di sini”. Aku mulai memaki lagi nasib buruk beberapa saat lalu. Tanpa terasa keluhan atas semua kesialanku tertumpah. Kumaki habis pencuri sandal mahalku itu seolah ia tepat di depanku. Suaraku geram, mataku jalang dan lidah kemarahanku menyambar-nyambar dinding caci maki dan menumpahkannya sebanyak mungkin sampai aku capek sendiri.

”Inna lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Sebegitu marah dan kecewanyakah Engkau anak muda?”, tiba-tiba laki-laki pemilik toko itu bicara. Segera Aku sepenuhnya sadar, bahwa pemilik toko itu menangkap semua emosi yang kutumpahkan. Umpat, caci maki dan seribu kata keji mungkin ia tangkap pula seluruhnya. Menatap matanya, aku malu. Mendengar responnya, aku membisu.

”Marah dan kata-kata kasarmu tidak sebanding dengan sandalmu yang dicuri. Jika si pencuri itu hadir di matamu, luka hatinya atas cacianmu tidak sepadan dengan luka memar di kakimu itu. Padahal kamu belum tahu alasan mengapa ia mencuri”, pemilik toko itu menghujam ulu hatiku dengan ucapannya yang tajam lagi datar. Aku terperangah dengan muka memerah. Kini aku jadi bulan-bulanan atas mulutku sendiri.

Laki-laki itu melanjutkan, ” padahal bisa jadi ia mencuri karena terpaksa, bukan semata-mata karena kebiasaannya mencuri. Mungkin karena lapar, anak dan isterinya juga kelaparan atau karena satu dan lain hal sehingga memaksanya mengambil milik orang lain”.

”Tapi, mungkin juga karena memang orang itu terbiasa mencuri, bukan? Bahkan dilakukannya di masjid, Rumah Tuhan”, Aku mencoba membela diri.

”Mungkin juga. Bahkan karena nekatnya, di masjid pun ia lakukan. Namun, sikapmu menerima situasi demikian tidak pantas Anak Muda. Caci dan makianmu tidak mengembalikan sandalmu yang hilang, sementara mulutmu telah tidak sadar kau kotori dengan dosa oleh cacianmu itu”.

Ulu hatiku semakin sakit. Aku yang tengah dirundung sial terus terpojok. Aku membatin. Tapi, kata-kata penjaga toko itu perlahan mempengaruhi kesadaranku. Ego dan amarahku hampir redup disiram bijak kata-katanya, meskipun letupan-letupan dendam kesumat kecil masih timbul tenggelam di ujung nafsu amarah.

”Sandal itu cukup mahal bagi saya. Dua ratus lima puluh ribu hampir seperdelapan dari gaji saya setiap bulan untuk harganya. Lagi pula, baru sekali ini saya pakai. Wajar kan jika saya kecewa dan marah?”, Aku masih mencoba bertahan di antara sisa-sisa ke-Aku-an yang kian padam.

Laki-laki pemilik toko itu hanya tersenyum mendengar pembelaanku. Kepalanya menggeleng-geleng ritmis. Alisnya yang bertaut bergerak ke atas mengikuti gerak tubuhnya yang bergeser mendekati tepi dipan.

“ Engkau masih beruntung, Anak muda. Karena cuma sandalmu yang hilang. Harga dirimu tidak koyak, rasa malumu tetap terjaga dan kepercayaan dirimu masih utuh. Kamu masih patut bersyukur sebab masih dapat berjalan tegak meskipun tanpa sandal. Kamu tidak pantas menjadi laki-laki rapuh dihantam marah hanya karena kehilangan harga dua ratus lima puluh ribu saja. Lihatlah keadaanku”.

Laki-laki itu menyingkap ujung bawah gamisnya. Aku terkesiap. Ya Tuhan, dua kakinya buntung sebatas pergelangan. Aku merinding disergap ngeri. Tenggorokanku kering kerontang seketika. Inikah arti dari ucapan ”belum sebanding” orang sepuh beberapa saat lalu?

”Aku kehilangan dua pergelangan kaki, Anak muda. Aku juga tidak tahu berapa harga kedua kaki itu. Yang kuingat bahwa kecelakaan kerja yang kualami lima tahun lalu merenggut keduanya. Aku masih bersyukur nyawaku selamat. Allah masih menyayangiku. Lagi pula Aku tidak pernah membayar untuk sepasang kaki itu. Gratis. Kecelakaan itu adalah sunnatullah bahwa Yang Maha Memberi, meminta kaki yang dititipkan padaku dikembalikan pada-Nya. Kamu masih lebih beruntung berlipat-lipat. Allah hanya meminta sandalmu, bukan kakimu. Lihatlah, kakimu masih menapak dengan jemarinya yang masih utuh”.

Aku membatu dalam kebisuan. Hancur lebur sudah kemarahan yang sejak tadi kumanjakan. Gemuruh dadaku berubah warna dari merah membara menjadi putih kebiruan. Sejuk, lumer dan dan akhirnya kerdil.

” Anak muda, jangan pernah berpikir absolut bahwa apa yang selama ini kita genggam adalah milik kita. Semua hal yang Kau pandang sebagai kekayaan, apapun wujudnya, hakikatnya hanya titipan. Manusia hanya sebatas diberi hak untuk memanfaatkan dalam kebaikan. Bukan memiliki sekehendak hati, apalagi dengan membabi buta seperti orang yang lupa bahwa dunai ini pun akan ditinggalkannya. Kalau hanya sekedar sandal saja Engkau sudah begitu takabur, bagaimana dengan kehidupanmu yang kelak juga akan diambil-Nya?”.

Habis sudah diriku. Habis sudah egoku. Air hangat meleleh dari kedua kelopak mataku. Dadaku sesak oleh luapan tangis yang kutahan sedapat mungkin. Tagi guncangannya tak kuat kutahan. Sampai kemudian aku sadar sesadar sadarnya.

”Ayah, bangun Yah, sudah jam empat”.

Antara jaga dan tidur aku merasakan sentuhan lembut di pundaku. Suara yang amat kukenal membangunkanku dari selimut malam dan menghentikan dengkurnya. Aku bangun dengan kelopak mata yang basah. Aku menangis dalam tidur, tapi air mata dan penggalan mimpi terbawa di alam jaga. Aku benar-benar hanyut. Jauh, jauh sekali. Ya Allah mimpi apa itu? Apakah Engkau tengah menegurku sebab beberapa minggu lalu Aku sempat mengeluh lama karena kehilangan telepon genggam untuk yang kedua kali?

Alhamdulillah, Aku masih hidup dan masih diberi kesempatan menghirup udara pagi. Ya Allah, rizki yang kau beri memang datang dan pergi silih berganti. Ampuni Aku Ya Rabb.

Pelajaran Tauhid Di Waktu Fajar

“Lihat, purnama nak!” Seruku pada anak-anakku yang masih berada di dalam rumah. Aku berdiri di teras, memandang ke atas, terkagum-kagum pada salah satu kreasi Allah Yang Maha Agung.

Anak-anakku berhamburan lari ke luar. Sudah lengkap dengan perlengkapan sholat. Mereka semua mengucapkan tasbih, menyaksikan keindahan purnama yang tersisa di saat fajar.

Hari itu memang salah satu dari hari-hari ayyaamul bidh, hari-hari pertengahan di bulan qomariyah. Bulan sedang berada pada puncak keindahannya. Keindahan mempesona yang masih tersisa saat fajar merekah. Kami sekeluarga baru saja sahur bersama, dan dengan penuh semangat hendak berangkat ke Musholla untuk sholat shubuh berjamaah. Istriku yang masih hamil muda memutuskan sholat di rumah. Si bungsu memilih ikut ibunya saja.

Sepanjang jalan tak henti-henti anak-anak bertanya seputar peredaran bulan, orbit, dan peredaran matahari. Mengapa bulan seolah berjalan mengikuti kita, dan dimana posisi matahari saat bulan muncul. Aku menjawab dengan ingatan yang terbatas, terkadang bisa cukup meyakinkan, saat yang lain aku cukup menjawab, ”nanti kita cari di google ya ..!”

Aku sholat, menghadap kepada Allah, dengan hati diliputi perasaan begitu kecil tak berarti. Bayangkan, menghadap kepada Allah, Yang Menciptakan bulan, menciptakan alam semesta, bahkan juga menciptakan diriku ini. Dia begitu dekat, lebih dekat dari urat leher. Dia Maha Melihat, bahkan melihat gerak batinku. Dia Maha Kuasa, dengan kuasa tak berbatas. Dia Maha Berkehendak, namun juga Maha Bijaksana.

Bertemu dengan direktur perusahaan saja aku harus menyesuaikan diri, penampilan, sikap dan tutur kata! Apalagi menghadap ’Direktur Alam Semesta’! Sungguh, begitu banyak kelalaian yang telah hambaMu ini lakukan Ya Allah!

Usai sholat, diskusi kami masih berlanjut. Kali ini di lapangan Musholla, di mana kami bisa menyaksikan langit luas, rembulan, dan beberapa bintang yang tersisa. Kututurkan kepada anak-anakku, betapa luar biasanya Dzat yang mampu menciptakan itu semua.

”Betapa luar biasanya Allah, Yang Mampu Menciptakan ini semua ...”

Namun berdiskusi dengan anak-anak tentu harus sesuai dengan usia mereka. Berbeda dengan menyampaikan hal ini kepada orang-orang tua, yang umumnya akan merenung, dan duduk terpekur, meresapi kebesaran Allah Swt. Menyampaikan hal ini kepada anak-anak tidaklah mengurangi kecerewetan dan kelincahan mereka.

Sambil melonjak-lonjak, si sulung yang hampir ABG mengatakan bahwa dia akan mencoba semakin khusyu dan rajin meminta kepada Allah, terutama saat sholat dhuha, agar naskah novel yang ia kirim ke penerbit bisa segera diterbitkan. Yang nomor dua masih ribut menanyakan tentang bagaimana sebenarnya siklus peredaran bulan dan matahari.

Aku tersenyum saja, menikmati antusiasme mereka. Namun kucoba terus menanamkan ke dalam pikiran mereka, bahwa menyadari kebesaran Allah adalah sesuatu yang akan mengantarkan kita kepada khusyu’ nya sholat. Saat sholat, rasakan betul bahwa kita tengah menghadap Rabb Yang Menguasai segalanya. Kalau sudah seperti ini, mungkin kita akan gemetar, minimal hati kita bergetar, kekhusyuan akan mengalir, dan permohonan ampun serta berbagai permintaan dapat kita ajukan dengan penuh kesyahduan dan keyakinan.

Apakah ini topik yang terlalu dini bagi anak-anak? Aku yakin tidak. Mengenal Allah adalah pelajaran paling dini yang mestinya ditanamkan oleh para orang tua kepada anak-anaknya. Walaupun - sayangnya - pengetahuanku sendiri amatlah terbatas, dan masih banyak orang-orang lain yang lebih faham dan sholeh dari pada diriku dalam mengajarkan hal ini, namun aku adalah ayah mereka. Artinya akulah yang paling bertanggung jawab, meski aku bukan orang yang paling alim. Akulah yang sehari-hari mereka lihat, dan akhlaqku pula yang akan mewarnai akhlaq mereka dan bahkan akhlaq ibu mereka.

”Maaf Bi, kemarin aku enggak sempet sholat dhuha di sekolah, enggak sempet!” kata si nomor dua dengan mimik serius. Anak sembilan tahun ini memang berusaha melazimkan sholat dhuha di sekolahnya, dengan cara ’mencuri 10 menit’ jatah bermainnya di sekolah. Bahkan ia berhasil ’mempengaruhi’ beberapa orang temannya untuk mengikuti jejaknya melazimkan sholat dhuha.

”Tapi kemarin tilawahku selesai kok, satu juz,” katanya lagi, seolah-olah membela diri.

Dan aku pun tersenyum, menegaskan persetujuan, dukungan, dan rasa sayangku, tanpa kata. Sementara jauh di dalam hatiku menetes air mata syukur, dan doa penuh harap, agar Dia memelihara kami, berkenan menjadikan kami sebagai kekasih-kekasih-Nya.

Suami Yang Mudah Terpancing Emosi

Beberapa hari yang lalu dalam suatu kesempatan seseorang bercerita pada saya tentang curhat seorang temannya. Kisah yang begitu membuat hati saya terenyuh dan larut dalam kesedihan. Saya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu, apalagi usia pernikahan saya yang masih muda belum membuat saya berani untuk memberikan saran dan masukan. Namun rasa peduli dan iba yang muncul dalam hati membuat saya ingin mencoba untuk sedikit berbagi pengalaman.

Ia bercerita, “Rahma-nama samaran- adalah seorang wanita yang tidak berlatar belakang pendidikan agama (pesantren). Ia dinikahi oleh seorang pria yang di kampungnya dikenal sebagai seorang ustadz yang sangat ramah dan berpengetahuan luas dalam hal agama. Awalnya Rahma sangat berharap akan hidup bahagia dengan menjadi istri bagi seorang ustadz yang sangat dikagumi dan dihormati oleh masyarakat di kampungnya.

Dan memang, sebelum dia dipersunting oleh sang ustadz, dia sangat simpati pada ustadz tersebut karena disetiap pengajian dan ceramah yang disampaikannya, mampu menyejukkan hati para pendengarnya, dan dia mengira dan berharap sang ustadz akan mengamalkan semua apa yang disampaikannya pada masyarakat.

Pernikahan mereka baru berusia tiga tahun, namun selama ini rahma merasa seolah-olah ucapan dan sikap sang suami sangat berbeda. Ketika di luar rumah, sang suami kelihatan ramah, lembut, dan sangat penyayang, sehingga masyarakat sangat menghormatinya. Namun sebaliknya, ketika di rumah, sang suami bersikap keras dan sangat mudah terpancing emosinya.

Hati Rahma sangat terpukul ketika suaminya berkata kepadanya, “Dasar istri (maaf) anjing.” Ketika mendengar kata-kata itu perasaan Rahma sangat terpukul dan merasa sedih sekali. Gara-garanya rahma mengkritik sang suami dengan berkata, "Ketika ceramah kamu berkata begini dan begitu, namun giliran di rumah kamu selalu menghardik dan berkata kasar kepada istri.”

Menurut Rahma, walaupun dia tak tahu banyak soal agama, namun dia tahu bagaimana seharusnya sikap seorang suami kepada istrinya. Awalnya rahma berharap, suaminya akan memperlakukannya dengan lemah lembut, mengecup keningnya, mengucapkan salam dan menanyakan kabar istri ketika masuk rumah, menolong pekerjaan istri, dsbnya, sebagaimana cerita indah pasangan suami istri para sahabat nabi, terutama Rasulullah. Namun seolah-olah itu hanya tinggal impian belaka.

Selama ini dia merasa sudah melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang istri dan ibu, walaupun masih ada beberapa kekeliruan dan kesalahan kecil yang sebenarnya masih bisa ditegur dengan cara baik-baik. Dia merasa, sikap suaminya tersebut bukan malah menyadarinya dari kesalahan-kesalahannya, namun malah menambah sakit hati pada sang suami.”

Saya bisa maklum bahwa pernikahan tidak selalu bahagia. Ada saat dimana gejolak dan benturan-benturan mencoba mengolengkan bahtera rumah tangga. Namun sesulit apapun kondisi yang menghadang, jika dihadapi dengan pikiran jernih, hati yang bersih, dan azam yang kuat, cepat atau lambat jalan keluar akan nampak juga.

Belajar dari kisah Rahma diatas ada hal penting yang patut kita perhatikan, terutama bagi yang ingin menikah, bahwa sangat penting sekali sebelum melangkah pada jenjang pernikahan seseorang harus tahu dan mengenal watak, karakter, dan pribadi orang yang akan ia jadikan teman hidupnya.
Umpama seseorang akan melakukan perjalanan jauh, ia harus bijak dan pandai memilih kawan agar tidak sengsara dalam perjalanan nantinya. Memilih kawan yang jujur, amanah, se-ide, dan berhati baik. Dalam upaya untuk mengenal lebih jauh kepribadian calon pasangan tetap harus dalam koridor syar`i dan bukan dengan cara pacaran yang banyak digandrungi muda-mudi saat ini yang cenderung membawa pada kemudharatan dan pelampiasan syahwat sesaat.

Terkadang, sebagian orang terlena dengan penampilan sesaat yang cukup mengesankan, namun di dalam diri orang tersebut ada sikap tidak baik yang berusaha ia tutupi dari orang lain. Ibarat seseorang yang menjadi artis, dalam film ia begitu anggun, berjilbab, sopan, ramah, ya begitu memikat hati, menjadi idola, dan kebanggaan banyak orang. Tapi di luar film, dalam keseharian, banyak prilakunya yang jauh dari tuntunan agama.

Dalam upaya mengenal kepribadian calon pasangan, jalan yang bisa kita tempuh adalah: Pertama, dengan meminta petunjuk pada Allah melalui shalat Istikharah dan shalat Hajat. Allah yang Maha Mengetahui akan menunjukkan jalan dan memberikan ketenangan kepada hati terhadap pilihan kita.
Kedua, dengan meminta tolong pada pihak terdekat dengan calon, seperti kedua orang tuanya, saudara/inya, teman-temannya, dllnya. Atau dalam istilah lain bermusyawarah dengan mereka tentang pribadi calon tersebut. Menanyakan kesehariannya, kebiasaannya yang positif dan negatif, prilakunya, wataknya, dan seterusnya. Sehingga itu menjadi pertimbangan sebelum menjatuhkan pilihan.

Apabila kita sudah istikharah, hati merasa mantap, dan setelah bermusyarah hati semakin yakin, insya Allah teruslah melangkah, itu menjadi petunjuk bahwa pilihan tersebut adalah yang tepat dan sesuai saat ini.
Walau nanti setelah berumah tangga akan ada masalah yang terjadi itu adalah hal yang wajar. Karena ibarat kita mengarungi samudera yang luas, tidak selamanya akan tenang, akan ada ombak yang akan mencoba menggoncang bahtera rumah tangga. Sehingga setiap individu diharapkan untuk tetap berpikiran jernih, berbaik sangka, dan tenang walau dalam kondisi sesulit apapun.

Ketika terjadi konflik dalam rumah tangga, suami suka berkata kasar dan menyakiti hati istri, ada dua faktor yang mungkin menjadi pemicu; internal dan eksternal. Internalnya adalah istri, ia harus melakukan introspeksi diri. Bagaimanapun juga hal itu harus dilakukan dengan pikiran yang jernih dan keinginan yang jujur. Apakah selama ini kata-kata dan sikapnya pernah melukai dan menyinggung hati suaminya. Jika setelah diteliti hal itu tidak ia temukan, dan istri merasa yakin bahwa sikapnya selama ini masih wajar dan tidak berlebihan, maka pemicunya mungkin berasal dari eksternal, yaitu suami.

Sebagai seorang istri yang menginginkan kebaikan dan keutuhan rumah tangga ia harus mencoba bertanya pada suaminya dengan tenang, sabar dan lembut, melalui lisan (langsung) atau tulisan jika secara lisan tidak memungkinkan. Apa yang menjadi penyebab sikap suaminya begitu kasar. Apakah selama ini ia telah berlaku tidak baik, tidak sopan, dan tidak menyenangkan. Apa saja sikapnya yang tidak disukai suami selama ini. Jika suami mengatakan ada, dan ia menyebutkan, maka minta maaflah padanya, dan berjanjilah untuk segera merubahnya.

Namun jika setelah ditanya secara jujur ia mengatakan tidak ada, barangkali sang suami sedang menghadapi permasalahan, baik itu pribadi atau dengan orang lain.
Untuk hal ini coba dengan baik-baik menanyakan pada suami. Dan utarakan bahwa apa yang menjadi beban suami, juga menjadi bebannya, dan katakan bahwa ia akan selalu siap, setia, dan membantu segala kesulitan suaminya.

Bila suami enggan untuk memberi jawaban/bercerita, cari tahulah orang terdekat dengannya, mungkin orang tua, saudara/i dan lainnya. Orang yang ia segani dan ia dengar kata-katanya. Coba tanyakan pada orang tersebut adakah suaminya bercerita tentang dirinya/rumah tangganya atau permasalahannya, jika tidak ada, coba utarakan pada orang terdekat itu kondisi yang kini tengah ia hadapi dengan suaminya dan meminta tolong untuk menyelesaikan permasalahan itu. Baik secara person atau mempertemukan kedua belah pihak untuk mendamaikan.

Dibawah ini ada kiat-kiat untuk meraih kasih sayang dan melunakkan hati suami :
1. Selalulah berdoa pada Allah agar diberikan ketabahan terhadap ujian yang tengah menimpa rumah tangga, memohon pada Allah agar menjaga keutuhan rumah tangga, meminta ampun atas dosa-dosanya dan dosa-dosa suaminya, dan memberi petunjuk pada suaminya untuk merubah sikapnya.

2. Sekali-kali (jika sering sangat baik), bangunlah di malam hari untuk berdoa pada Allah seusai shalat Tahajud, dan alangkah indahnya ketika seorang istri berdoa di keheningan malam dengan deraian air mata tulus di hadapan Allah, berdoa untuk keutuhan keluarga dan kebaikan suaminya. Apalagi kalau hal itu tanpa ia sadari diketahui suaminya, dengan izin Allah, suami akan terharu, meneteskan airmata, dan menyadari kekeliruannya.
Sedikit cerita dari seorang teman saya dari Yaman. Kisahnya tidak jauh beda dengan Rahma.
Sang istri tersebut selalu bangun tengah malam sendiri. Dalam shalat dan doanya ia menangis panjang dan hal itu tanpa ia sadari diketahui oleh suaminya. Suaminya terharu, ikut menangis, dan sejak saat itu kehidupan rumah tangganya menjadi harmonis, sakinah dan penuh mawaddah.

3. Bagaimanapun kasar dan kerasnya perlakuan suami, cobalah untuk tetap tenang, sabar dan tersenyum. Selalu memberikan perhatian tulus dan pelayanan terbaik pada suami. Yakinlah bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan kesabaran hamba-Nya. Dan yakinlah bahwa hati yang keras suatu saat akan luluh juga dengan keistiqamahan kita dalam kebaikan.

4. Berilah selalu penghormatan yang tulus. Mudah tersenyum. Berikan perhatian tulus pada suami, tanyakan apa keinginannya, lakukan apa yang ia perintahkan, sambut mesra ketika ia pulang ke rumah, dan tanya keadaannya.
Jika ia bekerja di luar rumah, secara rutin, teleponlah ia, tanyakan kabarnya, kesehatannya, sudah makan, sedang apa, dsbnya.

5. Jangan bosan untuk mengatakan, “Aku cinta padamu”, “Aku rindu padamu kanda”, “Dinda sayang pada kanda.” Dan ungkapan-ungkapan mesra lainnya.

6. Sekali-kali ajaklah ia berjalan-jalan/bertamasya, dalam perjalanan itu katakanlah dengan tulus sambil menggenggam erat tangannya, “Kanda aku sangat mencintaimu, seperti seorang bidadari sorga yang mencintai suaminya”. “Kanda aku bahagia hidup bersamamu”, dan kata-kata mesra lainnya.

7. Selalulah berhias di hadapannya, gunakan parfum yang ia sukai, ya selalulah tampil anggun, bersih dan rapi ketika bergaul dengannya. Buatlah diri selalu menarik di hadapannya, rawatlah selalu kesegaran dan kecantikan wajah serta tubuh. Jika ia berada dirumah jadikan hatinya paling senang jika berada di rumah, buatlah rumah senyaman mungkin dengan tata ruang yang manis, rapi, dan indah menawan.

8. Sekali-kali candailah ia, ajak ia tertawa dan bawakan cerita-cerita yang membuatnya tersenyum dan terhibur. Pujilah ia, hargai pendapatnya dan berikan ia dorongan ketika ragu untuk melangkah pada kebaikan. Semangati ia bahwa ia akan selalu ada disampingnya.

9. Jika ia salah dan keliru, mudahlah memberi maaf dan balaslah dengan kebaikan. Jangan egois dan selalu mementingkan keinginan sendiri. Terbukalah padanya, jangan menutup-nutupi sesuatu darinya . Jangan langsung marah jika menemukan sesuatu yang tidak disukai darinya. Tetapi ajaklah ia berdiskusi, dan mintalah saran, dan pendapat darinya. Dan berilah pengertian kepadanya bahwa apa yang dilakukannya akan berdampak buruk bagi keutuhan kehidupan berumah tangga.

10. Jika ia butuh bantuan, segeralah memenuhinya. Jadilah orang yang selalu perhatian terhadap kebutuhannya.
Dan sangat banyak hal lainnya yang bisa dilakukan. Tak lupa juga untuk membaca kisah-kisah istri teladan yang telah mengharumkan sejarah.

Sebagai seorang hamba Allah kita harus tetap sabar, tenang, berbaik sangka, optimis, dan yakin bahwa seberat apapun ujian dan kesulitan yang menimpa seorang hamba, Allah juga telah menyiapkan jalan keluarnya. Semua itu merupakan medan ujian guna meningkatkan kualitas iman dan ladang amal untuk memanen pahala. Kita harus selalu percaya bahwa Allah selalu beserta hamba-Nya yang sabar dan tawakal dalam menjalani hidup dan selalu memohon pertolongan-Nya.
Semoga tulisan yang sederhana ini memberi manfaat buat kita semua, insya Allah.
Wallahu a`lam bish-showab.

Kepercayaan

Kepercayaan

Seorang wirausaha adalah seseorang yang luar biasa. Otaknya seperti parasut, bekerja karena terbuka. Panjang akal. Selalu menemukan pintu keluar pada setiap dinding kesulitan. Bekerja penuh disiplin. Berkomitmen. Modal utamanya bukanlah uang, tetapi kepercayaan. Ia terbiasa menghadapi penolakan. Tapi ia menolak penolakan itu.

(Renald Kasali)

Setamat SMU, laki-laki itu tak sempat mengenyam bangku kuliah. Seperti teman-teman lainnya, ia mencoba mengais peruntungan sebagai buruh pabrik di di kawasan industri Bogor. Namun, disanapun ia tak bertahan lama. Ia rupanya bukan sosok yang mudah diatur-atur oleh orang lain.

Cita-citanya jadi seorang jurnalis, kandas. Keinginan orang tuanya untuk menjadi seorang pengajar juga tak berhasil. Menjadi buruh migran di negri jiran juga tak semanis seperti orang lain. Intinya, ia merasa gagal.

Ia kembali ke kampung. Kali ini ia tertarik dengan wiraswasta. Karena tak punya modal uang, ia ragu-ragu. Ahirnya ia berlari ke Jogja. Disanalah ia berkenalan dengan seorang penjual koran. Dari penjual koran itulah ia diberi wawasan usaha. Dengan selembar KTP, ia mendapat kepercayaan untuk menjajakan koran dari sebuah agen surat kabar dan majalah di Malioboro.

Laki-laki itu menikmati jalan hidupnya. Dalam waktu sebulan ia sudah mempunyai banyak langganan. Ia dapat makan, ia bisa mempunyai pendapatan. Ia makin bersemangat, bahkan ada niat untuk mencoba kuliah.

Ketika langganan sudah semakin banyak, Allah SWT mengujinya. Ia diare berkepanjangan, yang ahirnya ia pulang kampung lagi. Namun kepulangan saat ini, berbeda dengan waktu-waktu yang lalu. Kepulangannya sekarang lebih mempunyai banyak hikmah.

Setelah sembuh, naluri usahanya bangkit lagi. Kali ini dengan selembar KTP lagi dan uang Rp 42.000,- ia mencoba mendekati seorang pedagang kain. Kepercayaanpun berhasil ia bangun. Ia mulai ngedrop barang-barang ke kotanya dari Yogya.Di sebuah tempat wisatalah ia mencoba membangun usaha kembali.

Awalnya menyewa sebuah tempat, ahirnya tempat itu berhasil ia beli. Usahanya cukup berkembang, bahkan ia bisa membeli satu kios lagi di pasar. Orang setempat mengatakan ia pemuda sukses, karena usahanya lincah dan pandai menangkap peluang.

Krisis ekonomi datang. Ia pun sempat kena dampaknya. Bahkan ia kolaps. Tak bisa bangkit lagi. Ia sempat tak punya apa-apa lagi. Namun perjalanan waktu membuatnya ia senantiasa bisa bertahan dan survive.

Lagi-lagi hanya bermodalkan kepercayaan, ia mencoba kembali membangun usaha. Jika ia diam dan hanya menunggu-nunggu modal berupa uang, ia hanya akan menjadi manusia tak hidup yang kelihatan gentayangan. Sebab ia bukanlah sosok penerus dinasti bisnisnya Bakrie atau oom Liem.

Ibarat orang berlari, laki-laki itu telah melewati banyak jalan berliku, menanjak dan menurun. Laki-laki itu terengah-engah kelelahan. Tapi impiannya untuk menemukan sebuah mata air yang sejuk terus ia upayakan.

Sekarang tentu ia harus bangkit lagi jika ingin menemukan kesuksesan. Ia tak akan sampai ke tujuan jika ia hanya berhenti disitu. Dengan tenaga yang tersisa iapun bangkit, dan mulailah ia menapaki kembali perjalanannya untuk mencapai yang ia inginkan.

Ia terus berusaha. Ia yakin, Allah pasti menolongnya. Jatuh bangun ia lalui. Kalau dihitung-hitung, malah banyak jatuhnya ketimbang bangkitnya.Tapi ia tidak menyerah.

Rupanya, laki-laki itu memang telah bermental wirausaha. Kata Renald Kasali, si konsultan bisnis itu, bahwa: Seorang wirausaha adalah seseorang yang luar biasa. Otaknya seperti parasut, bekerja karena terbuka. Panjang akal. Selalu menemukan pintu keluar pada setiap dinding kesulitan. Bekerja penuh disiplin. Berkomitmen. Modal utamanya bukanlah uang, tetapi kepercayaan. Ia terbiasa menghadapi penolakan. Tapi ia menolak penolakan itu.

Laki-laki itu sekarang ditawari seseorang untuk mengelola sebuah warung makan di sebuah tempat wisata. Ia pun menerima tawaran baik itu. Lagi-lagi ia dipercaya oleh seseorang untuk mengembangkan sebuah usaha. Lagi-lagi kepercayaanlah yang membuatnya ia selalu bisa bertahan hidup.

Cara Mati

Adakah cara mati seseorang berbeda dengan orang kebanyakan? Adakah cara mati yang diluar nalar manusia. Misalkan mati tanpa menghembuskan nafas terakhir, atau mati dengan nafas tetap berhembus. Atau mungkin ada orang yang mati namun ia masih berbincang-bincang. Adakah persepsi kita tentang mati berbeda-beda?

Saya tidak hendak bicara tentang tahayul, bahkan ini adalah realita. Pada dasarnya pandangan kita tentang mati adalah sama, orang mati ya tidak bernafas, tidak bergerak dan tidak pula bicara. Setiap orang mati dalam keadaan yang sama, meninggalkan kegetiran dalam sebentuk jasad, dan onggokan daging yang tak lagi memiliki ciri kehidupan. Itulah mati, algoritmanya tidak berubah sepanjang masa, tua muda, kaya miskin, aktifis atau pengangguran, semua mengalami kematian dalam urutan yang sama.

Secara kedokteran tradisional mati dapat didefinisikan dengan sederhana yaitu berhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan : sistem syaraf pusat, jantung dan paru, secara permanent (permanent cessation of life). Ini yang disebut sebagai mati klinis atau mati somatis. Seorang yang mati dengan seluruh sistem pernafasan dan jantung berhenti belum dinamakan mati secara final, selama sistem syaraf pusatnya masih bekerja.

Saya sedikit meringis ketika mengetahui betapa peristiwa yang sebenarnya sudah biasa dan sering kita temui, ternyata begitu kompleks dan rumit. Pada dasarnya saya, anda dan orang kebanyakan berfikir bahwa mati adalah hilangnya nyawa dari jasad. Begitulah, nyawa menjadi kambing hitam akan keberadaan hidup manusia, namun dimana dan seperti apa nyawa adalah belum pernah terbukti secara ilmiah. Fakta yang sungguh menyakitkan. Sejauh dan sehebat ilmu pengetahuan teknologi modern manusia hari ini, ternyata belum bisa memformulasikan nyawa.

Mungkin sudah ratusan penelitian yang dilakukan untuk menemukan ”bentuk’ nyawa sesungguhnya. Namun, hingga hari ini tetap tak ada claim dan paten tentang siapa penemu nyawa. Mungkin berbagai detektor gelombang dan sensor sinyal telah dibuat tetap saja roh dan nyawa menjadi onggokan kata dalam sampah metafisika.

Namun, marilah kita renungkan sejenak, pada dasarnya kita memang memiliki definisi yang sama tentang kematian. Ketika mengetahui seorang dalam kondisi mati, kita akan berfikir tentang kondisi tidak bergerak, tidak bernafas, tidak berpikir, tidak menanggapi, yang semua ini merupakan kondisi akhir dari hidup manusia. Inilah pandangan fundamental manusia tentang mati. Bukan mati otak, mati somatic atau mati klinis.

Kita bisa buktikan ini di sekitar kita. Seorang mahasiswa dengan kendaraan bermotor mengalami kecelakaan dan terluka di bagian kepala akhirnya mati karena kehabisan darah. Seorang pengusaha kaya sekarat di atas ranjang rumah sakit mewah akhirnya mati karena kanker ganas menggerogoti paru-parunya. Seorang ibu muda melepaskan seluruh kekuatannya saat melahirkan anak pertamanya akhirnya mati karena pendarahan hebat. Saat membaca ketiga kondisi mati ini kita akan terfikir tentang mati yang sama. Hingga kini dan selanjutnya, definisi mati pada diri kita tak pernah berubah, pada siapa saja dimana saja, mati merupakan kondisi tidak bergerak, tidak bernafas, tidak berpikir, tidak menanggapi, yang semua ini merupakan kondisi akhir dari hidup manusia.

Tak ada lagi manusia bicara setelah mati, tak ada lagi manusia bergerak, bernafas, semua ciri kehidupan telah usai setelah mati. Jasad utuh tiada guna, meski seorang mati dalam keadaan segar bugar, misalkan mati terkena racun, atau mati karena kehabisan nafas. Seluruh bagian tubuh yang masih segar menjadi tanpa arti, jantung, paru-paru, mata, karena hilangnya satu komponen : nyawa, maka mereka tak lagi berarti. Meskipun sel-sel tubuh masih hidup, untuk beberapa jam, bahkan sel-sel hati masih hidup hingga beberapa hari, adalah sia-sia karena kondisi mati sudah ‘on’.

Mati memutus cerita indah dunia, meski mahasiswa itu baru saja mendapat cumlaude, meski pengusaha itu baru memenangkan sebuah transaksi besar, meski ibu muda itu mendapatkan cinta tulus seorang lelaki idaman, tetap saja, mati adalah akhir cerita hidup. Siapapun, dimanapun, ia tetap sama. Algoritmanya tidak berubah sepanjang masa.

Setelah mati, jasad dikubur, keluarga meminta maaf, harta warisan dibagi dan habislah perkara. Setiap orang, tak melihat apakah dia pejabat, rakyat, aktifis mahasiswa atau pengangguran, semua mengalami kondisi mati dalam runtun yang sama.

Jika memang demikian, lalu apa yang membedakan manusia? Apakah gerangan yang membedakan cara mati kita dengan orang lain?

Satu hal yang membedakan cara mati manusia, adalah cara hidupnya. Waktu manusia menyusun cerita, itulah hidup. Saat nafas, gerak, ucapan, pikiran masih berfungsi, itulah waktu yang diberikan pada kita. Cara hidup inilah yang menentukan cara mati kita. Bagaimana kita menggunakan nafas, gerak, ucapan, pikiran, saat semua itu berfungsi, akan menentukan cara mati kita, apakah baik atau buruk.

Mahasiswa itu mungkin mati dalam kondisi baik, karena setelah mati ia dikunjungi ratusan teman, sahabat, keluarga yang ingin melayat di rumahnya. Ia kecelakaan saat pulang pengajian dan baru saja mengakhiri amanah sebagai ketua lembaga dakwah kampus dengan predikat sangat baik. Joni sang pengusaha, layatannya sepi pengunjung, setelah kematiannya hartanya jadi rebutan, ada pula komite yang menduga korupsi di perusahaannya, belum lagi tanggungan utang yang ternyata ia simpan diam-diam. Sementara Rani, ibu muda itu meninggal dengan tersenyum. Senyumnya ditangisi oleh suami yang tabah dan bayi perempuan yang cantik rupawan.

Syeikh Ahmad Yasin, diantar ribuan orang saat jasadnya dibawa ke tanah peraduan. Namanya dikenang, jasanya dihargai, dan hidupnya menjadi inspirasi banyak orang. Hasan Al-Banna, meski meninggal dengan sangat cepat dan mengagetkan, banyak orang yang turut menangis di sela sholat ghoibnya. Namanya tak pernah dilupakan, pemikirannya terus mengalir, dan banyak pula manusia yang berubah dengan membaca buku dan mengikuti pemikirannya. Dan Muhammad, seorang nabi paling sabar, meninggal dengan mengingat umatnya, ‘ummati… ummati…’ Shalawat dan salam bagi Muhammad, nabi yang tak pernah merasakan enaknya tidur dengan bantal dan kasur.

Kamal AtTaturk, Ariel Sharon, Lenin, mereka meninggal dengan kehinaan. Banyak cacian dan makian selama hidup mereka, dan saat mati, lebih banyak lagi yang bersyukur dan berdoa supaya orang-orang seperti mereka tidak hidup kembali.

Bukankah cara mati kita ternyata berbeda-beda. Cara mati mana yang anda pilih? Jika anda mulai berfikir tentang cara mati, mulai sekarang, berfikirlah tentang cara hidup. Sebuah hadist Nabi cukup untuk mengingatkan kita bersama.

“Orang yang cerdas adalah orang yang menjaga dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah mati”

Wallahua’lam bisshowwab

Ketika Bersedekah Itu...

Sembilan tahun yang lalu, ketika naik bus ekonomi pulang dari kantorku di Pancoran ke arah Cawang di Jakarta, seorang gadis kecil, lusuh, rambut acak-acakan, dekil, ingusan, naik ke dalam bus. Entah berapa umurnya, mungkin sekitar 4 atau 5 tahun. Tangan kirinya menggendong adiknya yang masih kecil, mungkin berumur 1.5 tahun. Sedangkan tangan kanannya memegang kayu kecil yang diujungnya dipakukan beberapa tutup botol, sebagai alat musik. Yah….gadis kecil itu pengamen jalanan. Di depan dekat supir, dia mulai bernyanyi, entah karena sudah kecapekan, memang belum bisa bicara, atau bisu, sambil menggerak-gerakan alat musik tutup botolnya, mulutnya terbuka. Tetapi yang terdengar hanya suara..wa….waaa…wa..wa…waaaa.. mengikuti irama sederhana musiknya.

Bergerak diantara padatnya penumpang bus yang baru pulang kerja dan bus yang sedang berjalan sambil menggendong adiknya yang tidak kalah lusuhnya, disimpannya alat musik sederhana itu dikantongnya, dikeluarkannya plastik bekas bungkus permen. Mengulurkan kepada setiap penumpang, meminta belas kasihan. Aku muak!

Aku muak dengan pemandangan kota ini. Pemandangan seperti diatas adalah pemandangan yang biasa di kota besar ini. Setiap hari banyak sekali pemandangan seperti itu apalagi Jakarta. Pengemis, gelandangan, pencopet, perampok, bersebaran di seluruh sudut kota, pagi, siang, malam. Setiap kali naik bus apalagi bus ekonomi, entah berapa banyak orang yang naik turun sebagai pengemis atau pengamen, bahkan pencopet atau perampok sekalipun. Seperti orang yang sudah mati rasa kemanusiaan, aku cuma menatap sesekali, marah, sambil memaki dalam hati, dimana orangtua anak ini.

Tega-teganya menyuruh anak sekecil itu mencari nafkah diantara ganasnya kehidupan. Dimana tanggung jawab orangtuanya. Apa cuma bisa melahirkan anak ke dunia saja. Saat itu aku tak peduli, karena aku belum menjadi seorang ibu. Aku belum merasakan hati seorang ibu, ibu manakah di dunia ini yang tega melihat anaknya menderita kalau tidak karena terpaksa. Terpaksa dengan kondisi kehidupan yang sebenarnya pun tak diingininya.

Aku cuma menunduk, tanpa memberi sepeserpun. Dalam hati, mau sampai kapan dia hidup mengemis, mengamen. Mau berapa banyak pengamen dan pengemis yang disantuni penumpang bus setiap hari. Bukankah itu tugas negara! Tugas para pemimpin negara mensejahterakan rakyatnya. Bukankah setiap anak yatim dan orang miskin akan menjadi tanggungan negara, begitu yang tertulis di Undang Undang Dasar.

Entah kenapa akupun kehilangan rasa kemanusiaan kalau melihat pemandangan yang biasa di kota besar ini. Sesekali aku masih memberi sedekah pada pengemis atau memberi pengamen yang kutemui di jalanan. Tetapi terkadang aku lebih banyak mematikan rasa kemanusiaanku. Apalagi kalau sedang tidak enak hati karena persoalan sendiri. Walaupun begitu kenangan gadis kecil si pengamen bus itu teringat sampai sekarang. Ada rasa penyesalan kenapa saat itu hatiku seperti batu padahal hanya untuk mengeluarkan uang lima ratus atau seribu perak .

Dua tahun kemudian aku mengikuti suami dan tinggal di luar negeri. Negara maju. Negara yang sebagian besar penduduknya bahkan sudah tak percaya lagi akan keberadaa Tuhan, Allah pencipta alam semesta. Di kota itu, jarang sekali kutemukan pengemis. Sesekali kulihat gelandangan di daerah down town. Lelaki dewasa dengan sepeda butut bersama barang-barang pribadinya tinggal di taman-taman kota. Dari menonton TV aku tahu bahwa di kota itu disediakan sejenis asrama yang menyediakan kamar-kamar untuk para gelandangan, yang dikelola oleh pemerintah kota. Walau begitu entah kenapa masih ada gelandangan.

Tetapi sebagian besar kesejahteraan orang-orang miskin telah diatur oleh negaranya. Mungkin dengan tunjangan, subsidi atau kemudahan lainnya.

Pengemis, pemandangan yang jarang terlihat. Sesekali di pusat keramaian ada orang dengan pakaian keagamaannya meletakkan mangkuk sambil berdiri ditepi jalan meminta sedekah orang ramai. Aku tak punya kesempatan banyak bersedekah pada pengemis miskin. Kalaupun memang ingin bersedekah atau membayar zakat kami mengirimkan uang ke tanah air. Setiap ada event keagamaan yang dirayakan komunitas muslim di kotaku, akupun semangat menyediakan masakan, walaupun pada saat itu kemampuan memasakku masih sangat minim. Memasak yang lebih banyak dan memberi yang terbaik. Bagiku, ini salah satu kesempatan untuk bersedekah. Ketika kesempatan untuk bersedekah setiap hari kepada pengemis dan orang miskin itu tidak ada lagi, tiba-tiba aku merinduinya.

Sesekali ada kulihat pengemis, gelandangan yang hampir menggigil di musim dingin entah karena kelaparan atau kedinginan di depannya ada mangkuk yang hanya berisi beberapa uang koin meminta belas kasihan orang yang lewat. Pemandangan kasihan ini membuat aku memelas dan trenyuh sambil tak lupa memberi sedekah walau tak banyak. Jarang sekali ada orang yang mau memberi sedekah pada pengemis mungkin karena anggapan bahwa itu sudah menjadi urusan negara untuk mengurus orang miskin. Atau ajaran agamanya yang tidak mengajarkan kemuliaan bersedekah. Kenangan gadis kecil dalam bus ekonomi itu kembali membayangiku setiap kali melihat pengemis. Aku tak ingin menyesal lagi.

Suatu hari, saat berlibur ke Indonesia, aku ke pasar bersama adik dan berbelanja banyak. Singgah dari satu toko ke toko lain membuat keranjang plastik kami semakin banyak. Di sudut pasar ada beberapa pengemis nenek tua. Aku tak tega. Pemandangan yang telah jarang kulihat. Kukeluarkan uang yang kupunya saat itu, 10 ribu. Yah sudah aku beri saja ke salah satu nenek itu. Adikku heran dan bertanya kok ngasi sedekah besar amat, kalau mau bersedekah ya seribu dua ribu perak sajalah, jangan kebanyakan. Aku cuma tersenyum, barangkali nenek itu belum makan, mudah-mudahan cukup untuk membeli makanan. Saat berjalan kembali melewati salah satu toko tempat kami belanja sebelumnya, si pemilik toko memanggil-manggil kami. “Kak, kak ini barang belanjaan kakak tadi ketinggalan di toko saya.” Barang yang baru kami beli yang harganya sangat lumayan, berkali-kali lipat dari 10 ribu yang kusedekahkan hampir ketinggalan karena terlupa. Wah, mungkin karena tadi sempat bersedekah ya, makanya gak jadi ketinggalan dan hilang. Alhamdulillah, Allah mempertemukan dengan orang jujur dan entah mengapa tanpa kami sadari kami kembali melewati toko itu.

Pengemis, peminta, fakir miskin lainnya adalah ladang amal bagi orang yang berkemampuan, dapat dibayangkan andai kata tidak ada lagi orang-orang tersebut, kepada siapa lagi kita dapat beramal sedekah. Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala dan melipat gandakan rezeki. Semoga Allah membalas sedekah kita mungkin dengan rejeki yang banyak, kesehatan, terhindarkan kita dari bahaya, keluarga yang baik, ilmu, kesempatan, dan lain-lain.

. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai; Seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah: 261)

”Siapa yang memberikan pinjaman yang berarti kepada Allah, niscaya Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya yang banyak sekali dan Allah sanggup mempersulit dan melapangkan rizki dan kepadaNya kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah: 245)

Tak, Selamanya,Hujan Emas Di Negeri Orang

Perjuangan individu dan kelompok untuk menjadi sosok-sosok yang takwa, figur-figur yang mengikuti rel sang Kuasa, akan menjadi solusi jitu menjadikan negri kita ini, negri yang thoyyibatun wa robbun ghofuur, negri yang baik, yang senantiasa disejahterakan dan diampuni oleh Allah SWT.

Kisah memilukan orang-orang kita di luar negri, memang tak kan pernah berahir, selama arus pengiriman TKI keluar negeri terus berlangsung. Drama air mata para TKW, akan terus ada jika pembelaan kepada mereka belum juga maksimal.

Siti Hajar, Nurul dan sampai tak bisa lagi dihitung dengan jari. Bahkan model cantik Manohara Odelia Pinot, yang jadi permaisuri pangeran Kelantan pun ikut menjadi korban kekerasan orang-orang luar negeri. Siapa yang salah?

Kalau boleh menengok ke belakang sedikit, saat krisis ekonomi 1997 menerpa negri ini, maka banyak sekali perubahan-perubahan yang menjadikan sebagian masyarakat kita kehilangan, atau minimal berkurangnya pemasukan rumaha tangga.

Awalnya adalah ke-tak berdaya-an kami, orang-orang kecil dalam menghadapi kondisi ekonomi negri ini yang makin terpuruk pasca lengsernya Soeharto. Gerakan reformasi yang gegap gempita, nyaris tak bisa ditunggu hasilnya oleh kami, orang-orang kecil. Dan dampaknya terhadap roda perekonomian rakyat, sangatlah menyusahkan.

Reformasi, yang ahirnya oleh sebagian orang di plesetkan menjadi ‘repotnasi’, memang betul-betul menjadi kenyataan bagi wong cilik. Artinya, betapa susahnya kami yang hanya pemodal kecil membangun usaha. Jangankan keuntungan yang signifikan, kembali modal setelah menggelar usaha saja, merupakan prestasi yang luar biasa. Pendek kata, untuk mencari sesuap nasi saja, kami sangat susah.

Pernyataan seperti itu, bukanlah berarti bahwa kami tak mendukung reformasi, bukan pula karena pendukung fanatik Orde Baru, namun kenyataan di lapangan sangat jauh dari apa yang kita semua harapkan. Dan itu berlangsung tak hanya setahun dua tahun, tapi ternyata puluhan tahun.

Terus terang, banyak usaha menengah dan kecil yang hancur. Banyak juga diantara kami yang hutangnya makin menumpuk, sementara kebutuhan harian tak bisa di hindari lagi. Mencari pekerjaan susah, sebab kala itu perusahaan-perusahaan berskala besarpun mem-PHK para karyawannya. Bank-bank juga banyak yang dilikuidasi.

Lantas jalan keluar seperti apakah yang harus ditempuh untuk mempertahankan agar dapur tetap mengepul? Solusi macam apakah yang bisa dikerjakan setelah berbagai usaha selalu gagal?

Banyak diantara anak negri ini yang mencoba mencari peruntungan nasib ke luar negri, mengikuti jejak warga Indonesia lain yang sudah berangkat terlebih dahulu. Mereka sukses mengangkat dirinya, keluarga, dan tentu juga memberi masukan besar bagi devisa negara. Maka, tak sedikit diantara kita yang bergerilya mencari peluang kerja ke luar negeri.

Brunei, juga menjadi pilihan banyak calon TKI, disamping banyak juga yang mencoba mempelajari peluang di Malaysia dan Arab Saudi lewat teman-teman dan kantor tenaga kerja. Disamping itu, biaya keberangkatan kesana juga tidak terlalu besar di banding dengan ke Taiwan atau Korea. Ada yang memilih Brunei Darussalam ataupun Malaysia dengan alasan karena masih serumpun dengan negri tercinta ini, bahasa yang dipakai dan agama yang mereka anut juga sama. Dengan demikian keakraban dengan majikan, persaudaraan antar individu yang lain bangsa bisa terjalin lebih erat.

Hampir semua orang yang belum pernah bekerja di luar negeri membayangkan, bahwa bekerja di luar negri itu sangat indah. Terbukti, banyak juga kawan-kawan kita yang sukses. Namun, ada juga yang tak seindah dan sebaik teman-teman yang lain. Betul juga kata pepatah; Rambut sama hitam, tapi nasib kita berbeda.

Kisah tentang kesuksesan seorang buruh migran, sering kita baca di media dan kita saksikan dengan mata kepala sendiri. Bisa mengangkat ekonomi pribadi, keluarga, menyekolahkan adik-adiknya, membeli rumah, sawah, punya modal, adalah prestasi mereka. Sebaliknya, cerita tentang kegagalan seorang buruh migran, juga bukanlah kisah bohong apalagi dongeng pengantar tidur. Terlunta-lunta di negri orang, diperlakukan tak manusiawi oleh majikan, dibodohkan, dicaci maki, adalah pengalaman yang bukan isapan jempol belaka.

Masih banyak teman-teman kita para TKW yang bernasib kurang baik seperti Siti Hajar. Siti masih beruntung, karena upaya hukumnya di dukung banyak pihak, termasuk pemimpin negri ini. Lantas bagaimana dengan Sit-Siti yang lain, yang pulang ke tanah air dengan uraian air mata, karena teraniaya dan gaji tak dibayar, dan itu tak terekspos media?

Semakin hari, ternyata fenomena keberangkatan saudara kita bekerja ke luar negri, makin banyak saja. Bukan berarti karena di negri seberang selalu hujan emas, sementara di negri sendiri hujan batu, namun karena negri belahan surga ini belum mampu menjadi surga bagi rakyatnya.

Cerita tentang sukses mereka, tentu juga banyak. Namun sebaliknya, kisah menyedihkan tentang mereka, juga tak mungkin bisa ditutup-tutupi, biarpun banyak dari pihak PJTKI yang berang jika melihat pemberitaan tentang kesedihan di negri orang.

Ini semua, tak bermaksud menjadikan hati kecil saudara-saudara kita yang mau bekerja di luar negri, melainkan ingin mencoba berbagi rasa dan cerita khususnya berbagai persoalan yang menyangkut dunia per-TKI-an dan buruh migran.

Harapan kita semua, mudah-mudahan kelak, negri kita yang kaya raya ini, tak akan lagi mengirimkan orang-orang ke luar negeri, karena negri sendiri sudah mampu menyediakan lapangan kerja untuk rakyatnya.

Atau jika masih mengirimpun, mudah-mudahan sudah tidak lagi tenaga tanpa ‘skill’, melainkan tenaga ahli yang mau mentransfer teknologi kepada mereka. Sehingga, martabat orang kita di luar negri akan terangkat dan tak akan ada lagi mendengar ada orang-orang Indonesia yang diperlakukan tidak manusiawi oleh segelintir para majikan di luar negri.

Perjuangan individu dan kelompok untuk menjadi sosok-sosok yang takwa, figur-figur yang mengikuti rel sang Kuasa, akan menjadi solusi jitu menjadikan negri kita ini, negri yang thoyyibatun wa robbun ghofuur, negri yang baik, yang senantiasa disejahterakan dan diampuni oleh Allah SWT. Amin!

Antara Shalat Dan Maksiat

"Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." (QS. 29 : 45)

Berdasarkan zahir ayat ini, setiap orang yang shalat tidak akan melakukan perbuatan keji dan mungkar. Tapi, hal ini bertentangan dengan realita di lapangan. Banyak orang shalat tapi mencuri, korupsi, bohongnya tetap jalan. Bahkan, ada orang yang shalat tapi ia tetap melakukan dosa besar.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa beberapa sahabat menanyakan kepada Rasulullah saw perihal seseorang yang suka berbuat maksiat, tapi shalat tidak pernah dia tinggalkan. Rasulullah saw menjawab "Suatu saat nanti shalatnya akan mencegahnya dari maksiat itu." Tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa orang itu telah tobat.

Jika kita tinjau dari sisi bahasa mencegah atau melarang adalah semacam perintah untuk meninggalkan sesuatu. Larangan sebagaimana perintah bukan berarti membelenggu dan merantai sehingga orang tidak bisa bergerak. Tapi dia tak lebih dari ajakan yang meminta seseorang untuk meninggalkan sesuatu. Merupakan tabiat sebuah ajakan bahwa terealisasi atau tidaknya larangan tersebut kembali kepada orang yang dilarang. Seperti ketika Allah melarang manusia berbuat dosa. Tapi tetap saja ada manusia yang melakukannya.

Diantara keajaiban shalat, ia menghadirkan perasaan menyesal dan bersalah pada orang yang melakukan maksiat. Berbeda dengan ibadah lainnya yang bisa diolah setan untuk dijadikan pembenaran terhadap sebuah kesalahan. Seperti ibadah zakat. Seorang koruptur dan perampok –dengan bisikan setan- merasa bahwa dengan mengeluarkan zakat korupsi dan perampokannya akan diampuni. Atau setan membisikan bahwa tindakan korupsinya adalah sebuah tindakan yang benar karena menjadi jalan kebaikan bagi orang miskin yang menerima zakat. Sehingga dia semakin semangat untuk melakukan aksinya itu. Sementara ketika shalat, bisikan-bisikan pembenaran terhadap maksiat biasanya tidak muncul. Yang muncul dan menghantui justru perasaan bersalah dan menyesal. Sehingga orang yang melakukan maksiat sebelum shalat biasanya untuk berdoa tidak percaya diri.

Bagi seorang yang menjaga shalat sekaligus pecandu maksiat penyesalan dan perasaan bersalah akan terus menghantui selama dia menjaga shalatnya. Minimal lima kali sehari perasaan itu mengetuk dan membuat nuraninya memberontak.

Agar terhindar dari perasaan itu dia terdesak pada dua pilihan, menunaikan shalat dan meninggalkan maksiat atau tetap bermaksiat tapi meninggalkan shalat. Salah satu dari dua pilihan itu mesti dia ambil. Jika tidak, perasaan itu akan terus muncul minimal lima kali sehari, yaitu ketika dia shalat.

Orang yang mengambil pilihan pertama, menjaga shalat dan meninggalkan maksiat, pada awalnya barangkali akan merasa berat ketika godaan-godaan maksiat itu datang. Namun ketika shalat dia akan aman dan khusu' bebas dari penyesalan dan perasaan bersalah. Sehingga,dia pun percaya diri ketika menengadahkan tangan berdoa kepada-Nya. Sementara yang mengambil pilihan kedua, tetap bermaksiat dan meninggalkan shalat akan semakin larut dalam maksiatnya. Perasaan bersalah dan menyesal yang selama ini muncul lima kali sehari sudah tidak ada lagi. Semakin lama dia akan semakin larut dan terkubur dalam jurang maksiat. Pilihan itu mesti dia ambil karena shalat dan maksiat selamanya tidak akan bisa disatukan. Wallahua'lam

Hidayah Itu...Akhirnya Datang Juga

Semenjak pindah di kota yang baru, tidak bisa lagi saya berkumpul dengan teman-teman seperjuangan dulu, seperti ketika saya masih tinggal di kota yang lama, teman-teman yang selama ini bersemangat sekali untuk senantiasa mengaji dan berkumpul untuk mengukuhkan cinta sesama perantau dan sesama muslim, saling bersilahturahim dan saling mengingatkan satu sama lain tidak saya jumpai di kota tempat tinggal saya yang baru. Kini saya sendiri di kota yang baru, sampai saat ini sudah hampir memasuki tahun kedua, belum juga saya menemui seorang muslim pun yang berasal dari Indonesia, kalaupun ada orang indonesia, beliau seorang bapak yang memang sudah 30 tahun tingggal di kota ini, namun saya tidak tahu apakah beliau masih beragama Islam atau tidak, karena dari cara bicaranya saja ketika kami pernah bertemu dulu, beliau tidak menampakkan masih memegang agama yang di anutnya itu.

Yah...beliau telah 30 tahun lebih menikah dengan seorang wanita berasal dari negeri asing dan agama si wanita itu tidak sama dengan agama yang beliau anut saat itu, hingga kini beliau dan istrinya masih berlainan keyakinan, namun setelah itu saya dan keluarga tidak lagi bertemu dengan nya, walaupun kota tempat tinggal kami saat ini sangat kecil di banding kota yang dulu, tapi memang keberadaan beliau susah di lacak, kami tinggal layaknya di pegunungan, jadi kalau mau belanja ya harus turun gunung dulu, baru bertemu dengan pertokoan.

Hal di atas...sering saya temukan setelah saya tinggal di negeri asing ini sejak tahun 93, saya sangat sedih mendengar pernikahan orang indonesia dengan orang asing, yang kebanyakan dari mereka masih menganut agama mereka masing-masing walaupun ada juga teman-teman saya yang menikah dengan orang asing dan suami atau istri mereka ikut dalam agamanya yaitu islam. Saya tahu dalam agama Islam tidak di larang, bila ada seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita non muslim, karena bisa jadi wanita yang non muslim itu lambat laun akan mengikuti ajaran atau agama yang di anut oleh suaminya, asalkan suaminya mau mengajaknya secara pelan-pelan dan anak-anak mereka kelak juga jadi tidak plinplan, anak-anak mereka akan mengikuti agama yang di bawa oleh orang tuanya, bila akhirnya keduanya sejalan.

Tapi kebanyakkan di zaman sekarang tidak seperti di zaman Rosulullah dulu, para wanitanya kadang tidak mengikuti jejak suaminya atau bila suaminya yang beragama lain, dia tidak masuk dalam agama si perempuan yaitu islam, sampai anak-anak mereka dewasa, sehingga anak-anak mereka di beri kebebasan untuk memilih agama mana yang anak-anak mereka inginkan. Apa lagi bila yang wanitanya muslim sedangkan lelakinya non muslim, ini yang lebih parah, karena dalam Islam sendiri di larang, wanita muslim menikah dengan lelaki non muslim, walaupun mereka menikah syah, tetapi tetap akan di anggap berzinah. Kalaupun dalam agama islam di bolehkan seorang laki-laki muslim menikahi wanita non muslim, itupun harus wanita ahli kitab, tidak sembarang wanita.

Sebenarnya kalau saja lelaki atau perempuannya mau bersabar dan mau mengajak pasangannya itu untuk masuk islam secara baik-baik, saya yakin bisa InsyaAllah, asalkan sejak awal di niatkan dengan baik, karena ada juga beberapa teman saya yang suami atau isterinya masuk islam, bahkan keislamannya bagus sekali, sering mengingatkan satu sama lain bila terlupa untuk sholat, dan masih banyak lagi pengalaman teman-teman saya yang suami/isterinya orang asing tapi muslim, jadi mereka bisa kompak dalam mendidik anak-anak mereka.

Pernikahan beda agama ini, tidak saja di sini, di negeri tempat kami tinggal saat ini, melainkan sejak saya SD, saya sudah menemui pernikahan yang seperti ini dulu di Indonesia, teman sekelas saya Ibunya orang menado kristen sedangkan ayahnya seorang muslim yang baik, dulu saya tidak pernah berfikir seperti sekarang, karena yang saya tahu mereka syah menikah, tapi kini saya baru merasa sedih, karena teman saya yang dulu beragama islam, kini telah meninggal dalam keadaan tidak islam, karena mengikuti agama yang di bawa oleh ibunya, sedang kan ayahnya tidak bisa meyakinkan anak-anaknya serta istrinya sendiri untuk mengikuti agama yang di anutnya. Sedih bukan?

Itulah makanya ada seorang Ustadz yang datang ke kota kami dulu, beliau sempat memberi nasehat pada para wanita dan laki-laki yang sudah siap menikah, pilihlah yang terbaik dan pilih agamanya, bukan harta dan kecantikan/ketampanannya. Kenapa demikian, karena ustadz itu mengatakan " zaman sekarang tidak lah seperti zaman Rosulullah dulu, yang pada saat itu bila dua orang yang manikah, apa bila suami muslim sedang istrinya tidak muslim, masih bisa di toleran, karena zaman dulu kehidupannya tidak lah seperti saat ini, zaman Rosulullah dulu, anak-anak para sahabat hidup di lingkungan yang islami, sehingga anak-anak dan istri-istri para sahabat akan mangikuti agama suaminya, masuk dalam islam, berbeda dengan zaman sekarang, lingkungannya lebih banyak membawa kemudhorotan, apabila ada dua orang yang berlainan agama menikah ", karena dalam hadist Rosullah berkata bahwa " Ibu madrosatun " Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, maka bila si Ibu saja tidak bisa memahami agama islam dengan baik, bagaimanakah dengan anaknya ". Demikianlah Ustadz itu memberikan wejangan pada para gadis dan perjaka yang saat itu memang masih banyak sekali yang belum menikah.

Saya jadi teringat seorang teman yang saya sayangi, beliau lebih tua jauh dari saya, beliau juga menikah dengan orang asing yang agamanya tidak sama dengan agama beliau, lama nian beliau berkecimpung dalam perbedaan agama itu sehingga kewajiban dalam agama islam yang selayaknya dikerjakan dalam lima waktu yaitu sholat sempat beliau abaikan, sampai beliau bercerai dari suaminya pun, beliau masih belum mau melaksanakan kewajiban itu. Namun belum lama ini saya mendapat kabar gembira dari seorang sahabat, bahwa teman saya, yang sangat saya sayangi kini sudah lagi mengerjakan sholat yang lima waktu, sujud syukur saya pada Yang Maha Kuasa, karena tanpa hidayahnya, tidak mungkin beliau akan kembali kejalan yang benar, beliau sangat baik dan perhatian pada saya dan juga pada semua teman-teman, makanya saya sangatlah bersyukur ketika akhirnya beliau kembali ke jalan yang benar, yah....hidayah itu Allah yang memberikan, walaupun kita sudah berusaha mengingatkan dan memaksakan agar beliau kembali, tidak lah mungkin itu akan terjadi, tanpa ke ridhoan Allah Ta´ala dan tanpa kasih sayang yang Allah berikan, kita sebagai manusia hanya bisa mengingatkan, berusaha dan berdo´a, segalanya kita kembalikan kepada Yang Maha Kuasa.

Memang setelah kabar itu datang dari teman saya, saya sempat menelpunnya, rasa penasaran saya untuk mengetahui lebih jelas lagi. Kebetulan saat saya menelpunnya, beliau hendak pergi keluar, maka saya juga sempat bertanya " kapan ibu akan berangkat ", jawabannya sungguh membuat hati saya sejuk " nanti aku menunggu ashar dulu, kalau sudah sholat ashar aku baru berangkat " Subhanallah...ya Robbi Engkau Maha segalanya, tanpa terasa air mata saya mengalir, ketika saya telah mengakhiri telepun, saya benar-benar bersujud pada yang Maha Kuasa karena tanpa hidayah dari-Nya, mana mungkin beliau akan kembali malaksanakan semua kewajiban itu dengan baik.

Trimakasih ya....Allah, Engkau berikan hidayah pada siapa yang Engkau inginkan, semoga Engkau menjaganya dari berpaling kembali dan semoga hingga akhir tugasnya di dunia ini, beliau tetap dalam keadaan istiqomah. Amiin ya Robbal´alaamiin.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada pamannya ketika menjelang ajalnya, “Katakanlah laa ilaaha illallah, yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di hari kiamat.” Namun pamannya enggan, kemudian Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Engkau tidak akan bisa memberikan petunjuk kepada orang yang Engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang akan memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Qashash : 56).” (HR. Muslim [25])

Wallahu´alam bisshawab