Sembilan tahun yang lalu, ketika naik bus ekonomi pulang dari kantorku di Pancoran ke arah Cawang di Jakarta, seorang gadis kecil, lusuh, rambut acak-acakan, dekil, ingusan, naik ke dalam bus. Entah berapa umurnya, mungkin sekitar 4 atau 5 tahun. Tangan kirinya menggendong adiknya yang masih kecil, mungkin berumur 1.5 tahun. Sedangkan tangan kanannya memegang kayu kecil yang diujungnya dipakukan beberapa tutup botol, sebagai alat musik. Yah….gadis kecil itu pengamen jalanan. Di depan dekat supir, dia mulai bernyanyi, entah karena sudah kecapekan, memang belum bisa bicara, atau bisu, sambil menggerak-gerakan alat musik tutup botolnya, mulutnya terbuka. Tetapi yang terdengar hanya suara..wa….waaa…wa..wa…waaaa.. mengikuti irama sederhana musiknya.
Bergerak diantara padatnya penumpang bus yang baru pulang kerja dan bus yang sedang berjalan sambil menggendong adiknya yang tidak kalah lusuhnya, disimpannya alat musik sederhana itu dikantongnya, dikeluarkannya plastik bekas bungkus permen. Mengulurkan kepada setiap penumpang, meminta belas kasihan. Aku muak!
Aku muak dengan pemandangan kota ini. Pemandangan seperti diatas adalah pemandangan yang biasa di kota besar ini. Setiap hari banyak sekali pemandangan seperti itu apalagi Jakarta. Pengemis, gelandangan, pencopet, perampok, bersebaran di seluruh sudut kota, pagi, siang, malam. Setiap kali naik bus apalagi bus ekonomi, entah berapa banyak orang yang naik turun sebagai pengemis atau pengamen, bahkan pencopet atau perampok sekalipun. Seperti orang yang sudah mati rasa kemanusiaan, aku cuma menatap sesekali, marah, sambil memaki dalam hati, dimana orangtua anak ini.
Tega-teganya menyuruh anak sekecil itu mencari nafkah diantara ganasnya kehidupan. Dimana tanggung jawab orangtuanya. Apa cuma bisa melahirkan anak ke dunia saja. Saat itu aku tak peduli, karena aku belum menjadi seorang ibu. Aku belum merasakan hati seorang ibu, ibu manakah di dunia ini yang tega melihat anaknya menderita kalau tidak karena terpaksa. Terpaksa dengan kondisi kehidupan yang sebenarnya pun tak diingininya.
Aku cuma menunduk, tanpa memberi sepeserpun. Dalam hati, mau sampai kapan dia hidup mengemis, mengamen. Mau berapa banyak pengamen dan pengemis yang disantuni penumpang bus setiap hari. Bukankah itu tugas negara! Tugas para pemimpin negara mensejahterakan rakyatnya. Bukankah setiap anak yatim dan orang miskin akan menjadi tanggungan negara, begitu yang tertulis di Undang Undang Dasar.
Entah kenapa akupun kehilangan rasa kemanusiaan kalau melihat pemandangan yang biasa di kota besar ini. Sesekali aku masih memberi sedekah pada pengemis atau memberi pengamen yang kutemui di jalanan. Tetapi terkadang aku lebih banyak mematikan rasa kemanusiaanku. Apalagi kalau sedang tidak enak hati karena persoalan sendiri. Walaupun begitu kenangan gadis kecil si pengamen bus itu teringat sampai sekarang. Ada rasa penyesalan kenapa saat itu hatiku seperti batu padahal hanya untuk mengeluarkan uang lima ratus atau seribu perak .
Dua tahun kemudian aku mengikuti suami dan tinggal di luar negeri. Negara maju. Negara yang sebagian besar penduduknya bahkan sudah tak percaya lagi akan keberadaa Tuhan, Allah pencipta alam semesta. Di kota itu, jarang sekali kutemukan pengemis. Sesekali kulihat gelandangan di daerah down town. Lelaki dewasa dengan sepeda butut bersama barang-barang pribadinya tinggal di taman-taman kota. Dari menonton TV aku tahu bahwa di kota itu disediakan sejenis asrama yang menyediakan kamar-kamar untuk para gelandangan, yang dikelola oleh pemerintah kota. Walau begitu entah kenapa masih ada gelandangan.
Tetapi sebagian besar kesejahteraan orang-orang miskin telah diatur oleh negaranya. Mungkin dengan tunjangan, subsidi atau kemudahan lainnya.
Pengemis, pemandangan yang jarang terlihat. Sesekali di pusat keramaian ada orang dengan pakaian keagamaannya meletakkan mangkuk sambil berdiri ditepi jalan meminta sedekah orang ramai. Aku tak punya kesempatan banyak bersedekah pada pengemis miskin. Kalaupun memang ingin bersedekah atau membayar zakat kami mengirimkan uang ke tanah air. Setiap ada event keagamaan yang dirayakan komunitas muslim di kotaku, akupun semangat menyediakan masakan, walaupun pada saat itu kemampuan memasakku masih sangat minim. Memasak yang lebih banyak dan memberi yang terbaik. Bagiku, ini salah satu kesempatan untuk bersedekah. Ketika kesempatan untuk bersedekah setiap hari kepada pengemis dan orang miskin itu tidak ada lagi, tiba-tiba aku merinduinya.
Sesekali ada kulihat pengemis, gelandangan yang hampir menggigil di musim dingin entah karena kelaparan atau kedinginan di depannya ada mangkuk yang hanya berisi beberapa uang koin meminta belas kasihan orang yang lewat. Pemandangan kasihan ini membuat aku memelas dan trenyuh sambil tak lupa memberi sedekah walau tak banyak. Jarang sekali ada orang yang mau memberi sedekah pada pengemis mungkin karena anggapan bahwa itu sudah menjadi urusan negara untuk mengurus orang miskin. Atau ajaran agamanya yang tidak mengajarkan kemuliaan bersedekah. Kenangan gadis kecil dalam bus ekonomi itu kembali membayangiku setiap kali melihat pengemis. Aku tak ingin menyesal lagi.
Suatu hari, saat berlibur ke Indonesia, aku ke pasar bersama adik dan berbelanja banyak. Singgah dari satu toko ke toko lain membuat keranjang plastik kami semakin banyak. Di sudut pasar ada beberapa pengemis nenek tua. Aku tak tega. Pemandangan yang telah jarang kulihat. Kukeluarkan uang yang kupunya saat itu, 10 ribu. Yah sudah aku beri saja ke salah satu nenek itu. Adikku heran dan bertanya kok ngasi sedekah besar amat, kalau mau bersedekah ya seribu dua ribu perak sajalah, jangan kebanyakan. Aku cuma tersenyum, barangkali nenek itu belum makan, mudah-mudahan cukup untuk membeli makanan. Saat berjalan kembali melewati salah satu toko tempat kami belanja sebelumnya, si pemilik toko memanggil-manggil kami. “Kak, kak ini barang belanjaan kakak tadi ketinggalan di toko saya.” Barang yang baru kami beli yang harganya sangat lumayan, berkali-kali lipat dari 10 ribu yang kusedekahkan hampir ketinggalan karena terlupa. Wah, mungkin karena tadi sempat bersedekah ya, makanya gak jadi ketinggalan dan hilang. Alhamdulillah, Allah mempertemukan dengan orang jujur dan entah mengapa tanpa kami sadari kami kembali melewati toko itu.
Pengemis, peminta, fakir miskin lainnya adalah ladang amal bagi orang yang berkemampuan, dapat dibayangkan andai kata tidak ada lagi orang-orang tersebut, kepada siapa lagi kita dapat beramal sedekah. Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala dan melipat gandakan rezeki. Semoga Allah membalas sedekah kita mungkin dengan rejeki yang banyak, kesehatan, terhindarkan kita dari bahaya, keluarga yang baik, ilmu, kesempatan, dan lain-lain.
. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai; Seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah: 261)
”Siapa yang memberikan pinjaman yang berarti kepada Allah, niscaya Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya yang banyak sekali dan Allah sanggup mempersulit dan melapangkan rizki dan kepadaNya kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah: 245)
No comments:
Post a Comment