Setiap insan yang telah mengikat diri pada sebuah pernikahan, tentunya menginginkan hadirnya buah hati. Buah hati yang akan mengusir lelah sepulang kerja. Buah hati yang akan melindungi saat-saat kita tua nantinya. Banyak lagi angan dan impian yang ingin kita dapatkan dari anak-anak kita, yang semuanya itu ingin kita wujudkan.
Kehadiran seorang atau beberapa orang anak, tentu saja akan mewarnai rumah kita. Anak-anak yang lahir dengan fitrahnya yang suci, akan terwarnai oleh prilaku dan cara asuh orang-tua dan lingkungannya. Anak-anak yang akan menjadi majusi, nasrani atau Muslim itu tergantung dari diri kita, sebagai orang-tuanya.
Pendidikan dan contoh tauladan dari orang-tua sangat diperlukan, agar anak-anak yang terlahir di dunia ini, menjadi seseorang yang akan di cintai orang-tuanya, lingkungannya maupun sang Pencipta-Nya. Semuanya bermula dari didikan orang-tua.
Tapi sayang sekali, beberapa orang-tua lupa akan fungsinya. Mereka hanya menjadi orang-tua biologis, tanpa tahu bagaimana menjadi orang-tua yang seharusnya. Padahal sebagai orang-tua dari anak-anaknya, akan di mintai pertanggung-jawabannya kelak di hari Perhitungan.
Saat saya bersilaturahim pada seorang saudara, dia menceritakan sebuah penyesalan panjang sepasang orang-tua yang telah kehilangan ketiga anaknya. Penyesalan yang tak ada gunanya, karena tak akan bisa mengembalikan buah hati mereka. Penyesalan atas sikap mereka yang salah, karena selama ini salah dalam menerapkan sistim disiplin dan hukuman pada anak-anaknya.
Orang-tua anak-anak itu adalah sama dengan orang-tua lainnya. Mereka sangat mencintai anak-anaknya, tapi dengan cara yang salah. Ayahnya seorang security pada sebuah perusahaan asing yang sangat disiplin dan berwibawa. Sikap dan karakternya yang hanya cocok di pakai di lingkungan kerjanya, ternyata di gunakannya pula pada penghuni rumahnya, termasuk ketiga anak-anak mereka yang masih berusia antara sekitar sepuluh tahun dan lima tahun.
Ayahnya yang punya jiwa disiplin yang tinggi, selalu meminta disiplin itu pada ketiga anaknya, terutama yang sulung. Bila mereka telah selesai bermain, maka barang-barang mainan itu harus di tempatkan kembali seperti semula. Bila tidak, maka bentakan dan pukulan pun akan didaratkan pada tubuh-tubuh mungil itu. Begitu pula disiplin yang lainnya, mereka harus selalu mematuhinya. Ibunya, tidak berdaya terhadap suaminya. Maka pola kekerasanlah yang mereka gunakan dalam mendidik anak-anak yang belum mengerti hitam-putih dunia ini. Mereka hanya tahu, bila ada kesempatan, tentu saja mereka akan bermain sesuai imajinasinya. Karena dunia mereka memang harus banyak bermain. Itulah yang tidak disadari oleh kedua orang-tuanya.
Anak-anak yang masih berusia sangat hijau itu, tentu saja akan disiplin bila mereka ingat apa yang seharusnya mereka lakukan. Pendisiplinan diri mereka, memang belum bisa di samakan pada seorang dewasa. Orang dewasa memang sudah melewati fase mereka, tapi untuk anak-anak itu? Tentu saja mereka masih harus mengarungi waktu yang cukup panjang untuk menjadi disiplin seperti orang-tuanya.
Kesalahan-kesalahan kecil di mata orang-tuanya, merupakan momok yang sangat mengerikan bagi mereka bertiga. Hempasan badan, tinju dan teriakan merupakan suasana keseharian mereka. Bila ayahnya berangkat kerja dan sang ibu keluar rumah, maka itulah syurga bagi mereka. Mereka akan sangat menikmati jam-jam yang kosong dari situasi yang mencekam tersebut. Tentu saja ini terjadi, karena mereka selalu dianggap salah dalam berkelakuan. Salah, berarti akan ada hukuman yang sangat menyakitkan.
Saat kedua orang-tua mereka tak ada di rumah. Tiga orang saudara ini bermain dengan sepuasnya. Tentu saja permainan yang di komandoi oleh saudara tertua. Hingga akhirnya mereka memakai sebuah kunci kendaraan roda dua milik ayahnya. Kunci itu mereka gunakan untuk bermain. Mereka lupa, resiko yang akan mereka dapatkan bila menggunakan milik berharga bagi ayahnya itu.
Kunci yang sangat dilarang untuk disentuh oleh orang-tua mereka. Kunci yang saat pemiliknya tidak ada, merupakan sebuah saat yang dinantikan mereka untuk dapat menikmatinya..
Saat kunci itu terjatuh di sebuah sumur dekat rumahnya, maka ketiga anak-anak yang masih polos itu, berusaha mengambil kembali kunci pusaka tersebut. Karena tahu, akan ada hukuman yang sangat mereka takutkan.
Akhirnya ketiga bersaudara tersebut tenggelam di dasar sumur. Tewas karena mereka tidak mengetahui resikonya. Pada benak mereka hanya terbayang kemarahan luar-biasa sang ayah. Mereka pulang kehadirat Ilahi karena sebuah ketakutan akan kesalahan yang mereka lakukan.
Anak hanya amanah, bukan milik kita. Mereka titipan sang Pencipta, karena mereka sebenarnya merupakan tempat kita beramal-shaleh. Sepanjang usia mereka dan tentu saja sepanjang usia orang-tua untuk mendidik sebaik-baiknya.
Semoga tulisan ini menjadi renungan bagi kita. Karena sebagai orang-tua, seringkali ingin anak-anaknya mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pengharapannya. Padahal anak-anak itu perlu sebuah proses yang panjang untuk menjadi seseorang yang bernilai di mata kita, lingkungannya dan tentu saja Allah Swt.
No comments:
Post a Comment