Saturday, August 15, 2009

Merancang Kematian

Pernahkah suatu kali kita merancang dan menyiapkan hari kematian kita? Hari dimana setiap insan dan yang bernyawa akan menghadapinya. Saat kita berpindah ke Arrafîq Al-a`la. Apa posisi yang kita dambakan ketika malaikat Izrail datang menjemput? Apa yang telah kita persiapkan untuk dipersembahkan kepada kekasih abadi, Allah Pencipta kita? Apakah kita mempersiapkan hari kematian seperti atau melebihi persiapan kita untuk hari pernikahan?

"Apakah kita takut dengan kematian? (Sama saja) Saya akan mati dengan dibunuh atau kanker. Kita semua menanti, saat akhir kehidupan kita. Tidak ada yang berubah. Apakah berakhir dengan berhentinya dengan detak jantung atau dengan helikopter Apatche. Tapi saya lebih senang mati dengan Apatche…"
Itulah ungkapan jujur dari asy-syahid Dr. Abdul `Aziz Arrantisi sebelum hari dimana serangan udara Yahudi dengan pesawat tempur Apatche berhasil mengarahkan rudalnya tepat mengenai mobil yang beliau tumpangi.
Sekilas ungkapan beliau di atas memberitahukan pada kita, bahwa asy-syahid Arrantisi telah merancang kematiannya hingga akhirnya beliau meraih apa yang beliau cita-citakan tersebut, yaitu mati dengan Apatche.

Jauh ke belakang, para pendahulu kita as-salafus soleh sudah terbiasa melakukan perencanaan kematian. Mereka adalah manusia akhirat, manusia yang hidup untuk akhirat. Setelah gugurnya panglima Islam, Zaid bin Haritsah radhiyallahu `anhu dalam peperangan Mu`tah, bendera yang dipegangnya diambil alih oleh Ja`far radhiyallahu `anhu. Kemudian Ja'far membaca beberapa bait sya`ir :
Wahai manusia! Betapa indahnya surga dan betapa gembiranya orang yang menghampirinya!
Betapa bagusnya benda-benda yang ada di dalamnya dan betapa segar airnya
Telah datang waktunya bagi orang-orang Romawi untuk mendapatkan kehancuran
Dan telah diwajibkan bagiku untuk membinasakan mereka semua.

Setelah membacakan syair di atas, dengan sengaja Ja`far memotong kaki kudanya untuk melenyapkan perasaan ingin meninggalkan medang perang. Sambil memegang bendera yang berkibar di tangannya dan sebilah pedang di tangan sebelahnya, Ja`far terus bergerak maju menyerang tentara musuh. Tangan kanannya yang memegang tiang bendera kemudian dipotong oleh musuh dalam pertempuran tersebut. Ja`far segera mengambil bendera itu dengan tangan kirinya. Ketika tangan kirinya pun dipotong oleh musuh, ia tetap mengibarkan bendera itu dengan didekap di dadanya sambil menggigit tiangnya sekuat tenaga serta dibantu oleh kedua tangannya yang tersisa. Akhirnya tubuh Ja`far dibelah dua oleh musuh dari belakang sehingga ia gugur syahid. Ketika itu ia berusia 33 tahun.
Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhu bercerita, "Ketika kami mengangkat jenazah Ja`far keluar dari medan pertempuran, kami mendapati kira-kira ada sembilan puluh luka di tubuhnya dan semuanya di bagian depan."

Kemudian Abdulah bin Rawahah radhiyallahu `anhu segera meraih bendera dan terus berjuang. Pada waktu itu jari-jari tangannya terluka parah dan berlumuran darah hingga bergelantungan hampir putus. Ia pun meletakkan jari-jari tangannya itu di bawah kakinya lalu menarik semuanya hingga benar-benar putus, lalu potongan-potongan jari itu ia lemparkan dan kembali bergerak menghadapi musuh. Dalam keadaan tersebut, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, bahwa tentara Islam sedang berjuang menghadapi tentara musuh yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan tentara Islam yang sangat sedikit, sehingga membuat Abdullah hampir putus asa dan berhenti sejenak. Tapi segera ia tersentak dari lamunannya, seraya berkata dalam hatinya, "Wahai hati! Apa yang menyebabkan kamu berpikir demikian? Apakah karena cinta terhadap istri? Kalau demikian, dia akan aku talak tiga sekarang juga. Apakah karena hamba-hamba sahaya? Kalau demikian aku akan bebaskan mereka semua. Apakah karena kebun-kebun? Kalau begitu aku sedekahkan semuanya di jalan Allah.

Abdullah kemudian membaca beberapa bait syair :
Demi Allah, wahai Abdullah, kamu harus turun
Apakah dengan senang ataupun dengan berat hati
Telah cukup lama kamu hidup dalam ketenangan
Berpikirlah, bahwa pada mulanya kamu berasal dari setetes air mani
Lihatlah, betapa hebatnya orang-orang kafir menyerang tentara Islam, apakah engkau tidak ingin surga?
Walaupun kamu tidak terbunuh dalam pertempuran ini
Ingatlah bahwa suatu hari nanti engkau akan mati juga

Kemudian ia turun dari kudanya, sementara sepupunya telah datang membawa sepotong daging kepadanya seraya berkata, "Makanlah daging ini dan beristirahatlah dulu sebentar."
Ketika Abdullah hendak mengambil daging itu, ia mendengar teriakan musuh dari sudut pertempuran. Kemudian potongan daging itu pun ia lemparkan dan dengan sebilah pedang terhunus di tangannya, Abdullah bergerak masuk ke dalam pasukan musuh dan terus berjuang dengan seluruh kekuatannya yang ada, sampai akhirnya ia pun gugur syahid.

Dalam riwayat lain dikisahkan, seorang Arab Badui bergabung dalam perang Khaibar. Usai pertempuran, Rasulullah shallallahu `alahi wa sallam membagikan hasil rampasan perang. Ketika bagiannya diberikan oleh Rasulullah, ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apa ini?", "Ini adalah hasil peperangan yang aku sisihkan untukmu", jawab Rasul. "Saya bergabung dengan kafilah jihad engkau bukan karena ini, tapi saya ingin syahid dengan cara tertancap tombak di salah satu sisi leher saya hingga tembus keluar sisi yang lain."
"Jika kamu jujur kepada Allah dengan niat ini, maka niscaya Allah akan menjadikannya kenyataan", balas Rasulullah saw. Kemudian para sahabat kembali berperang.
Seperti biasa usai peperangan, para syuhada dikumpulkan. Dan, seorang Badui tadi ditemukan mati syahid persis seperti yang ia inginkan. Allahu akbar...!

Seperti inilah kehidupan para sahabat radhiyallahu `anhum. Setiap kisah mengenai mereka telah membuktikan betapa tingginya semangat perjuangan mereka, sekaligus membuktikan bahwa dunia beserta segala isinya tidak mempunyai nilai apa-apa dalam pandangan mereka. Tetapi sebaliknya, yang sangat mereka cintai dan dambakan adalah kejayaan di akhirat kelak.

Nah, pernahkah kita berfikir tentang hal ini? Tentang kedudukan kita kelak di akhirat. Pernahkah bayang-bayang itu muncul? Sudah beranikah kita dengan jujur merencanakan kematian seperti mereka? Apa yang telah kita siapkan untuk bertemu dengan Sang Kekasih yang abadi? Adakah perjumpaan dengan Allah menjadi dambaan kita? Apa yang telah kita rancang dan siapkan untuk menyambut hari kematian kita? Apakah kita menginginkan kematian dalam keadaan tengah bersujud pada Allah? Di saat tengah shalat, membaca al-Qur`an, berdakwah, menuntut ilmu, berpuasa, dan lain-lainnya? Ataukah dalam keadaan tunduk dan bersujud pada hawa nafsu, setan, dunia, harta, dan disaat sedang berbuat dosa dan maksiat pada Allah? Wallahul musta`an wa a`lam.

No comments:

Post a Comment