“Lihat, purnama nak!” Seruku pada anak-anakku yang masih berada di dalam rumah. Aku berdiri di teras, memandang ke atas, terkagum-kagum pada salah satu kreasi Allah Yang Maha Agung.
Anak-anakku berhamburan lari ke luar. Sudah lengkap dengan perlengkapan sholat. Mereka semua mengucapkan tasbih, menyaksikan keindahan purnama yang tersisa di saat fajar.
Hari itu memang salah satu dari hari-hari ayyaamul bidh, hari-hari pertengahan di bulan qomariyah. Bulan sedang berada pada puncak keindahannya. Keindahan mempesona yang masih tersisa saat fajar merekah. Kami sekeluarga baru saja sahur bersama, dan dengan penuh semangat hendak berangkat ke Musholla untuk sholat shubuh berjamaah. Istriku yang masih hamil muda memutuskan sholat di rumah. Si bungsu memilih ikut ibunya saja.
Sepanjang jalan tak henti-henti anak-anak bertanya seputar peredaran bulan, orbit, dan peredaran matahari. Mengapa bulan seolah berjalan mengikuti kita, dan dimana posisi matahari saat bulan muncul. Aku menjawab dengan ingatan yang terbatas, terkadang bisa cukup meyakinkan, saat yang lain aku cukup menjawab, ”nanti kita cari di google ya ..!”
Aku sholat, menghadap kepada Allah, dengan hati diliputi perasaan begitu kecil tak berarti. Bayangkan, menghadap kepada Allah, Yang Menciptakan bulan, menciptakan alam semesta, bahkan juga menciptakan diriku ini. Dia begitu dekat, lebih dekat dari urat leher. Dia Maha Melihat, bahkan melihat gerak batinku. Dia Maha Kuasa, dengan kuasa tak berbatas. Dia Maha Berkehendak, namun juga Maha Bijaksana.
Bertemu dengan direktur perusahaan saja aku harus menyesuaikan diri, penampilan, sikap dan tutur kata! Apalagi menghadap ’Direktur Alam Semesta’! Sungguh, begitu banyak kelalaian yang telah hambaMu ini lakukan Ya Allah!
Usai sholat, diskusi kami masih berlanjut. Kali ini di lapangan Musholla, di mana kami bisa menyaksikan langit luas, rembulan, dan beberapa bintang yang tersisa. Kututurkan kepada anak-anakku, betapa luar biasanya Dzat yang mampu menciptakan itu semua.
”Betapa luar biasanya Allah, Yang Mampu Menciptakan ini semua ...”
Namun berdiskusi dengan anak-anak tentu harus sesuai dengan usia mereka. Berbeda dengan menyampaikan hal ini kepada orang-orang tua, yang umumnya akan merenung, dan duduk terpekur, meresapi kebesaran Allah Swt. Menyampaikan hal ini kepada anak-anak tidaklah mengurangi kecerewetan dan kelincahan mereka.
Sambil melonjak-lonjak, si sulung yang hampir ABG mengatakan bahwa dia akan mencoba semakin khusyu dan rajin meminta kepada Allah, terutama saat sholat dhuha, agar naskah novel yang ia kirim ke penerbit bisa segera diterbitkan. Yang nomor dua masih ribut menanyakan tentang bagaimana sebenarnya siklus peredaran bulan dan matahari.
Aku tersenyum saja, menikmati antusiasme mereka. Namun kucoba terus menanamkan ke dalam pikiran mereka, bahwa menyadari kebesaran Allah adalah sesuatu yang akan mengantarkan kita kepada khusyu’ nya sholat. Saat sholat, rasakan betul bahwa kita tengah menghadap Rabb Yang Menguasai segalanya. Kalau sudah seperti ini, mungkin kita akan gemetar, minimal hati kita bergetar, kekhusyuan akan mengalir, dan permohonan ampun serta berbagai permintaan dapat kita ajukan dengan penuh kesyahduan dan keyakinan.
Apakah ini topik yang terlalu dini bagi anak-anak? Aku yakin tidak. Mengenal Allah adalah pelajaran paling dini yang mestinya ditanamkan oleh para orang tua kepada anak-anaknya. Walaupun - sayangnya - pengetahuanku sendiri amatlah terbatas, dan masih banyak orang-orang lain yang lebih faham dan sholeh dari pada diriku dalam mengajarkan hal ini, namun aku adalah ayah mereka. Artinya akulah yang paling bertanggung jawab, meski aku bukan orang yang paling alim. Akulah yang sehari-hari mereka lihat, dan akhlaqku pula yang akan mewarnai akhlaq mereka dan bahkan akhlaq ibu mereka.
”Maaf Bi, kemarin aku enggak sempet sholat dhuha di sekolah, enggak sempet!” kata si nomor dua dengan mimik serius. Anak sembilan tahun ini memang berusaha melazimkan sholat dhuha di sekolahnya, dengan cara ’mencuri 10 menit’ jatah bermainnya di sekolah. Bahkan ia berhasil ’mempengaruhi’ beberapa orang temannya untuk mengikuti jejaknya melazimkan sholat dhuha.
”Tapi kemarin tilawahku selesai kok, satu juz,” katanya lagi, seolah-olah membela diri.
Dan aku pun tersenyum, menegaskan persetujuan, dukungan, dan rasa sayangku, tanpa kata. Sementara jauh di dalam hatiku menetes air mata syukur, dan doa penuh harap, agar Dia memelihara kami, berkenan menjadikan kami sebagai kekasih-kekasih-Nya.
No comments:
Post a Comment