Monday, August 17, 2009

Undangan Presiden vs Undangan Allah

Bayangkan kalau hari ini, detik ini juga, seorang ajudan Presiden Republik Indonesia, menghubungi kita dan menyatakan, "Anda di tunggu di Istana. Bapak Presiden meminta saya untuk segera mendampingi anda untuk makan siang di istana Merdeka." Melambung setinggi mungkin, kira-kira begitulah perasaan awam seperti kita seandainya itu benar terjadi.

Memori otak akan menyiapkan ruang seluas mungkin untuk mengingat setiap detik momen itu dimulai hingga detik berakhirnya jamuan tersebut. Pikiran senantiasa mengingatkan apa saja yang harus disampaikan mulut untuk rajin menceritakan momen bahagia tersebut. Bahkan tiap detilnya. Kalau sudah begini tiba-tiba kita diserang amnesia sementara. Lupa utang bulan lalu di warung sebelah, lupa pakaian belum dicuci, lupa janji sama kawan, bahkan lupa ternyata tak punya satu buah jas-pun, untuk dipakai ke Istana Presiden. Lupa banyak hal kecuali undangan itu.Sumringah.

Tapi, mari kita akui dengan jujur, bagaimana perasaan kita kalau yang mengundang adalah Sang Maha Pemilik Alam Semesta, lewat muadzim yang mengumandangkan adzan, mengundang kita untuk bersujud di rumah-Nya, masjid atau mushola di dekat rumah atau kantor. Saat ini juga. Apakah sama kuatnya perasaan itu ? Masih beratkah langkah-langkah kita, padahal yang mengundang adalah Dia yang menciptakan kita dan memberi nafas Presiden Indonesia ? tak seperti pergi ke Istana dimana pakaian yang harus kita kenakan harus formal dan diatur oleh protokoler, Allah tidak meminta hambanya untuk memakai jas untuk datang ke masjid, cukup pakaian yang menutup aurat.Tak peduli levis atau gamis.

Pertemuan yang pertama kali dengan Bapak Presiden haruslah berkesan, karena boleh jadi itulah yang terakhir. Presiden kan pejabat, so pasti sibuk dong. Untuk itu persiapan sebaik mungkin, patutlah dilakukan. Dari mulai pakaian yang dikenakan, minyak wangi yang disemprotkan, hingga apa yang hendak disampaikan saat Presiden menyalami tangan anda. Apakah cukup diam dengan takzim sambil terus menyunggingkan senyum, atau sedikit berbasa-basi, menanyakan kabar, atau ... ah berharap Presiden yang bertanya, jadi jawabanlah yang harus disiapkan.

Allah tidak memaksa hambanya untuk pakai minyak wangi, tak juga berbasa-basi, karena janji Allah benar adanya. Allah selalu menunggu (hamba-NYA). Saat hati kita mengabarkan kesungguhan untuk datang kepada-NYA, Allah "berlari" menyambutnya. Setiap hari, setiap waktu selama nafas masih dikandung badan. Bahkan Allah menyebar undangan khusus di sepertiga malam untuk hamba-NYA yang hendak berkeluh kesah, mengadu, bahkan menangis sekalipun.Sepuas hati kita. Allah Maha Mendengar, Mahanya Kasih Sayang. Tak perlu protokoler, bahkan jika hambanya mampir setiap saat di rumah-NYA, Allah tak merasa terganggu. Allah justru senang sekali. Allah bisa tambah sayang sama hambanya. Tak perlu takut untuk salah kata, Allah Maha Dekat, sedekat urat nadi, Allah Maha Tahu.

Diundang ke Istana untuk bertemu dan berbincang langsung dengan Presiden, bagi banyak orang adalah mimpi di siang bolong. Apalagi berharap Presiden mendengar 1001 keluh-kesah kita sampai berjam-jam. Kalau yang ini jangan mimpi ! Sementara, diundang ke rumah Allah adalah mimpi yang setiap hari bisa terwujud. Hampir tak ada berita yang mengabarkan ada seorang rakyat atau pejabat yang menolak undangan Presiden. Tapi kenyataan kita yang menolak undangan Allah, kita yang tak mengindahkan panggilan adzan ? Kita yang menunda-nunda undangan Allah ? Kita yang memilih lanjutkan berselimut ketimbang beranjak jamaah subuh. Kita yang sibuk kerja sampai lembur, tapi abai shalat dzuhur.

Sebaliknya, banyak kita bersungguh-sungguh pada deadlines yang ditetapkan Bos atau Dosen untuk mahasiswa/i.Menjadi bencana, begitu pandangan kita, jika gagal memenuhi deadlines. Mereka yang punya pimpinan atau dosen yang killer tentu paham.

Pernah suatu ketika Presiden SBY geram karena menangkap basah anak buahnya tertidur saat beliau berpidato. Saat itu juga Presiden menegur pejabat yang dimaksud, dan mengingatkan pada semua agar tidak terulang. Ironisnya itu kejadian kedua setelah sebelumnya, di sebuah rapat kabinet, seorang pejabat sebuah lembaga pemerintah non departemen malah asyik berbincang-bincang ketimbang memperhatikan arahan dari Presiden.

Kejadian tersebut dalam derajat tertentu dapat dibaca, seorang Presiden, dengan kedatangan kita, masih BUTUH diperhatikan, dihormati sebagaimana seorang rakyat terhadap pemimpinnya. Sama halnya perasaan kita yang ingin bertemu Presiden, hingga menjadi sumringah jika mimpi itu bisa diwujudkan. Meski sekadar bersalaman saja.

Sementara hubungan kita dengan Allah adalah hubungan seorang hamba yang membutuhkan Rabb-nya, Allah SWT. Tempat kita bergantung dan memohon doa. Allah tidak BUTUH shalat kita, bahkan andai semua mahluk di bumi ini bermufakat untuk tak lagi menyembah Allah, ke-Maha-an Allah, tidak akan berkurang. Tapi Allah mencintai para ahli Ibadah. Karena Allah menciptakan manusia (dan jin) semata-mata hanya untuk beribadah.

Sikap kita yang abai terhadap panggilan adzan, panggilan lembut Allah, "marilah kita shalat, marilah menuju kemenangan", menunjukkan bahwa kita tak merasa membutuhkan Allah ? Pernah gak kepikiran kalo semua "undangan shalat" yang tak terbalas, semua sikap kita yang menunda-nunda (shalat), abai terhadap panggilan Allah, sebagaimana abainya seorang pejabat tatkala Presidennya sedang berpidato, ditambah sebukit dosa-dosa kita,bukan saja sekadar mengundang marah, tapi murka-NYA Allah. Lalu dijumlahkan dengan segunung dosa-dosa kita, hasilnya tiket VIP menuju neraka. Naudzubillah minzalik.

Wahai Rabb, tunjukkanlah kami,
pandangan yang kebingungan ini, kepada cahaya-MU,
setitik terang cukup, sebelum masa hilang ...
Bimbinglah sesatnya perjalanan kami ke arah jalan-MU yang lurus,
sebelum terhenti ...

(Jangan biarkan kami seperti Fira'un,
yang bertobat di tenggorokan,
dan Engkau tolak)

Dan tuntunlah orang-orang yang menjauh dari jalan-MU
untuk kembali merapat ke hidayah-MU

Di pintu-MU, kami Mohon dengan sangat Rabb, Mohon dengan sangat ...
Ampuni kami, ampuni kami, ampuni kami ...

Ya Rahman,
Ya Rahiim,

Ya Rahman,
Ya Rahiim,

Irhamna Ya Allah,
Irhamna ...
(izinkan kami terus menangis)

No comments:

Post a Comment