Sering kita mendengar ceramah-ceramah atau nasehat-nasehat dari mubaligh-mubalighah maupun para penceramah. Baik di masjid maupun di suatu event tertentu. Di antara pesan yang sangat familiar di telinga kita adalah seperti ini : ambil yang baik buang yang buruk (jelek). Bukankah begitu? Tapi lain hal dengan saya ini malah sebaliknya.
Entah ini penyakit atau bukan. Atau, mungkin ini kebiasaan saya. Saya sendiri juga kurang tahu. Tapi satu hal saya sering kali mengalaminya. Terlebih yang paling parah saat saya usai shalat pasti saya sering lupa. Memakai sandal apa yang saya pakai saat ketika memasuki mushallah saat itu. Dan hal itu sering saya alami bila usai shalat tiba dan saya pun mulai seperti paman Ling Lung—karakter tokoh pada Walt Disney. Mencari-cari sandal yang saya pakai. Ya, seperti mencari permata yang hilang saja saya saat itu. Maklumlah kalau saya sudah memakai sandal sesudahnya saya pasti akan mencari-cari dulu. Sandal apa yang saya pakai tadi. Cape ya?
Seperti baru-baru ini yang saya alami—pulang dari mushallah—yang masih dekat dari rumah. Saat itu ketika saya hendak shalat maghrib memakai sandal yang masih bagus dan baik tiba-tiba saat mau pulangnya sandal saya sudah tidak ada. Maklumlah kalau saat shalat maghrib tiba di mushallah saya ramai sekali. Sampai-sampai shaf jamaah sampai ke belakang. Baik jamaahnya dari kaum bapak-bapak, orang dewasa, anak remaja sampai anak-anak kecil. Mushallah saya pasti ramai sekali jamaahnya kalau shalat maghrib tiba.
Maklumlah shalat maghrib adalah shalat favorit jamaah di mushallah saya. Jadi di luar pembatas suci banyak sekali sandal-sandal berserakan. Baik yang masih bagus, mendingan sampai yang hancur habis juga ada. Maksudnya, yang sudah di lembiru (baca: lempar yang lama beli yang baru). Yang kalau nasib lagi baik bisa saja memakai sandal yang bagus. Kalau tidak? Ya, seperti saya alami. Nasib saya lagi apes. Berangkat shalat pakai sandal bagus pulangnyatidak pakai sandal. Ya, namanya juga lagi kena musibah. Iya, nggak? Tapi sama saja sih jika saya memakai milik orang lain saya tetap saja juga bersalah. Akhirnya saya pulangnya tidak pakai sandal. Jadi serba salah ya saya?
”Lu lagi nyari apaan, Yan,” ujar salah satu tetangga dekat saya ketika melihat saya seperti orang yang lagi menghitungi sandal jamaah mushallah. Tetangga saya yang kental dengan logat Betawinya menyapa saya. Termasuk saya sendiri yang juga asli Betawi.
”Nih, cari sandal!” seru saya sambil memilah-milah sandal jamaah mushallah. Siapa tahu sandal saya terselip diantara sandal yang lainnya. Para jamaah mushallah.
”Ya, kalo lu pake sandal yang bagus ikhlasin aja deh. Mungkin sandal lu dipake sama orang lain,” lanjutnya asal goblek. Tapi kalau saya pikir ada benarnya juga. Siapa tahu ada orang yang lagi seng mau menukar sandal saya yang lebih bagus dari sandal yang saya pakai saat itu.. Ini bukan su’udzhan lho ya? Tapi ini realita lho....
Saya tidak menjawabnya. Masih asyik dengan aktivitas saya. Mencari sandal yang saya pakai.
”Sudah deh ikhlasin aja, Yan!” lanjutnya lagi.
”Memang sih niatnya begitu. Tapikan sayang kalo nggak dicari,” ujar saya lagi sambil mencari sandal yang saya pakai saat itu.
Tidak beberapa lama kemudian saya lelah sendiri. Sudah lebih setengah jam saya tidak menemukan sandal saya. Sampai-sampai adzan Isya berkumandang saya masih tetap mencari sandal. Ya, akhirnya terpaksa misi saya itu saya batalkan untuk menunaikan kewajibanNya. Daripada saya telat memikirkan sandal saya lebih baik shalat saja dulu. Soal nanti ketemu atau tidak ya terpaksa pulangnya nyeker (baca: bahasa Betawinya tidak pakai sandal).
Usai ba’da Isya ternyata apa yang saya pikirkan akhirnya terjadi juga. Saya pulang tidak pakai sandal. Kalau pun pakai nanti sandal milik orang lain lagi. Jadi saya pun memutuskan pulang tidak pakai sandal. Untungnya rumah saya dekat. Coba kalau jauh? Ah, saya tidak mau membayangkannya lagi. Nanti jadi memikirkan musibah itu terus....
Ternyata musibah yang saya alami tidak sampai disitu. Saya masih kena musibah lagi. Ini usai pulang shalat Isya. Di rumah saya! Saya kena teguran dari orang rumah. Yang paling vokal adalah adik laki-laki saya yang hanya beda tiga tahun usianya dari saya.
”Lho, berangkat pake sandal. Lha ini pulangnya malah nyeker. Lebih baik kalo shalat nanti mendingan lu nggak usah pake sandal lagi deh. Rugi-rugiin tau,” celetuk adik saya itu. Meledek saya. Dan saya pun hanya diam saja. Padahal dalam hati saya mengutuk,” Liat aja nanti kalo pulang shalat kalo sandal lo ke dipake orang gue sorakin lu...,” batin saya menerawang tidak menentu.
Beginilah nasib orang memakai sandal dari rumah bagus ternyata pulang-pulangnya tidak pakai sandal.. Dan lebih parahnya habis pulang shalat lagi. Memang kalau lagi kena musibah tidak mengenal tempat dan waktu. Kapan pun dan dimana pun bisa terjadi. Halnya saya saat usai pulang shalat saat itu. Usai shalat maghrib. Dari rumah pakai sandal bagus pulangnya malah nyeker. Betul juga kata mubaligh-mubalighah: ambil yang baik buang yang jelek Tapi ini terbalik menyimpulkannya. Salah kapra Beginilah punya kebisaan sering lupa memakai sandal apa yang dipakai.
No comments:
Post a Comment