Saturday, August 15, 2009

Masya Allah, Apa Yang Ditonton Anak-anak Kita?

Huuuu…dasar…salah sendiri, udah punya isteri dua masih pacaran lagi! Saya tidak mempercayai pendengaran saya bahwa kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang anak berumur dua belas tahun. Masya Allah….apa yang terjadi dengan anak-anak kita, mengapa kata-kata yang tidak pantas itu keluar dari bibir-bibir mungil mereka.

Akhir-akhir ini setiap kali membuka televisi, kita disuguhi tontonan-tontonan yang membuat hati ini kecut dan jengah. Tengoklah sebuah acara yang dipromosikan sebagai sarana curahan hati bagi orang-orang yang memiliki problem dalam rumah tangga nya. Orang-orang yang terlibat dikumpulkan dalam suatu forum dan mereka diberi kesempatan untuk berbicara atau berdebat mengenai masalah yang mereka hadapi. Biasanya perdebatan akan berakhir ricuh dan saling serang dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengar, bahkan tak jarang sampai terlibat perkelahian fisik seperti pemukulan, menjambak rambut sambil mengeluarkan sumpah serapah…..masya Allah. Masalah yang diperdebatkan juga bukan suatu yang bisa ditauladani. Suami nikah lagi dan punya simpanan pula, isteri berselingkuh dengan teman kantor, mertua yang mata duitan, anak yang ternyata berprofesi sebagai wanita panggilan, dan banyak lagi yang aneh-aneh.

Kemudian reality show lain menyuguhkan acara yang konsepnya sama tetapi memakai beberapa pengamat yang berfungsi sebagai komentator terhadap masalah yang dihadapi. Mereka terdiri dari psikolog dan penasehat perkawinan, yang diakhir acara nanti akan mengambil kesimpulan apakah pasangan suami isteri ini masih saling mencintai satu sama lain atau tidak. Acara ini memang disajikan sedikit lebih elegan dibandingkan yang lain, tetapi tetap saja menampilkan konflik rumah tangga yang sebenarnya tabu untuk ditayangkan secara umum.

Ada juga acara yang sangat digemari bahkan pernah mendapat penghargaan yaitu reality show yang menampilkan pencarian terhadap orang-orang yang terlibat dalam konflik keluarga. Kasusnya beragam seperti mencari suami yang sudah lama menghilang tanpa kabar berita, atau anak yang dibawa lari oleh salah satu pasangan suami isteri yang sudah bercerai, bahkan anak hilang yang lari dari rumah dan menjadi anak jalanan. Awalnya acara ini masih wajar tetapi entah kenapa lama kelamaan menjadi tidak masuk diakal. Tidak jelas apakah karena pihak stasiun televisi lebih mementingkan segi komersil saja tanpa mempedulikan segi edukasinya, wallahualam.

Acara yang termasuk masih gres dan banyak peminatnya bahkan anak-anak kecil yaitu memilih pasangan yang dilakukan seperti pelelangan…..ya….pelelangan manusia!! Apabila sesuai dengan selera, maka mereka bersaing untuk merebut hati sang pria agar pria tersebut memilih salah satu dari wanita yang ada untuk menjadi pasangannya. Komentar-komentar yang dikeluarkan oleh peserta terkadang jauh dari kalimat-kalimat yang santun. Begitu pula adab berpakaian dari peserta wanitanya yang menganut paham semakin terbuka semakin cantik seorang wanita dipandang.

Itulah beberapa contoh tayangan televisi yang ditonton anak-anak kita sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri, banyak anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi tanpa bimbingan orangtua. Tidak jarang bahkan orangtua malah asyik menonton tayangan-tayangan tersebut bersama anak-anaknya. Sadarkah kita bahwa adegan demi adegan di televisi itu melekat di memori anak-anak kita bagaikan pelajaran yang secara kontinyu disuguhkan oleh guru-guru di sekolah. Semua kejadian, dibawah sadar, akan diserap oleh otak anak-anak kita tanpa ada filter. Lebih parah lagi apabila tidak ada bimbingan dari orangtua untuk memilah-milah mana yang pantas dan mana yang tidak.

Memori ini yang ikut tumbuh bersama anak-anak kita hingga mereka dewasa. Coba bayangkan apa yang mungkin bisa terjadi jika nilai-nilai yang terekam di memori itu mereka terapkan dalam kehidupan mereka? Mereka mungkin beranggapan sah-sah saja memiliki selingkuhan, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau kehidupan lesbian dan homoseksual adalah hal yang normal, atau lari dari rumah adalah satu-satunya solusi apabila orangtua tidak memenuhi keinginan mereka.
Naudzubillahiminzalik…..

Siapa yang paling bertanggung jawab dengan keadaan ini? Orangtua, stasiun televisi, guru, pemerintah, atau masyarakat? Bukan tidak ada protes yang diajukan sehubungan dengan penayangan acara-acara tidak mendidik di televisi, tapi semuanya berlalu bagaikan angin. Semua pihak yang berwenang seolah-olah menutup mata. Ironisnya tayangan-tayangan seperti itu malah tumbuh subur tidak terkontrol.

Setelah melihat kondisi sekarang ini, rasanya kita tidak bisa berharap banyak dari pihak-pihak lain untuk ikut memikirkan dan bertanggung jawab atas nasib anak-anak kita.

Usaha yang paling ampuh untuk membentengi anak-anak kita dari pengaruh buruk tayangan televisi adalah bimbingan dan didikan kita sebagai orangtua. Sejak dini usahakanlah untuk mengatur jadwal menonton anak dan konsisten dengan peraturan yang dibuat. Jangan sampai kita melarang anak untuk menonton tetapi kita sendiri sebagai orangtua malah asyik dengan tontonan tersebut. Hal ini akan membuat anak-anak berusaha mencuri kesempatan untuk menonton karena melihat orangtuanya asyik menonton sementara mereka dilarang, maka timbul keingintahuan dalam diri mereka.

Selanjutnya, ada baiknya pihak sekolah bekerja sama dengan orangtua murid yang tergabung dalam wadah Persatuan Orangtua Murid untuk lebih serius mengangkat masalah ini untuk didiskusikan dan dipikirkan bersama bagaimana langkah-langkah yang harus diambil.

Marilah para orangtua jangan terlena dan menganggap remeh masalah ini. Kita harus bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anak kita. Karena kalau tidak, bayangkanlah…...generasi seperti apa yang menghuni Negara ini di masa yang akan datang. Wallahualam.

No comments:

Post a Comment