Kamu mau jadi sahabatku ketika ku berjanji, berjanji bahwa tidak akan ada lagi korban, janji bahwa suatu hari nanti aku akan berubah, janji bahwa aku akan menjadi pangeran yang lebih baik lagi. Kamu adalah putri pertama di kerajaan itu, putri dengan berbagai sifat yang unik. Kadang dewasa, kadang seperti anak-anak, tomboi dan gokil namun kamu penuh senyum. Sifat rendah hatimu menggambarkan bahwa kamu adalah seorang putri remaja yang mungkin nantinya akan menjadi seorang ibu yang akan mendidik dengan hati bagi anak-anaknya.
Seorang ibu yang mungkin akan menjadi awan yang teduh bagi anak-anaknya. Ketika peran ibu dapat dimainkan dengan baik maka sebuah keniscayaan bahwa sang suamipun akan merasa tenang dan tentram disampingnya. Ia akan menjadi istri yang mengerti bahwa suaminya tidaklah semulia Muhammad, tidaklah setakwa Ibrahim, pun tidak setabah Ayub, ataupun segagah Musa, apalagi setampan Yusuf. Ketika suami menjadi raja maka kamu nikmati anggur singgasananya. Ketika suami menjadi bisa maka kamulah penawar obatnya. Wahai Putri Biru, engkaulah dambaan setiap pangeran di seluruh penjuru negeri….
Perlahan namun pasti akhirnya perasaan itu hadir, ketika sang putri mencoba menerimaku. Ketika dia tidak melihat masalaluku, saat dia tahu resiko menjadi permaisuriku. Dianggap aneh, dikucilkan, dibuang, malu dan dianggap mengkhianati kerajaannya. Karena dia yakin suatu saat, aku akan berubah. Dan jika saat itu datang, dia mau aku menjemputnya untuk pergi ke surga abadi, saat dia berikan jawaban YA atas cintaku.
Ku tahu dia tidak mau menunggu dan ditunggu tapi dia ingin kudatang lebih dulu. Ketika kumerasa tidak pantas untuknya, merasa tidak yakin pada dirinya namun keyakinannya pada diriku membuatku bertahan. Keyakinan itu yang membuatku mempunyai seribu harapan tentang dirinya, harapan bahwa kami akan menjalani hari-hari kami dalam indahnya kebersamaan, dalam indahnya payung Illahi.
Putri Biru bukanlah gadis yang romantis karena mungkin dia hanya bisa memanggilku dengan panggilan yang kusuka, hanya bisa memahami apa yang kumau, hanya bisa bersyukur menemukanku, hanya bisa berharap bahwa aku benar-benar untuknya dan mungkin dia memang hanyalah seorang putri dan bukanlah bidadari. Tapi usahanya menjadi yang terbaik bagiku telah menjadikannya putri yang telah mengharu biru di hati ini, ketika dia rela menjadi Fatimah yang menumbuk sagu dengan tangannya sendiri, ketika dia rela menjadi khadijah yang menginfakkan semua hartanya dalam dakwah, ketika dia rela hidup apa adanya bersamaku nanti, ketika dia mencintai seseorang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna. Adakalanya putri tidak bijak, tidak dewasa, dan tidak mengerti.
Tapi apakah pangeran sepertiku bisa meluruskannya yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok? Sementara aku hanyalah seorang pengeran tanpa kerajaan, pangeran yang masih jauh dari kata baik apalagi soleh. Dalam banyak waktuku, hanya sebentar aku menyapa ”temanku” yang bertuliskan huruf Arab sementara untuk berbincang dengan ”temanku” yang banyak humor dan gambar, aku sampai lupa waktu. Saat suara adzan datang menyeru justru seruan yang lainnya yang kudengar dan kusambut. Benarkah pangeran ini pantas untuk putri biru?
Seorang wanita solihah yang selalu menutup auratnya, yang bicara dengan pria bukan muhrim tanpa menatap matanya, yang tidak mau berjalan bersisian dengan pria yang bukan muhrimnya. Ya Allah, apakah Engkau mengirimkan putri ini sebagai perantara datangnya hidayahMu untukku. Apakah Engkau mengirimkannya agar aku kembali menjadi pangeran yang baik lagi, seperti yang dulu lagi, yang taat dan patuh akan perintahMu.
Dan akhirnya setelah ”kebersamaan” yang sesaat ini.......
”Mas, jaga intensitas interaksi kita, jangan terlalu sering! Ibadahku jadi tidak khusuk, takut perbaikan diriku bukan karena Allah tapi karenamu, takut cinta itu bukan karena Allah. Kita seperti sedang ”pacaran” padahal kita tahu bahwa pacaran tidak diperbolehkan sebelum resmi menikah. Astaghfirullah...... Biarkan rasa itu tumbuh subur di tempat yang benar. Kita sudah punya bibitnya dan akan kita tanam di tempat dan waktu yang tepat. Aku tidak mau melupakanmu tapi kalau kamu mau aku diam, menahan perih karena rindu, pedih dan sakit karena tidak bisa menyapa ketika bertemu, terluka karena tidak bisa saling senyum Insya Allah aku kuat. Ibarat biji, aku harap cinta kita tidak mati tetapi sedang berdomansi, sedang menunggu waktu yang tepat untuk tumbuh subur di hati masing-masing.
Saat ini kita ibarat sedang mengulurkan tangan ingin saling bertukar benih tapi kita tersadar bahwa belum waktunya kita untuk menukarkannya. Aku takut biji ini membusuk di hati masing-masing bukan subur seperti yang kita harapkan. Aku meminta kita menahan, bersabar, berdoa, berikhtiar sekuat-kuatnya dan bertawakal sepasrah-pasrahnya. Aku lebih meminta barokah dari Allah untuk cinta kita. Aku tidak mau Allah tidak meridhoi ikatan suci kita nantinya karena permulaannya yang salah. Insya Allah aku akan berdoa untuk kita, berdoa agar kita diberi kesabaran, kekuatan, kepasrahan sebesar-besarnya olehNya. Semoga kita bisa menghadapi semua ini dengan ikhlas. Wahai pangeran yang telah melumpuhkan hatiku, ijinkan aku menutup surat ini dan biarkan waktu berbicara tentang takdir kita.
Mungkin nanti saat dimana mungkin kau telah menimang cucumu dan aku juga demikian, mungkin kita akan saling tersenyum bersama mengingat kisah kita yang tragis ini. Atau mungkin saat kita ditakdirkan untuk merajut jalan menuju keindahan sebagian dari iman, kita akan tersenyum bersama betapa akhirnya kita berbuka setelah menahan perih rindu yang begitu mengguncang. Wahai pangeran yang telah mengusik pikiranku, mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan Tuhan semua manusia, akhir yang terbaik terhadap kisah kita. Mintalah kepada-Nya agar iman yang tipis ini mampu bertahan, mintalah kepada-Nya agar tetap menempatkan malu ini pada tempatnya. Wahai engkau yang sekarang kucintai, semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah DOSA”.
Setelah membaca surat itu, akhirnya aku sadar bahwa hubunganku selama ini dengan sang putri adalah sebuah kesalahan dan kekhilafan. Sungguh betapa sangat inginnya aku agar sang putri menungguku hingga aku siap dan datang menjemputnya. Betapa inginnya aku untuk mengetahui kabar sang putri tiap hari. Tapi sungguh ternyata ada yang lebih kami cintai dibandingkan cinta diantara kami. Dialah Allah, yang membawa kami ke jalan ini, menuntun, merangkul kami dengan cinta. Dialah Allah, tempat kita meminta dan berharap. Dialah Allah, yang telah memberi kami kehidupan dan yang akan mematikan kami kembali. Dialah yang berkuasa penuh atas hati, jiwa, dan pikiran kami yang tidak ada seorangpun yang dapat menyamaiNya apalagi melampaui kekuasaanNya.
Dan Allahpun telah mengingatkan kita dalam firmanNya, ”wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).......” (QS. An Nur : 26).
Mungkin apa yang terjadi antara aku dengan sang putri adalah kehendak Allah untuk memberikan pelajaran padaku tentang apa itu arti hidup dan cinta yang sebenarnya. Tapi sungguh aku ucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada sang putri, kusampaikan penghormatan setinggi-tingginya padanya, paling tidak dia sedikit mengubah hidupku. Dan akupun hanya bisa senyum atas ”kebersamaan” kami selama ini, entah senyum bahagia, senyum beku, atau mungkin juga senyum yang sudah tidak berbentuk lagi.
Dan pangeran inipun hanya bisa mengajak dirinya dan kepada para pembaca, yang khususnya sedang menanti kehadiran ”Putri Biru” ataupun sedang menanti saat yang tepat untuk menjemput ”Putri Biru” agar selalu mempersiapkan diri, agar terus dan tak pernah berhenti memperbaiki dan membina diri karena sungguh Allahlah sebaik-baik pembuat janji dan sebaik-baik yang menepati janji.
Dan kita sebagai hambaNya yang lemah dan tak berdaya harus memiliki hati yang ikhlas dan tidak tertindas dalam menerima setiap keputusanNya agar langkah ini bisa terus berjalan meskipun kadang harus berhenti, agar mimpi-mimpi kita dapat segera terwujud, dan agar nada-nada yang telah hilang kembali tersenandungkan.
No comments:
Post a Comment