Demi waktu. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali mereka yang beriman, beramal sholeh dan saling menasihati dalam kebenaran, dengan kesabaran; (Al-Asr: 1-3)
Di masa Islam mencapai puncak kejayaan, tersebutlah seorang penguasa kaya dari
Qurthubah alias Cordova yang akrab dipanggil An-Nashir. Berbekal uang negara
yang melimpah ruah, ia tak henti-hentinya membangun gedung-gedung megah nan
mewah.
Dalam kesibukan mengurus negara dan rakyatnya, An-Nashir masih menyempatkan
shalat Jumat bersama anaknya. Kebetulan, hari itu yang bertindak sebagai khatib
adalah Mundzir bin Said, seorang qadi asli kota tersebut. Dengan lantang, sang
khatib memberi khutbah Jum’at tentang perilaku pemimpin yang hanya mementingkan kelompok kaya saja.
Mundzir tak lupa menyitir surat As-Syuara ayat: 128 - 131.
Dalam ayat tersebut dipaparkan ancaman Allah terhadap penguasa yang membangun tempat hiburan dan benteng pertahanan untuk kalangan atas dengan mengabaikan tempat berteduh bagi rakyat miskin.
Nasehat Guru
Apakah kamu mendirikan di setiap tanah yang tinggi (strategis) bangunan untuk bermain-main (tempat hiburan) untuk pamer kekayaan? Dan membangun benteng-benteng agar kamu kekal (di dunia);
Dan bila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai seorang kejam dan bengis. Maka, ber-taqwalah kepada Allah dan taatlah kepada-Ku;
(As-Syuara ayat: 128-131)
Khatib menyatakan betapa sesat dan dzalimnya seorang pemimpin yang membangun hanya di tempat-tempat elite sebagai lambang kemewahan dan kesenangan.
Sementara orang kecil tergusur dan kehilangan haknya;Itu hanya pantas
dilakukan oleh kaum jabbarin yang kejam,& tegas khatib Mundzir. Meski hatinya mendongkol dan telinganya agak panas, sang penguasa An-Nashir tetap mengikuti
khutbah Jumat sampai selesai.
Usai shalat, anak sang pemimpin itu memberikan usul.;Ayah, copot saja dia dari jabatannya sebagai qadi,; ucap sang anak.
Jangan. Kita membutuhkan orang seperti itu;
kata An-Nashir.
Mengapa? Bukankah dia sudah menunjukkan sikap dan kata-kata keras kepada Ayah?; tanya sang anak.
Benar. Tapi, kita membutuhkan orang-orang seperti itu. Kita perlu belajar mendengar dengan baik. Dia menyuarakan ummat. Orang macam itulah yang kita butuhkan,; jelas sang pemimpin dengan bijak.
Memang, dalam sejarah per-jalanan para pemimpin Islam, sering kita temui para
penasihat raja, baik yang diminta atau pun tidak, bersuara ikhlas tanpa takut kehilangan jabatan.
Kita pun biasa menyimak kisah para pemimpin Islam yang berhasil membawa pada
kemakmuran masyarakat karena para penguasa itu dengan rendah hati mau mendengar saran para penasihatnya.
Saat ini, dalam kehidupan sehari-hari, nasihat sudah jarang barang langka. Para murid tidak memperhatikan ajaran para gurunya. Kaum santri enggan mendengar nasihat kyainya. Anak-anak ogah menyimak wejangan orang tuanya. Sementara pemimpin cenderung mengabaikan masukan para pembantunya.
Apa yang terjadi? Tawuran di mana-mana. Anarkisme merajalela. Kejahatan makin menggila dan penyelewengan kekuasaan berjalan tanpa kontrol.
Itulah buah yang harus dipetik bila nasihat sudah dianggap angin lalu. Pemimpin
hanya mau mendengar bisikan yang menyenangkan dari orang-orang dekatnya meski belum tentu benar. Sementara nasihat yang keras dan menyinggung perasaan, tidak dianggap.
Malah, kalau perlu si pembantu yang kritis itu disingkirkan. Bila seorang ayah
memberi wejangan kepada anaknya, tujuannya agar si anak kelak hidup bahagia.
Seorang guru menasihati muridnya dengan harapan, di masa depan ia jadi pribadi yang cerdas dan berguna bagi masyarakat.
Artinya, nasihat tersebut diberikan semata-mata untuk yang dinasihati. Bukan untuk orang lain.
Lain halnya bila yang diberi nasihat itu seorang pemimpin.
Tujuannya jelas bukan hanya untuk kebaikan si pemimpin. Tapi, lebih dari itu, demi kemaslahatan seluruh rakyat.
Inilah bedanya nasihat buat seorang anak dan seorang kepala negara.
Seorang anak atau murid sekolah yang mengabaikan nasihat guru dan orang tuanya, hanya dia sendiri yang akan merasakan akibatnya di kemudian hari. Tapi, seorang
kepala negara yang menganggap sepi nasihat rakyatnya, akan bermuara pada jurang kehancuran.
Mengapa manusia mengabaikan nasihat? Padahal, menurut ajaran Islam, nasihat itu harus terus disampaikan karena menyebarkan benih-benih kebajikan. Rasulullah sendiri mengatakan bahwa agama itu adalah nasihat.
Sumber dari diabaikannya nasihat terletak pada hati manusia yang menganggap dirinya lebih tinggi dari manusia lain.
Seseorang yang merasa pintar merasa tidak membutuhkan nasihat orang lain, karena orang lain di mata dia adalah bodoh.
Seorang anak mengabaikan nasihat orang tuanya karena menganggap orang tuanya kuno dan ketinggalan zaman.
Demikian pula seorang presiden yang mengabaikan nasihat karena menilai dirinya
lebih pintar dan lebih mengerti urusan negara dibandingkan para menterinya.
Akibat selanjutnya bisa langsung dirasakan. Rakyat merasa dipimpin oleh seorang kepala negara yang sombong dan keras kepala. Rakyat terombang-ambing karena sang pemimpin menjalankan pemerintah menurut seleranya.
Bahkan, ada yang merasa memiliki garis keturunan orang-orang hebat lalu
menganggap bisikan hati dan wangsit para leluhurnya lebih berguna di bandingkan omongan masyarakat kebanyakan.
Kalau kondisi ini dibiarkan, akhirnya tentu sudah bisa ditebak. Bagaimana
tidak. Masyarakat dengan mata kepala sendiri melihat pemimpinnya mengabaikan saran banyak orang.
Buntutnya, masyarakat juga enggan menerima nasihat, entah dari orang tuanya, gurunya dan para pemimpinnya.
Untuk pemimpin yang berperilaku seperti ini, disarankan agar masyarakat tidak tinggal diam. Nasihat tetap harus terus disampaikan. Bisa diucapkan lewat kata-kata lembut dan bijak.
Seandainya masih diabaikan, boleh dengan kata-kata yang sedikit keras. Tidak
juga ditanggapi, ungkapkan dengan lebih keras lagi. Seperti kata Rasulullah
;Sampaikanlah kebenaran, sekali pun itu pahit.; Semoga kita menjadi bangsa yang saling menasihati. Amin.
Definisi Nasihat
Nasihat secara etimologi berasal dari kata nashaha yang
berarti khalasa yaitu murni. Adapun nasihat menurut Abu Amr bin Salah adalah menghendaki suatu kebaikan untuk orang lain dengan cara ikhlas baik berupa tindakan atau kehendak.
Pentingnya Nasihat
Dalam pandangan Islam, nasihat adalah pilar agama yang
sangat penting dan penyanggah kebenaran yang paling fundamental sehingga Rasulullah menegaskan dalam haditsnya:
Dari Tamim Ad Dary bahwasannya Nabi bersabda: "Agama
adalah Nasihat". kami bertanya: Untuk siapa? Beliau bersabda: "Untuk Allah, KitabNya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta seluruh Umat Islam". (H.R Muslim dan An-Nasa' )
Nasihat kepada pemimpin
Banyak orang terkadang kurang profesional dan tidak terpuji dalam mengoreksi kekurangan sikap para pemimpin bahkan melanggar kaIdah-kaIdah dasar Islam dalam menegakkan prinsip amar ma'ruf nahi munkar terhadap para pemimpin, di antara mereka menempuh cara demo, membuat makar politik sehingga tidak jarang menimbulkan kekacauan dan keresahan dan sebagian yang lainnya
menempuh cara terorisme.
Menasihati pemimpin termasuk perkara yang paling diridhai
Allah sebagai-mana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Sesungguhnya Allah rela terhadap tiga perkara dan benci terhadap tiga
perkara; Dia rela apabila kalian menyembah-Nya, perpegang teguh terhadap tali Allah dan menasihati para pemimpin. Dan Allah benci terhadap pembicaraan sia-sia, menghambur-hamburkan harta dan banyak pertanyaan".
Nasihat terhadap para pemimpin berarti membantu mereka
dalam menegakkan kebenaran, mentaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan
mereka dengan cara lembut dan sopan terhadap hak-hak rakyat dan tidak melakukan pemberontakan.
Imam Nawawi berkata bahwa menasihati para pemimpin
berarti menolong mereka untuk menjalankan kebenaran, mentaati mereka dalam
kebaikan, mengingatkan mereka dengan lemah lembut terhadap kesalahan yang
mereka perbuat, memperingatkan kelalaian mereka terhadap hak-hak kaum muslimin,
tidak melakukan pemberontakan dan membantu untuk menciptakan stabilitas negara.
Dan nasihat yang paling penting adalah mendatangi mereka
dalam rangka untuk menyampaikan kekurangan dan kebutuhan umat serta menjelaskan kelemahan para pejabat khususnya hal-hal yang berdampak negatif bagi umat.
Mengingatkan agar takut kepada Allah dan hari akherat, mengajak mereka untuk
berbuat kebaikan dan melarang tentang kemungkaran serta mendorong mereka agar
hidup sederhana dan wara'.
Cara Menasihati Pemimpin
Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati para
pemimpin bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan sebab pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin secara umum perlu memakai kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu
memperhatikan kaidah dan etikanya.
Dari Hisyam Ibnu Hakam meriwayat-kan bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan
dilakukan secara terang-terangan. Akan tetapi nasihatilah dia di tempat yang
sepi, jika menerima nasihat itu, maka sangat baik dan bila tidak menerimanya,
maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya". (H.R Imam Ahmad).
Sangat tidak bijaksana mengoreksi kekeliruan para pemimpin lewat mimbar atau tempat-tempat umum sehingga menimbulkan banyak fitnah. Seharusnya menasihati para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat yang rahasia sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala
menasihati Utsman bin 'Affan bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar.
Imam Ibnu Hajar berkata :bahwa Usamah telah menasihati 'Ustman bin
'Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.
Imam Al Fudhail bin 'Iyadh berkata: Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan lewat mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum bukan cara atau manhaj salaf, sebab
demikian itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para
pemimpin, akan tetapi manhaj salaf dalam menasihati pemimpin adalah dengan
mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal
untuk menyampaikan nasihat tersebut.
Abdullah Ibnu Abbas berkata: "Pemimpin adalah ujian bagi kalian, apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapat pahala dan kamu harus bersyukur dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu harus bersabar."
SYARAT BAGI ORANG YANG MENASIHATI PEMIMPIN
1. Ikhlas dalam memberi nasihat.
Imam Ibnu Nahhas berkata: Orang yang menasihati pemimpin atau kepala negara hendaknya mendahulukan sikap ikhlas untuk mencari ridha Allah. Barangsiapa yang mendekati pemimpin untuk mencari pengaruh atau jabatan atau pujian maka dia telah berbuat kesalahan yang besar dan melakukan perbuatan sia-sia.
2. Menjauhi segala macam ambisi pribadi.
Seorang yang menasihati pemimpin sebaiknya
menanggalkan segala ambisi dan keinginan pribadi untuk mendapatkan sesuatu dari
pemimpin atau penguasa. Para ulama salaf telah banyak memberi contoh dan suri
tauladan, seperti Sufyan Atsaury, beliau sering menolak pemberian para penguasa
khawatir bila pemberian tersebut menghalanginya untuk mengingkari kemungkaran.
3. Mendahulukan sikap kejujuran dan keberanian.
Seorang yang ingin menasihati pemimpin atau penguasa
hendaknya bersikap jujur dan pemberani sebagaimana sabda Nabi: "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang dhalim". (HR Abu Daud).
4. Berdoa kepada Allah dengan doa-doa ma'tsur.
Sabda baginda saw.
yang menyatakan: Tidaklah seorang hamba yang diberi
amanah oleh Allah untuk mengurus urusan rakyat, kemudian dia tidak mau
memberikan nasihat, kecuali dia tidak akan pernah mencium wangi surga; (Hr. Bukhari)
Semoga budaya nasehat menasehati yang merupakan inti
ajaran Islam akan senantiasa menjadi media komunikasi yang efektif antara umat
Islam dalam menyampaikan masukan dan ide untuk kebaikan bersama dan budaya ini
tidak menjadi media atau ajang antara satu individu dengan individu yang lain, apalagi antar satu komunitas dengan komunitas yang lain.
Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Al-Hujurat:12. Allahu a'lam
Selain tugas mulia dan suci, para nabi banyak disebutkan
dalam Al-Quran sebagai pemberi nasehat. Hal ini disebabkan karena manusia
tidak cukup hanya menerima risalah dakwah Islam saja. Akan tetapi juga
membutuhkan pemberi nasehat dan peringatan dalam hidupnya, karena manusia
adalah mahluk pelupa dan pelalai, bahkan makhluk yang banyak berbuat kesalahan.
Semangat surat Al-Asr menjelaskan keharusan setiap orang untuk beriman dan
beramal sholeh, jika ingin selamat baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan iman
dan amal sholeh saja ternyata masih merugi, sebelum menyempurnakannnya dengan
semangat saling memberi nasehat dan bersabar dalam mempertahankan iman,
meningkatkan amal shaleh, menegakkan kebenaran dalam menjalankan kehidupan ini.
Sedemikian pentingnya prinsip ;saling memberi nasehat;
dalam ajaran Islam, maka setiap manusia pasti membutuhkannya, siapapun,
kapanpun, dan di manapun dia hidup. Layaklah kalau dikatakan bahwa “saling
memberi nasehat ; adalah sebagai sebuah keniscayaan yang harus ada pada setiap muslim.
Namun sangatlah disayangkan jika ada di antara kita yang menganggap sepele soal nasehat ini. Atau merasa dirinya sudah cukup, sudah pintar, sudah berpengalaman sehingga tidak lagi butuh yang namanya nasehat dari orang lain. Padahal dengan menerima nasehat dari orang lain pertanda adanya kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan dan menunjukkan kelebihan pada orang tersebut.
Kalimat nasahat; yang artinya nasehat, makna dasarnya
adalah menjahit atau menambal dari pakaian yang sobek atau berlubang. Maka
orang yang menerima nasehat artinya orang tersebut siap untuk ditutupi
kekeruangan, kesalahan, dan aib yang ada pada dirinya. Sedangkan orang yang
tidak mau menerima nasehat menunjukkan adanya sifat kesombongan, keangkuhan, dan ketertutupan pada orang tersebut.
Saking sedemikian pentingnya nasehat ini, Nabi saw.
bersabda yang artinya :
Dari Abi Amer atau Abi Amrah Abdullah, ia berkata, Nabi
saw. bersabda, ;Agama itu adalah nasehat.; Kami bertanya, ;Untuk siapa, wahai Rasulullah; Beliau menjawab, ;Untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya,
untuk para pemimpin umat Islam dan orang-orang biasa.; (HR. Muslim)
Dari hadist di atas dapat kita pahami bahwa memberi dan
menerima nasehat adalah berlaku untuk manusia, siapapun dia, apapun kedudukan dan jabatannya, tanpa kecuali.
Hadist di atas juga menjelaskan kepada kita bahwa agama
akan tegak manakala tegak pula sendi-sendinya. Sendi-sendi itu adalah saling
menasehati dan saling mengingatkan antara sesama muslim dalam keimanan kepada Allah, keimanan kepada Rasul, dan keimanan kepada Kitab-Nya. Artinya, agar kita selalu berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dari Allah dan Kitab-Nya dan
mentauladani sunah-sunah Rasul-Nya.
Sedangkan bentuk nasehat kepada para pemimpin adalah
ketaatan dan dukungan kita sebagai rakyat kepada para pemimpin Islam dalam
menegakkan kebenaran, mengingatkan mereka jika lalai dan menyimpang dengan cara yang bijak dan kelembutan, meluruskan mereka jika menyimpang dan salah.
Sedangkan nasehat untuk orang-orang biasa adalah dengan memberi kasih sayang kepada mereka, memperhatikan kepentingan hajat mereka, menjauhkan hal yang
merugikan mereka dan sebagainya.
Di dalam Al-Quran, Allah SWT. mengisahkan tentang
bagaimana Nabi Musa a.s., seorang nabi dan rasul yang ternyata dapat menerima nasehat dari salah seorang kaumnya.
wa jaa-a rajulun min aqshal madinati yasaa, qaala yaa muusaa innal mala-a ya;tamiruuna bika liyaqtuluuka, fakhruj innii laka minan nashihiin. Fakharaja minhaa khaa-ifan yataraqqabu, qaala rabbi najjinii minal qaumizh zhaalimiin.
;Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk
membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini), sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang memberi nasehat kepadamu. Maka keluarlah Musa dari kota itu
dengan rasa takut, menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: Ya Tuhanku
selamatkanlah aku dari orang-orang yang dzalim itu.;
(QS. Al-Qashash: 20-21)
Lalu bagaimana dengan kita yang orang biasa yang bukan
Nabi dan Rasul? Sudah barang tentu sangatlah membutuhkan nasehat. Kita
senantiasa membutuhkan nasehat dari orang lain. Demikian juga harus bersedia memberi nasehat kepada orang lain yang memohon nasehat kepada kita.
Hak seorang muslim pada muslim lainnya ada enam: jika berjumpa hendaklah memberi salam; jika mengundang dalam sebuah acara, maka datangilah undangannya; bila dimintai nasehat, maka nasehatilah ia; jika memuji Allah dalam bersin, maka doakanlah;
jika sakit, jenguklah ia; dan jika meninggal dunia, maka iringilah ke
kuburnya.; (HR. Muslim)
Dengan saling menasehati antara kita, maka akan banyak
kita peroleh hikmah dan manfaat dalam kehidupan kita. Akan banyak kita temukan solusi dari berbagai persoalan, baik dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat bangsa bahkan Negara.
Karenanya nasehat itu sangatlah diperlukan untuk menutupi
kekurangan dan aib yang ada di antara kita. Karena nasehat itu dapat memberi
keuntungan dan keselamatan bagi yang ikhlas menerima dan menjalankannya. Karena saling menasehati itu dapat melunakkan hati dan mendekatkan hubungan antara kita. Karena satu sama lain di antara kita saling membutuhkannya.
Saling menasehati antara sesama muslim terasa semakin
kita perlukan, terutama ketika tersebar upaya menfitnah adu domba antara sesama muslim yang datang dari orang-orang kafir, munafik, dan orang-orang fasik yang ingin melemahkan umat Islam sebagai penduduk terbesar negeri ini. Mereka tidak senang terhadap kesatuan dan persatuan umat Islam.
Demikian pula ketika mendekati hari-hari menjelang pemilihan pemimpin seperti pilkada, pilgub, pemilihan umum, dan sebagainya. Terkadang panasnya suhu politik menyulut sikap orang tidak rasional dan emosi di tengah masa, bahkan dapat mengarah ke sikap anarkhis dan merusak.
Dalam situasi seperti itu, kita sering lupa akan makna ukhuwah Islam. Lupa tugas amar ma’ruf nahi mungkar dan lupa tugas dan kewajiban untuk saling menasehati dengan cara saling kasih sayang antara kita.
Semoga Allah SWT. senantiasa
memberikan pemahaman kepada kita akan arti pentingnya saling memberi nasehat
antara kita. Semoga kita mampu memberi nasehat dan senang menerima nasehat dari siapapun, selama tidak bertentangan dengan nilai kebenaran dan kabaikan,
sehingga kita dapat terhindarkan dari bahaya adu domba dan fitnah yang dapat
memecah belah umat Islam, masyarakat, bangsa, dan Negara. amin..
Wallahu A'lam Bishawab.
No comments:
Post a Comment