Tuesday, December 22, 2009

Surat Seorang Bunda Untuk Sang Jantung Hati

Sebuah surat yang ditulis oleh seorang ibu kepada anaknya, yang mudah-mudahan bisa menjadi ittiba’ dan pelajaran bagi kita semua. Risalah (surat) yang ditulis oleh seorang ibu ketika ia melihat anaknya tidak lagi melakukan kewajibannya sebagai seorang anak. Surat yang ditulis dari hati yang telah lupa. Surat yang ditulis dengan airmata. Surat yang ditulis dengan harapan belas kasihan seorang anak atas ibunya. Surat yang ditulis oleh seorang manusia yang telah mengabdi bertahun-tahun kepada anaknya tersebut. Yang ditulis oleh seorang pelayan yang telah berbakti pada seseorang yang sekarang dengannya. Anaknya tersebut, sekarang ia tidak mau dan belum mengerti akan hakikat berbakti. Mari kita baca isi surat tersebut.

Catatan:

Surat ini cukup panjang. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik. Bacalah dengan Asma Rabbmu yang Telah Mencipta: Surat Untuk Jantung Hatiku.

Anakku! Surat ini datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara. Ia coba untuk menulis diatas keraguan dan rasa malu. Setelah berpikir panjang, ia goreskan pena berulangkali. Akan tetapi, selalu terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali ia menitikkan airmata, setiap itu pula hatinya terluka.

Anakku! Setelah umur yang panjang ini. Kulihat engkau telah menjadi laki-laki yang dewasa. Yang cerdas dan yang bijak. Karenanya engkau pantas untuk membaca tulisan ibu ini. Sekalipun nantinya engkau sobek kertas ini sebagaimana sebelumnya engkau telah menyobek hati ini.

Wahai anakku! 25 tahun telah berlalu. Dan tahun-tahun itu adalah tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Ketika itu dokter datang memberitahukanku. Bahwa aku positif hamil. Dan semua para ibu mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur gembira, bersama bahagia. Sebagaimana ia adalah awal mula perubahan fisik dan emosi.

Setelah kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur dalam kesulitan. Berdiri dalam kesulitan. Makan dalam kesulitan. Bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu. Bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.

Aku mengandungmu wahai anakku. Dalam kondisi lemah diatas lemah. Akan tetapi aku gembira. Setiap kali aku melihat gerakan di perutku. Aku bahagia, setiap kali aku menimbang, tubuhku bertambah dengan bertambahnya berat badanmu. Padahal, kandungan itu sangat berat wahai anakku. Penderitaan yang berkepanjangan itu telah sampai ketika fajar malam itu. Yaitu ketika mata ini tidak bisa dipicikkan. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit itu terus berlanjut. Sehingga aku tidak lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian di hadapanku. Sampai engkau benar-benar keluar ke alam dunia.

Ketika aku melihat engkau keluar ke alam dunia, bercampur airmataku pada saat itu dengan airmata tangismu. Dengan itu semua telah sirna semua keletihan dan kesedihanku. Bahkan kasihku bertambah dengan kuatnya sakitku. Aku disuruh cium dirimu sebelum aku meneguk satu tetes air.

Wahai anakku! Telah berlalu tahun dan usiamu. Sedangkan aku membawamu dengan hatiku. Memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Memberikan saripati hidupku padamu. Aku tidak tidur demi tidurmu. Aku berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Setiap harinya aku hanya berharap bahwa engkau tersenyum. Kebahagiaanku setiap saat yang aku harapkan adalah permintaanmu dari mulut mungilmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku di hari masa kecilmu.

Lalu berlalulah, sedangkan aku setia menjadi pelayan yang tidak pernah lalai. Dayang yang tidak pernah berhenti. Pekerja yang tidak pernah mengenal lelah. Mendengarkan seratus kebaikan dan taufik untukmu. Itu semua aku perhatikan demi hari per hari sampai engkau telah dewasa. Telah tegak pula badanmu. Telah nampak jiwa laki-lakimu pada tingkah laku dan keseharianmu. Saat itu pula aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan agar engkau mendapat pasangan hidup.

Datanglah hari perkawinanmu wahai anakku. Berarti hampir dekat pula kepergianmu dariku. Tatkala itu hatiku terasa teriris, airmata pun mengalir. Bertempuh kebahagiaan dengan kesedihan. Bagaimana pula tidak. Aku bahagia karena engkau akan mendapatkan pasangan. Akan tetapi bersamaan dengan itu, aku sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku. Waktu pun kembali. Seakan-akan menyeretnya dengan jalannya. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu.

Waktu sudah berlalu setelah engkau menikah. Setelah engkau berkeluarga. Setelah engkau bawa boyong istrimu dan anak-anakmu dari rumahku. Waktu bagiku agak terasa lambat, sangat lambat. Perkawinan itu menyebabkan engkau tidak lagi mengenal diriku. Senyummu telah sirna di hadapanku. Sebagaimana sirnanya matahari ditutupi oleh kegelapan malam. Suaramu telah tenggelam. Sebagaimana tenggelamnya batu dijatuhkan ke dalam kolam yang sunyi dan kelam. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakan, sudah melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Hari-hari yang dilewati terasa lama. Hanya ingin aku melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung, hanya sebatas untuk mendengar suaramu. Akan tetapi penantian tetap penantian. Penantian yang sangat panjang.

Aku selalu berdiri di pintu, hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu yang tidak pernah kunjung datang. Sampai-sampai setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah dia orangnya yang aku tunggu. Setiap kali berdering telepon, aku merasa bahwa engkau yang akan meneleponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang. Akan tetapi semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia. Harapanku hancur. Yang ada hanya keputus-asaan. Yang tersisa adalah kesedihan. Dari semua keletihan selama ini yang hinggap hanya menangisi diri dari batin yang memang telah ditakdirkan sengsara.

Anakku, ibumu tidaklah meminta banyak. Ia tidaklah menagih hal yang bukan-bukan. Satu yang ibu pinta. Satu yang ibu harapkan. Sekiranya engkau rela, jadikanlah ibumu ini sebagai sahabat, sekalipun ia sahabat yang jauh dalam kehidupanmu. Dan jangan sekali-kali engkau jadikan ibumu musuh yang engkau jauhi.

Yang ibu tagih kepadamu wahai anakku, jadikanlah rumah ibumu ini terminal. Sekalipun ia adalah terminal yang jauh. Agar engkau dapat pula sekali-kali singgah sekalipun hanya satu detik. Jangan sekali-kali engkau jadikan rumah ibumu ini adalah tempat sampah yang memang engkau tidak pernah mengunjunginya.

Anakku! Telah bungkuk pula punggungku. Dan gemetar tanganku. Badanku telah pula dimakan oleh usia. Tubuhku telah pula digerogoti oleh penyakit. Berdirinya ibu seharusnya dipapah. Duduknya ibu seharusnya dibopong. Akan tetapi, walaupun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu. Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti. Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, tentu engkau akan membalas kebaikannya dengan kebaikan. Akan tetapi, ibu yang telah berbuat banyak kepadamu. Yang telah berlalu, berletih-letih kepadamu. Mana balas budimu wahai anakku? Mana balasan baikmu? Sampai begitu keraskah hatimu setelah berlalunya hari, setelah berselangnya waktu? Setelah engkau meninggalkan ibumu di sudut rumah yang sepi lagi mungil ini.

Wahai anakku! Setiap kali aku mendengar engkau bahagia dengan hidupmu. Setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak pula aku bahagia, karena engkau adalah garapan kedua tanganku. Kiranya dosa apa yang telah aku perbuat sehingga aku engkau jadikan musuh bebuyutanmu? Ini dosanya seorang ibu? Dosa apa wahai anakku? Kiranya engkau menjadikan aku musuh bebuyutan. Engkau musuhi, engkau tidak pernah sapa, tidak pernah kunjungi, tidak pernah hampiri. Apakah aku pernah salah, satu hari dalam bergaul denganmu? Atau aku pernah berbuat lalai dalam melayanimu? Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang hina dari sekian banyak pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah? Dan mereka semua telah engkau berikan perlindungan. Mana upahku wahai anakku? Mana ganjaranku? Mana jatahku? Mengapa engkau tidak memberi sedikit perlindungan di bawah naungan kebesaranmu. Mengapa engkau tidak anugerahkan sedikit kasih sayangmu demi pengobatan derita orangtua yang lemah ini. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala menyukai orang yang dermawan. Bukankah ganjaran yang baik seharusnya dibalas dengan ganjaran yang baik?

Yang telah ibu pinta di hari-hari akhir ibu ini adalah hanya untuk melihat wajahmu. Aku tidak menginkan yang lainnya. Aku tidak menginginkan hartamu yang banyak. Tidak menginginkan kebesaranmu yang luas. Tidak menginginkan tahtamu yang tinggi. Yang ibu inginkan hanya wajahmu di hadapanku.

Wahai anakku! Hatiku serasa teriris. Airmataku mengalir. Sedangkan engkau masih sangat berarti. Karena orang-orang mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang supel dalam pergaulan. Engkau adalah seorang yang dermawan di dalam pemberian. Engkau adalah orang yang berbudi di dalam masyarakat. Akan tetapi, mana supelmu kepada ibumu? Mana dermawanmu kepada ibumu? Mana budimu kepada ibumu?

Anakku! Apakah hatimu tidak tersentuh terhadap seorang wanita tua yang lemah yang telah binasa dimakan oleh pintu berselimutkan selalu kesedihan, dan berpakaian selalu kedukaan. Karena engkau. Berbahagiakah engkau? Karena engkau telah berhasil mengalirkan airmatanya. Tapi, murka engkau! Karena selama ini engkau telah berhasil membuat sedih hatinya. Berbahagiakah engkau? Karena engkau telah berhasil memutuskan tali silaturahim dengan ibumu.

Wahai anakku! Inilah pintu surga. Maka cucilah, pergilah engkau disana. Lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis. Kumaafkan! Dan balas budi yang baik aku denganmu nanti bertemu disana. Dengan kasih sayang Allah sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah tahu. Orangtua adalah pintu tengah surga. Jika seandainya engkau menginginkan maka hilangkanlah pintu itu atau jagalah pintu.”

Anakku! Selama ini aku mengenalmu bahwa engkau adalah laki-laki yang terlalu tamak dengan pahala. Yang terlalu rakus dengan ganjaran. Yang terlalu mengharapkan ampunan dari Allah azza wa jalla. Akan tetapi, yang pasti engkau telah melupakan sebuah hadits. Engkau telah melalaikan sebuah sabda Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Sesungguhnya sebaik-baik amal di sisi Allah adalah sholat pada waktunya, kemudian berbakti kepada kedua orangtua, kemudian jihad fi sabilillah.”

Anakku! Aku adalah pahalamu. Aku adalah ganjaran yang engkau akan panggul. Tanpa engkau harus memerdekakan budak. Tanpa engkau harus banyak-banyak berinfaq. Tanpa engkau harus banyak-banyak beramal. Cukup! Engkau bahagia. Akan tetapi, yang ibu takutkan adalah sabda Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celaka! Celaka! Celaka seseorang!” Ditanya oleh sahabat, “Siapa itu ya Rasulallah?” Maka dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celaka bagi seseorang yang memperoleh kedua orangtuanya ketika mereka dalam keadaan tua. Atau salah satu dari mereka berdua. Akan tetapi, tidak membuat anak tersebut masuk surga.” Celaka seorang anak yang mendapatkan kedua orangtuanya kemudian ia tidak mendapatkan surga karena orangtuanya tersebut.

Anakku! Ibu tidak akan mengangkat keluhan ini ke langit. Ibu tidak akan adukan duka ini kepada Alloh. Karena ibu yakin sekiranya suara ini sampai ke langit, jeritan ini membumbung menembus awan. Maka yang binasa adalah engkau. Maka yang akan menimpamu adalah kebinasaan dan kesengsaraan. Kebinasaan yang tidak dapat diobati oleh obat. Yang tidak mungkin tersembuhkan oleh dokter dan tabib. Bagaimana pula aku akan mengangkatnya ke langit? Padahal engkau adalah jantung hatiku. Bagaimana pula aku akan adukan kepada Allah? Padahal engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana pula aku akan tangisi kepada Alloh azza wa jalla? Padahal engkau adalah kebahagiaan hidupku. Bangunlah nak! Uban sudah mulai merambat di atas kepalamu. Akan berlabuh masa sehingga engkau akan menjadi tua pula. Sebagaimana engkau berbuat, engkau akan memperlakukan hal yang sama. Ganjaran sesuai dengan apa yang kau perbuat. Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat dengan airmatamu kepada anak-anakmu. Sebagaimana aku telah menulisnya dengan airmataku kepadamu.

Anakku! Bertaqwalah kepada Allah. Tentang ibu. Peganglah kakinya. Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah airmatanya. Balurlah kesedihannya. Kencangkan tulang ringkihnya. Kokohkan badannya yang lapuk.

Anakku! Setelah engkau membaca surat ini maka terserah kau. Apakah engkau akan sadar dan akan kembali kepada ibumu? Atau engkau menyobek surat ini? Akan tetapi, barangsiapa yang menanam niscaya dia pula yang akan menuai.

Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakaatuh.

Dari ibumu yang selalu mencintaimu.

Inilah risalah seorang ibu kepada anaknya. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala mengumpulkan seorang anak ke pangkuan ibunya. Dan Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kasih sayangNya kepada orangtuanya. Memberikan taufik untuk berbakti kepada ibunya terkhusus. Aamiin.

No comments:

Post a Comment