Suatu hari ada vestival MTQ khusus untuk para pelacur di kota buaya, Surabaya, yang ditempatkan di Bangunsari, komplek pelacuran kelas populis terbesar di kota itu. Tiba-tiba seorang pelacur dengan pakaian ketat, eksotis dan menantang, datang dengan membawa tasbih di arena itu. Tasbihnya terus berputar, sesekali mulutnya komat-kamit, mendesahkan dzikir. Sebuah pemandangan yang ekstrim!
Acara itu cukup mengundang perhatian publik, sekaligus mengharukan dan menyayat hati. Betapa tidak, acara itu dimulai dengan pembacaan Shalawat Badar, bak pasukan hendak menuju medan pertempuran. Mereka berkerudung, sebagian berjilbab, dan sebagian berpakaian layaknya pelacur pula, seronok.
Ketika saya diundang untuk mengamati prosesi itu, saya datang pada pelacur yang bertasbih. Apa gerangan yang menimpa nasib hamba Allah yang eksostis ini? “Jangan dikira, Mas, soal hati dan jiwaku, saya tidak mau kalah dengan seorang Kiai.” Sebuah ungkapan jujur, tulus dan cukup kontroversial, tetapi benar-benar menusuk jantung saya paling dalam.
Saya terharu mendengarkan kalimat itu, bahkan airmata saya mulai mengembang tidak terasa. Saya hanya berfikir sederhana, siapa yang tahu drama terakhir dari kehidupan seseorang? Siapa tahu hari ini ia menjadi penjaja nafsu liar, di akhir hayatnya justru menjadi Kekasih Allah? Siapa tahu ia hanya melacurkan tubuhnya, sementara hati dan jiwanya hanya untuk Allah? Siapa tahu dia ini bukan pelacur, tetapi seorang gadis yang ditugaskan oleh Allah untuk menyamar sebagai pelacur? Ataukah memang dia pelacur beneran, dan memiliki tingkat spiritual yang sangat eksotis, sampai tahap paling ekstrim: dunia pelacur dan dunia spiritual dalam satu tubuh? Wallahu A’lam.
Belum selesai saya mengakhiri ketercenganan, saya dikejutkan lagi oleh jawaban yang cukup meruntuhkan seluruh dada saya, ketika saya bertanya tentang keluarga dia. “Saya seorang janda Mas, dengan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki saya sedang menghafal Al-Qur’an di sebuah pesantren, sedangkan anak perempuan saya sekolah di madrasah di kampung, ikut neneknya. Saya melacur ini untuk membiayai hidup mereka berdua, dan setiap hari saya berdoa, agar anak saya jadi Ulama yang saleh, sementara yang perempuan jadi perempuan shalihat yang berguna.”
Perempuan itu menitikkan airmatanya. Airmata itu, rasanya penuh dengan ampunan Allah. Saya melihat hatinya menangis, berluka-luka. Luka itu sepertinya jadi pledoi di akhirat nanti. Apakah Allah tega menyiksa hambaNya yang terluka seperti dirinya, sementara ia berjuang tanpa putus asa, agar dua anaknya menjadi ahli syurga?
Tuesday, December 22, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment