Sesungguhnya aqidah Islam itu adalah kesaksian bahwa tidak ada Illah (Tuhan) selain Allah dan Muhammad Itu utusan-Nya. Kesaksian semacam ini menuntut seorang muslim untuk tunduk dan patuh terhadap Allah SWT serta mengangkat-Nya sebagai satu-satunya sesembahan.
Ia harus menolak beribadat kepada sesembahan lain baik berupa berhala, thoghut, hawa nafsu, syahwat dan lain-lain. Allahlah satu-satunya pencipta yang berhak menerima pengabdian. Dialah sang penguasa, yang berhak bertindak (Maalikul Mulk), Pembuat Undang-undang, Pemberi Hidayah, Pemberi Rizki, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan, Yang Maha Menolong, Yang Memiliki Kerajaan dan Yang Maha Atas segala sesuatu. Tidak satupun dari makhluk-Nya yang bersekutu dengan-Nya dalam sifat-sifat tadi.
Akan tetapi kenyataan dewasa ini iman terhadap Allah telah menjadi iman yang gersang dan hampa bagi kebanyakan kaum muslimin. Membeku dan tidak memiliki jiwa lagi. Bagi kebanyakan kaum muslimin iman terhadap Allah hanya terbatas pada iman akan adanya Allah. Mereka mewarisi iman semacam ini dari nenek moyang mereka yang diterima begitu saja. Padahal Islam menegaskan bahwa iman harus datang dengan jalan mengamati dan memikirkan. Islampun mengharuskan manusia menggunakan akalnya pada saat beriman kepada Allah SWT.
"Katakanlah: 'Amatilah apa yang ada di langit dan di bumi. Betapa banyak ayat-ayat (bukti-bukti) dan peringatan yang tidak berguna bagi kaum yang tidak beriman" (QS Yunus: 101)
"(Dan) mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya berkata: 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka" (QS Ali Imron: 191).
Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk menjadikan imannya benar-benar muncul dari proses berfikir, meneliti dan mengamati, betapapun sederhananya proses tersebut. Ia harus menjadikan akalnya sebagai pemutus (hakim) yang mutlak dalam beriman kepada (keberadaan) Allah.
Bukti Keberadaan Allah
Untuk memahami keberadaan Allah adalah dengan melalui proses berfikir. Dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta (Al-Kaun), manusia (Al-Insan), dan kehidupan (Al-Hayaat), serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan di dunia ini. Islam telah memberi jawaban yang memuaskan atau sesuai dengan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia.
Islam memberi jawaban yang tuntas dan shohih, bahwa dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan ada Al-Khaliq (Sang Pencipta), yang mengadakan semua itu dari yang tidak ada menjadi ada. Al-Khaliq itu bersifat Wajibul wujud (wajib/pasti adanya) karena kalau tidak demikian maka ia tidak mampu menjadi Al-Khaliq. Ia pun bukan makhluk karena sifatnya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya yaitu bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan dirinya sendiri), serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain.
Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya. begitu pula dengan kehidupan (nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab penampakkan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas.
Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-benda di bumi dan di angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itupun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (azali = tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas?. Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah Al-Khaliq yang menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta.
Dalam menentukan sifat Al-Khaliq/Pencipta ini ditemukan tiga kemungkinan. Pertama, ia diciptakan oleh yang lain. Kedua ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak keberadannya. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa: kemungkinan pertama yang mengatakan bahwasanya Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab dengan demikian ia adalah mahluk yang bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya.
Demikian pula kemungkinan kedua yang menyatakan bahwasanya Ia menciptakan diri-Nya sendiri adalah kemungkian yang bathil juga. Karena dengan demikian Ia akan menjadi makhluk dan kholiq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak bisa diterima oleh akal.
Maka dari itu hanya kemungkinan yang ketigalah yang shohih, yakni Al-Khaliq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
“Dialah (Allah) Yang Awal Yang Akhir, Yang Dzahir dan yang Batin, Dan Dia Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (TQS. Al-Hadiid (57) : 3
Tuesday, December 22, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment