Tuesday, December 22, 2009

Cobaan Selalu Penuh dengan makna yang Mencerahkan Ruh

Audzubillahiminasyaitonnir
rojim...

Bismillahirrahmanirrahim...

Allahuma shali ala sayidina muhammad wa ala aliy wa shahbihi wa salim....

Sering kali ketika didera dengan cobaan, seseorang merasa pahit, dan enggan menerimanya dengan ikhlas. Mulailah sang hamba berprasangka bahwa Allah tidak lagi memperhatikannya, bahwa Allah tidak lagi menyayanginya.

Demikianlah jika manusia terlalu bising dengan duniawi. Andaikan saja ia sejenak mau menyendiri dan tafakur, maka ia akan dapat melihat hakikat yang tidak dapat dilihat orang lain, ia akan mampu mendengar di kesunyian sebuah suara yang tak terdengar oleh orang lain. Niscaya apa yang dilihat dan didengarnya dalam kesunyian akan membawakan hikmah dari cobaan yang didapatkan. Bahwa cobaan yang mendera justru adalah bentuk kasih sayang Allah kepadanya.

Terkait dengan hal ini, Syaikh Abdul Qadir Jailani ra. Dalam kitabnya Adab as-Suluk wa at-Tawasshul la Manazil Al-Muluk, berkata : Jika seorang hamba sedang diuji dengan suatu cobaan, pertama-tama ia akan berusaha mengatasinya sendiri. Jika tidak mampu, ia akan meminta pertolongan kepada makhluk Allah yang lain: kepada penguasa, pejabat, budak dunia, atau kepada dokter. Selama mampu mengatasinya sendiri, ia tidak akan kembali kepada makhluk Allah yang lain. Atau, selama cobaannya bisa teratasi dengan bantuan sesamanya, ia tidak kembali kepada Sang Pencipta.

Dan Jika masih tetap tidak bisa, baru ia akan kembali kepada Allah Azza wa Jalla, berdoa dengan rendah hati, bahkan menangis. Jika masih belum mendapatkan penyelesaian dari Sang Pencipta, ia akan bersimpuh di hadapan-Nya, berdoa dan menangis penuh rasa takut dan harap.

Lalu, Dia Yang Mahakuasa membuatnya lemah dalam doa, tidak mengabulkannya hingga ia terputus dari semua sebab. Dalam keadaan seperti ini, kekuatan mulai masuk kepadanya. Sang hamba pun mengalami fana dari semua sebab dan gerakan, tinggallah ruh. Tidak ada yang tampak selain tindakan Al-Haqq Azza wa Jalla.

Maka, timbullah keyakinan dalam dirinya bahwa pada hakikatnya, tidak ada pelaku selain Allah Azza wa Jalla. Tidak ada yang dapat menggerakkan dan mendiamkan kecuali Allah. Hanya Allah yang menguasai kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat, pemberian dan penolakan, pembuka dan penutup, kematian dan kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, juga kekayaan dan kefakiran. Dan di hadapan-Nya, ia pun menjadi seperti bayi di tangan ibunya, seperti mayat di tangan orang yang memandikannya, laksana bola di tongkat seorang pemain.

Dirinya tak berdaya dibolak-balik, diubah dan diperlakukan tuannya. Ia tidak bisa bergerak dengan sendirinya maupun menggerakkan yang lain. Ia lenyap dari dirinya dalam tindakan Sang Tuan. Ia tidak melihat selain Sang Tuan dan tindakan-Nya, tidak pula mendengar dan berpikir selain Dia.

Jika ia melihat, kepada Penciptanya ia melihat. Jika ia mendengar dan mengetahui, kepada kalam-Nya ia mendengar, dan dengan ilmu-Nya ia mengetahui. Hanya nikmat-Nya yang ia rasakan, hanya kedekatan denganNya yang membuatnya nyaman dan mulia. Ia bahagia dan tenang dengan janji-Nya, hingga ia terasing dari selain-Nya. Ia berlindung kepada-Nya dalam zikir dan munajat. Hanya kepada-Nya ia merasa yakin dan bertawakal. Dengan cahaya ma rifah-Nya ia mendapat petunjuk, mengenakan jubah dan serban cahaya, hikmah dan makrifat. Dengan ilmu yang diberikan-Nya ia mengetahui berbagai misteri, dan ia menjadi mulia dengan rahasia-rahasia kekuasaan-Nya.

Hanya yang datang dari Allah Azza wa Jalla yang didengar dan diterimanya. Lalu, atas semua itu, ia memuji, bersyukur dan berdoa.

Semoga bermanfaat

No comments:

Post a Comment