Tuesday, December 22, 2009

Bercinta dengan Tuhan

Ketika berbicara tentang iman dan taqwa otomatis yang dibicarakan adalah hubungan dengan Tuhan. Sebelum berbicara tentang hubungan dengan Tuhan, maka harus ditetapkan dulu apakah Tuhan itu ada ataukah tidak. Bagaimanapun dalam lingkungan manusia ada kelompok yang memang mempercayai adanya Tuhan dan ada kelompok yang menyatakan dirinya tidak mempercayai adanya Tuhan.

Bila manusia mempergunakan inderanya saja, ia tidak akan menemukan adanya Tuhan. Mengapa ? Karena Tuhan tidak bisa dicapai panca indera. Panca indera hanya mencapai sesuatu yang material, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang gaib dan non material. Mereka yang hanya mempergunakan indera ini tidak akan meyakini adanya Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Isroil pada masa Nabi Musa a.s.

Dan (ingatlah), ketika kalian berkata, “Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”................

Manusia yang ingin mengenal Tuhan, harus mengembangkan dirinya kepada sesuatu yang lebih tinggi. Manusia harus mengembangkan akal pikirannya, tidak sekedar mempergunakan panca inderanya saja. Seperti itulah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. yang dikisahkan dalam Al-Quran. Beliau a.s. pertama-tama melihat bintang dan menyangka itu Tuhan. Kemudian beralih kepada bulan dan kemudian kepada matahari. Ketika semua itu tenggelam menghilang, sampailah beliau a.s. kepada kesimpulan bahwa Tuhan bukan itu semua, namun Pencipta semua itu.

Bila coba dijelaskan secara matematis, tiada Tuhan artinya memulai alam semesta ini dari kosong. Kosong dioperasikan dengan operasi matematika yang mana pun tetap menghasilkan kosong. Kosong tambah kosong hasilnya kosong. Kosong kurang kosong hasilnya kosong. Kosong kali kosong hasilnya kosong. Kosong bagi kosong hasilnya juga kosong.

Bila konsep matematika itu dipahami, maka secara matematis - yang dikategorikan ilmu pasti – tidak mungkin alam semesta dimulai dari kosong (tiada apa pun). Kosong tidak dapat melakukan perubahan. Kosong tidak berdaya untuk membuat apapun.

Karena itu, alam semesta harus dimulai dari ada. Ada yang pertama secara matematis adalah satu. Satu secara matematis berdaya untuk melakukan perubahan. Satu dapat ditambah satu menghasilkan dua. Satu pertama itulah Tuhan.

Katakanlah, Dialah Allah Yang Satu

(Q.S. Al-Ikhlash : 1)

Satu ini pun merupakan eksistensi sebenarnya dari bilangan yang lain. Silahkan pecah-pecah bilangan yang mana pun. Hasil dari pemecahan itu akan menemukan satu dibalik semua itu. Dua adalah satu tambah satu. Tiga adalah dua tambah satu. Duanya satu ditambah satu. Demikian pula bilangan lainnya.

Satu merupakan Penguasa dengan kekuasaan tak terbatas. Semua bisa ditambah dan dikurangi satu. Tidak ada bilangan yang terakhir. Yang ada adalah manusia kehilangan istilah untuk bilangan tak terhingga itu.

Satu mampu membuat perubahan dan keabadian. Perubahan dapat diperoleh dengan menambah atau mengurangi dengan satu. Keabadian dapat diperoleh dengan mengalikan atau membagi dengan satu.

Allah tempat bergantung (segala sesuatu)

(Q.S. Al-Ikhlash : 2)

Dengan demikian jelaslah secara pasti keberadaan Tuhan. Pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan adalah pengingkaran terhadap akal pikiran yang sehat.

NAMA TUHAN

Tuhan dalam agama Islam bernama Allah. Allah menurut sebagian pendapat merupakan kata jadian (ism musytaq) dari asal kata ilahun. Ilahun mendapat tambahan alif lam di awalnya menjadi al-ilahu. Kemudian, dibuang hamzahnya (i-nya), sehingga menjadi Allah.

Kata ilah mempunyai beberapa makna. Di antara makna itu adalah yang sangat dicintai. Dengan demikian Allah artinya Sang Maha Kekasih – Yang Maha Sangat Dicintai.

Dengan demikian, ketika memanggil Yaa Allah, seakan terjemah maknawinya adalah Wahai Kekasih Yang Amat kucinta.

HUBUNGAN DENGAN TUHAN

Hubungan dengan Tuhan dalam bahasa agama disitilahkan dengan IMAN. Iman adalah cinta. Rosululloh Muhammad s.a.w. pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Apa yang dimaksud iman ?” Rasulullah Muhammad s.a.w. menjawab, “Mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai apapun juga selain Keduanya”.(H.R. Al-Bukhari)

Cinta mempunyai dua getaran. Pertama, harap. Kedua, cemas. Mereka yang memiliki cinta mempunyai harapan dicintai oleh Kekasihnya. Mereka yang memiliki cinta mempunyai kecemasan dimurkai Kekasihnya. Dengan pemahaman itu, mereka yang beriman adalah mereka yang mempunyai harapan dicintai Tuhan dan cemas dimurkai Tuhan.

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah yang ketika disebut nama Allah bergetarlah (wajilat) hatinya dan ketika dibacakan ayat-Nya bertambahlah cintanya (imannya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal

Q.S. Al-Anfal (8) ayat 2

Cinta adalah bahasa hati, bukan bahasa jasmani. Iman berada di hati bukan di jasmani.

Hati menurut Imam Al-Ghazali q.s. seperti sebuah cermin satu arah. Bila menghadap ke satu arah ia berpaling dari arah yang lain. Hati hanya memiliki satu cinta. Bila ia mencintai sesuatu, maka ia berpaling dari yang lain. Bila hati mencintai (beriman kepada) Allah, maka ia berpaling dari yang lain. Bila ia mencintai yang lain, ia berpaling dari Allah.

Guru-guru sufi sering menceritakan sebuah kisah sebagai ilustrasi iman. Seorang pemuda suatu ketika jatuh cinta pada seorang gadis. Ia membanjiri gadis itu dengan ungkapan-ungkapan cinta yang puitis dan indah. Lama-kelamaan gadis ini terganggu dan menanggapi pemuda itu. Gadis itu berkata, “Kata-katamu sangat indah, namun bersamaku ada saudara perempuanku yang lebih cantik. Bila kamu melihatnya, niscaya kamu akan lebih memilihnya dari pada aku. Mendengar itu, si pemuda segera berpaling. Ia celingukan – toleh kanan kiri – mencari saudar perempuan gadis itu. Saat itu pula si gadis langsung menempeleng pemuda itu seraya berkata, “Engkau pendusta. Bila engkau benar-benar mencintaiku, maka engkau tidak akan berpaling dariku dan mencari yang lain”.

Mereka yang benar-benar beriman pada Allah tidak akan berpaling dari Allah.

EKSPRESI CINTA

Cinta sebagai bahasa hati diekspresikan dengan berbagai ungkapan jasmani. Ungkapan jasmani cinta adalah mengerjakan apapun yang membuat Sang kekasih menyukai – meridoi – nya. Ungkapan itu paling tidak terdiri dari tiga hal. Pertama, selalu mengingat dengan menyebut dan memuji-muji kekasihnya. Kedua, mengobati rindu dengan menemui kekasihnya. Ketiga, melaksanakan apapun yang diperintah atau diminta kekasihnya dan menjauhi apapun yang dilarang oleh kekasihnya. Dalam bahasa agama, ketiga hal tersebut dinamakan taqwa.

Tidak dikatakan sebagai ekspresi cinta bila ketiga hal itu mempunyai latar belakang yang lain selain cinta – selain mencari rido dan kedekatan dengan kekasihnya. Latar belakang yang menjadi motivasi melakukan sesuatu dalam bahasa agama dikatakan niat. Niat yang semata karena mencari rido dan kedekatan dengan kekasihnya disebut Ikhlash.

Ekspresi jasmani itu dilatarbelakangi semata-mata demi kekasihnya itu. Latar belakang seperti itu dalam bahasa agama diistilahkan dengan ikhlash.

Dengan demikian, taqwa adalah ekspresi cinta dari manusia yang mencintai (beriman kepada) Allah. Ekspresi itu berbentuk segala hal yang membuat Allah rido dan dilaksanakan dengan ikhlash. Dengan demikian, taqwa adalah ekspresi jasmani dari cinta atau iman kepada Allah. Taqwa berbentuk zikir (mengingat dan memuji Allah), menemui Allah dan melaksanakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang Allah dengan niat yang ikhlash – semata-mata mencari rido dan kedekatan dengan Allah.

Rasululloh Muhammad s.a.w. menjelaskan bahwa tidak akan mencuri seorang pencuri ketika beriman kepada Allah dan tidak akan berzina seorang penzina ketika beriman kepada Allah.

HIKMAH KESETIAAN PADA CINTA

Mereka yang teguh – tetap setia – pada cinta dalam bahasa agama disebut dengan istiqomah. Mereka yang istiqomah akan mendapatkan ketenangan dan surga yang dijanjikan Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendiriannya, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan menyampaikan) : “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih ; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian. (Q.S. Fushshilat : 30)[]

No comments:

Post a Comment