Shahdan aku berada diantara jejalan manusia, berputar mengitari kubus hitam, Ka’bah. Tawaf... sebuah ritual bagian dari ibadah umroh. Ia bagai kehidupan, maju dan bergerak, ia juga bagai waktu..maju dan berputar. Ia tak pernah berhenti, juga dihentikan apalagi mundur. Berputar. Bergerak.
Aku berada diantara kerumunan dan himpitan jamaah. Aku hanyut diantara gumam doa & dzikir yang melenakan yang membuat aku lupa semua. Lupa ummi ayahku, anak atau suami, kakak, adikku serta sahabat, ustazd, kolega, rekanan, mitra.Kecuali diri dan diri saja.
Derap langkah dari kaki-kaki tak beralas tak mengenal usia terus mengitari kubus hitam. Terkadang berkejaran dikala tertinggal oleh sang rekan. Kami terus mengitari, ikuti sirkulasi hingga disudut rukun Yamani, lalu lari lari kecil sambil berdoa ' Robbana athina fi dunnya khasanah wa fiil akhirati khasanah waa qina 'azaban naar. Lalu memulai lagi dengan menghadap ke sudut ka’bah, dengan sekilas kecupan: 'Bismiallah Wa Allah Akbar..’
Jantungku berdegup, ada sebuah klik diqalbu, sebuah proses kimia yang hadir secara spontan. Kemistri ? Ada takjub, rasa damai berbaur haru pada sang Ka'bah. Ohh..jatuh cintakah aku? Bukan ! Bukan jatuh cinta pada sikubus hitam itu. Aku bukan penyembah Ka'bah. Entahlah. Sukar aku menggambarkan asa ini, tapi aku tahu ia hanyalah sebuah simbol keseragaman arah untuk menyembah sang Khalik kita.
Saat bergerak mendekati Ka'bah, aku merasakan bahwa arus jamaah yang melakukan tawaf ibarat anak sungai yang bergabung dengan sebuah sungai besar. Terasa semakin dekat ke pusat tekanan dari keramaian orang, semakin terdesak masuk begitu kuat ke orbit Rumah Allah, sehingga seakan-akan kita diberi sebuah kehidupan baru.
Pada putaran ketujuh..terbetik hasyrat tuk mengusap dan mengecup hajar aswad disudut kabah. Ahh..niat ini kuurungkan...ku tak mampu memerangi arus manusia yang begitu dahsyat hanya untuk mengusap atau mengecup sang batu hitam yang aku tahu kalau usapan itu tidak akan membawa manfaat atau madharat. Bukanlah sebuah syarat yang sarat untuk keafdholan tawafku.
Tafakkur: Tawaf dan sholat sunnah usai kulakukan...ada ruang tersedia cukup untukku bersimpuh sejajar dengan pintu Mu’tazam, pintu dambaan setiap jamaah.Konon siapapun yang berdoa dipintu ini permohonnya di ijabah. Begitu kuberharap.
'Ohh, apalah diri ini? Betapa kecil dan kerdil dihadapnMu ya Rabb'. Begitu keluhku disaat keningku menyentuh lantai sejuk, dalam sujudku. Lalu kumohon hampura atas dosa dan khilaf, baik yang disengaja atau tidak, yang diketahui atau tidak, yang lalu, kini dan akan datang.
Disitulah, di pintu Mu'tazam, sebagai salah satu tempat dan saat yang tepat untuk memohon kepada Allah: Ku-ucap kembali testimoniku, kesaksianku bahwa tidak ada Ilah tapi Allah, Rabbku, dan Muhammad adalah Rasulku, dan Islam sebagai Ad-din, penyerahan total dan utuh.
Ya, dipintu ini kusampaikan komitmenku akan Islamku. Sirratal Mustaqim Saat itu terasa akan kesendirianku.Yaa aku tengah sendiri... kuberjalan terseok seok menyeret kakiku tanpak terompah. Sendiri. Di Padang Masyhar yang tak berbatas luas, putih menyilaukan mata, panas... kami digiring untuk menghadiri hari hari peradilan, hari hari pembalasan dan hari-hari lainnya.
Sampai tiba saatnya aku berdiri diatas titian ‘Sirratal mustaqim...’ Lalu bagaimana aku bisa mementaskan diriku ke seberang sana..bagaimana aku bisa menginjakan kakiku tanpak terluka dan teriris oleh tajamnya Titian yang begitu berkilat menyilaiukan mata. Mampukah aku? Bisakah aku ya Rabb. Akan tergelincirkah aku, tercampakah aku di kuali NaarMu yang maha panas itu ?
Aku hanyut dengan bayang dan khayalku sendiri. Sebelum aku tahu jawabnya...mataku memanas, perih dan meluncurlah bulir bulir air mata tak tertahankan. Aku disergap oleh rasa takut. Ngeri. Aku terpenjarakan oleh rasa khauf.
Ya Rabb Tuhanku...sambil kuusap airmataku.
Penghambaanku untukMu semata, kecintaanku pada sunnah da RasulMu, kuupayakan semaksimal mungkin. Aku senantiasa menjaga istiqomahku dalam kondisi dan lingkungan apapun agar aku tidak terjerembab pada kuala jahannam kelak.
Kupejamkan mataku, lalu aku berbisik..bukankah aku selalu memohon padaMu, setiap hari, tujuh belas kali atau lebih agar aku, kami ditunjukan jalan yang lurus " Ih-dinaas-Siratal-Mustaqim".
Ya Rabb Tuhanku... Akankah semua ibadah dan amalku Engkau terima? Akankah benih kebaikan yang pernah kusemai akan mementaskanku kesebarang titian sana ? "
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya". (QS. 99:7).
Lalu aku didera lagi oleh selaksa pertanyaan. ‘Sudahkah aku meringankan beban dan kesusahan saudara-saudarakuku, sudahkah kita menyandangi tubuh mereka yang dhuafa dan rentan, mengenyangkan perutnya yang lapar...dan datang menjenguk menebar cinta dan kasih sayang ? Sudahkah?
Kalaupun iya..mestiny aku, kita ‘ tanpak mengharap dan mencari pengakuan atau pujian manusia, tanpak meninggalkan sifat berbangga diri, tidak berlaku khianat kepada sahabat dan kerabat dan membebaskan sifat hasyad atau dengki, atau menahan amarah, atau untuk tidak membeberkan kejelakan orang lain sehingga Allah Murka pada hari perjumpaan nanti.
Aku beristghfar...mataku nanar memandang motif gurat-gurat lantai marmer nan sejuk, sambil mengusap bulir-bulir air mata dipipiku... Lalu... sabarkah aku dikala ujian melanda, dikala cerca dan maki menerpaku, disaat sindiran dan cemoohan atau kritik datang bergantian memborbardir diriku ? Ikhlaskah aku ?
Belum ya Rabb? aku menggeleng kepala...’Beluuum” Sering hati yang rapuh dan mudah hiba ini begitu mudah terjerembab hingga aku sering terkecoh oleh ego dan emosiku.
Itulah sebabnya aku datang bersimpuh untuk memohon ampunan dan agar bulir air mata ini mampu membasuh dan membilas dosa serta membeningjernihkan qalbuku, mengikis karat-karat khurafat yang barangkali sempat menyelimut dikisi-kisi nuraniku. Baguskanlah akhlakku, akhlak kami, ...sehingga kami bisa mentas ke seberang Siratal mustaqim dan lulus menempati emperan JannahMu.
No comments:
Post a Comment