Tuesday, November 17, 2009

Sholat di Belakang Shaff Seorang Diri

Jika seorang muslim memasuki masjid dan menemukan jama'ah yang sedang sholat, dan tidak ada tempat dalam shaff tersebut, haruskah dia sholat (berjama'ah) di belakang mereka seorang diri, ataukah mengajak seorang jama'ah yang berada di shaff depannya untuk berdiri di sampingnya?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah.

Kami telah menyatakan dalam jawaban sebelumnya, menanggapi pertanyaan no. 41025 bahwa tidak dapat diterima sholat jama'ah di belakang shaff, seorang diri. Hal ini merupakan pendapat Imam Ahmad, dan merupakan pendapat yang disokong lebih dari satu ulama.

Sheikh Ibnu ‘Uthaymin (semoga ALLah merahmatinya) ditanya tentang persoalan ini dan dia memberikan jawaban rinci di mana beliau berkata:

Diskusi mengenai persoalan ini meliputi 2 topik:

1 – Apakah sholatnya orang yang berdiri di belakang shaff jama'ah seorang diri itu sah atau tidak?

2 – Jika kita mengatakan itu tidak sah, dan dia menemukan shaff telah penuh, apa yang harus dia lakukan?

Berkaitan dengan topik yang pertama, para ulama (semoga Allah merahmati mereka) memiliki perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.

Beberapa dari mereka mengatakan bahwa sholatnya seorang yang berdiri di belakang jama'ah seorang diri, itu sah, entah dia memiliki alasan (yang dapat dimaklumi secara syar'i) atau tidak, namun beberapa dari ulama tersebut menyatakan bahwa hal ini makruh apabila seseorang melakukannya tanpa memiliki alasan syar'i. Ini merupakan pendapat tiga Imam, Imam Malik, Syafi'i dan Abu Hanifah.

Mereka mengutip sebagai bukti bahwa sholatnya seorang wanita yang sholat di belakang shaff itu sah, dan mereka mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam kaitannya dengan aturan Islam. Dan Nabi (sallallahu 'alaihi wassalam) tidak mengatakan pada Abu Bakar untuk mengulangi sholatnya, ketika dia sujud sebelum bergabung dengan barisan (shaff). [Hadits tentang Abu Bakar yang diriwayatkan Bukhori, 783]

Dan Nabi (sallallahu alaihi wassalaam) membawa Ibnu `Abbas dari belakang untuk berdiri di samping beliau selama sholat tersebut [diriwayatkan oleh Bukhari, 117 dan Muslim, 763]. Jika diizinkan bagi seorang muslim untuk berdiri sendirian selama sebagian sholat, maka tentu diizinkan baginya untuk melakukan yang demikian itu selama keseluruhan sholat tersebut, karena jika itu membuat sholat tersebut tidak sah, maka tidak akan ada bedanya entah itu dilakukan dalam tingkatan yang lebih kecil ataupun yang lebih besar, seperti berdiri di depan imam.

Mereka menanggapi hadits yang melarang sholat dengan berdiri sendiri di belakang shaff dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksudkan adalah sholat yang dilakukan dengan cara tersebut memiliki nilai kurang (namun bukan berarti tidak sah). Ini seperti hadist di mana Nabi (sallallahu alaihi wa salaam) berkata, "Tidak ada sholat ketika makanan telah siap" [Muslim, 650], dan sebagainya.

Beberapa ulama mengatakan bahwa sholatnya seseorang yang berjamaah dengan berdiri seorang diri di belakang shaff itu tidak sah. Ini merupakan pandangan Imam Ahmad yang masyhur di antara sahabat-sahabatnya. Ada khabar lain dari beliau di mana beliau setuju dengan tiga imam lainnya.

Mereka yang mendukung pendapat ini mendasarkannya pada pemikiran rasional dan hadits:

Hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (15862) dari `Ali ibnu Shayban (rodhiyallahu anhu), di mana Nabi (sallallahu alaihi wassalam) melihat seorang lelaki sholat di belakang shaff dan ketika dia selesai, Rasul saw mengatakan padanya: "Ulangilah sholatmu, karena tidak ada sholat bagi seseorang yang sholat sendiri di belakang shaff." Ini adalah hadits hasan di mana ada khabar yang menguatkan bahwa itu adalah hadits shohih.

Sebagaimana pemikiran rasional, jama'ah (jema'at) terjadi dengan adanya kebersamaan, di mana orang-orang berada di tempat yang sama, melakukan perbuatan yang sama. Oleh karenanya orang-orang yang berjama'ah bertindak serentak, mengikuti imam, dan mereka dikumpulkan di tempat yang sama, yakni shaff. Jika kita mengatakan bahwa diizinkan bagi mereka untuk memisahkan diri satu sama lain, bagaimana mereka bisa berpadu dalam suatu jama'ah?

Para ulama ini menjawab hujjah yang dikutip oleh mereka yang mengatakan bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita berdiri sendirian mengikuti sholat berjamaah di belakang shaff laki-laki dengan mengatakan bahwa Sunnah menunjukkan kalau ini merupakan fatwa yang berlaku hanya bagi perempuan, sebagaimana pada hadits dari Anas yang mengatakan: "Anak yatim dan aku berdiri di belakang beliau -artinya di belakang Rasululullah (sallallahu alaihi wassalaam) - dan perempuan tua berdiri di belakang kami," [diriwayatkan oleh Bukhari, 234; Muslim, 658], karena yang demikian itu tidak pantas baginya untuk berdiri di samping jama'ah laki-laki.

Berkaitan dengan hadist dari Abu Bakar, dia tidak sholat sendiri kecuali untuk waktu yang singkat saja dan Rasulullah (sallallahu alaihi wasSalaam) berkata padanya: "Jangan mengulanginya lagi."

Berkaitan dengan hadits dari Ibnu Abbaas, dia tidak berdiri di belakang barisan (shaff) jama’ah, melainkan ia hanya lewat saja dan tidak untuk berdiri dan menegakkan sholat.

Berkenaan dengan pandangan mereka di mana mereka berpendapat bahwa maksud hadits yang mengatakan bahwa “tidak ada sholat bagi seseorang yang berdiri di belakang barisan (shaff) tersebut” adalah bahwa sholatnya berkurang (kualitasnya, pent) namun tetap sah, interpretasi semacam ini harus ditolak karena prinsip dasar mengenai peniadaan dalam bahasa Arab biasanya harus dapat dipahami sesuai artinya, bahwa hal yang seperti itu menunjukkan ketiadaan; jika tidak dapat ditafsiri dengan cara ini, maka harus bisa dimengerti sebagaimana artinya bahwa hal tersebut tidak sah; apabila hal ini tidak bisa ditafsirkan dengan cara ini, mudah-mudahan dapat dipahami sebagaimana makna bahwa melakukan hal yang seperti itu akan memiliki nilai kurang atau tidak sempurna. Demikianlah hadits dalam pertanyaan tersebut, mungkin tadinya dipahami dengan arti bahwa “sholatnya tidak sah itu” harus diinterpretasikan dengan cara tersebut tadi di atas.

Hal ini berhubungan dengan mereka mengutip hadits, “Tidak ada sholat ketika makanan telah siap,” interpretasi mereka mengenai tidak adanya sholat ini memiliki 2 makna:

1. Alasan untuk hal ini adalah bahwa bisa jadi pikiran menjadi kacau karena makanan yang siap. Kacaunya pikiran akibat hal tersebut bukan berarti sholatnya menjadi tidak sah, sebagaimana yang telah jelas dari hadits tentang waswasah (bisikan syaithon) di mana dikatakan bahwa syaithon datang kepada hamba Allah yang tengah sholat dan berkata,”Ingatlah ini dan ini, ingatlah ini dan ini,” yang tadinya dia tidak ingat, dan syaithon terus melakukan hal itu sampai (hamba Allah tadi) tidak ingat dia sudah sholat berapa raka’at. [Diriwayatkan oleh Bukhari, 608; Muslim, 389].

2. Hadits tersebut yang menyatakan, ”Tidak ada sholat bagi seseorang yang berdiri sendiri di belakang barisan (shaff)” secara jelas menunjukkan bahwa sholat tersebut tidak sah karena Rosul (sallallahu alaihi wa salaam) menyuruhnya untuk mengulangi sholatnya dan menyatakan bahwa alasan dari hal tersebut yakni karena tidak ada sholat bagi seorang yang berdiri sendirian di belakang (shaff).

Dalam hadits Waabisah dinyatakan bahwa Rasul (sallallahu alaihi wa salaam) melihat seorang pria sholat sendiri di belakang barisan (shaff), dan beliau menyuruhnya untuk mengulangi sholatnya. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 682; Tirmidzi, 230]

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat yang paling benar adalah bahwa berdiri di belakang shaff jama’ah adalah suatu kewajiban dan bahwa sholatnya seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaff itu tidak sah, dan dia harus mengulangi sholatnya karena dia telah mengabaikan kewajibannya untuk berdiri dalam barisan shaff jama’ah.

Tetapi kewajiban ini, seperti kewajiban lainnya, akan dibebaskan bila tidak ada ruang di dalam barisan shaff jama’ah, atau apabila seseorang tidak mampu melakukannya karena alasan syar’i yang diperkenankan, atau karena secara fisik dia tidak mampu mengerjakan kewajiban itu, karena Allah berfirman (interpretasi dari artinya):

Maka bertakwalah kamu (lakukanlah kewajibanmu) kepada Allah menurut kesanggupanmu [QS al-Taghaabun 64:16]

Dan Rasul (sallallahu alaihi wassalam) berkata: “Ketika aku memerintahmu melakukan sesuatu, lakukanlah menurut kesanggupanmu.” [Diriwayatkan oleh Bukhari, 7288; Muslim, 1227]. Jadi dia harus berdiri dalam barisan dimana saja dia menemukan ruang untuk masuk ke dalam barisan (shaff). Apabila ia tidak dapat menemukan suatu celah/ruang maka kewajiban ini terbebaskan dalam keadaan ini. Kewajiban tersebut juga terbebaskan jika seorang tidak dapat berdiri dalam barisan (shaff) karena alasan syar’i.

Sebagai suatu contoh dari skenario pertama adalah:

Jika dia menemukan barisan (shaff) jama’ah penuh, maka dia dapat sholat dengan berdiri sendiri, karena tidak ada kewajiban bagi seseorang manakala ia tidak mampu untuk memenuhinya.

Suatu contoh bagi skenario kedua adalah:

Jika seorang wanita sholat sendiri dengan sekumpulan jama’ah laki-laki, maka dia sebaiknya sholat dengan membentuk barisan (shaff) sendiri di belakang shaff jama’ah pria, sebagaimana hal tersebut dicontohkan dalam sunnah. Apa yang diajarkan dalam Sunnah dapat diambil sebagai dasar analogi untuk mengatakan bahwa seorang pria diperbolehkan untuk sholat sendiri di belakang shaff jama’ah (membentuk shaff baru sendiri) apabila dia tidak dapat menjumpai ruang pada barisan shaff di depannya, karena suatu alasan fisik adalah serupa dengan alasan syar’i.

Penjelasan:


Jika seorang datang dan mendapati bahwa barisan (shaff) jama’ah penuh, maka dia bisa maju dan berdiri di samping imam, atau dia dapat menarik seseorang dari barisan shaff di depannya untuk berdiri di sampingnya, atau dia dapat sholat dengan membuat barisan baru (sendiri, di belakang shaff yang telah penuh, penj), atau dia dapat sholat dengan jama’ah di belakang shaff.

Berkenaan dengan bergerak maju dan berdiri di samping imam:

1. Hal ini bertentangan dengan Sunnah di mana imam berdiri sendiri, terpisah dari jama’ah dengan berdiri di depan jama’ah dan melakukan gerakan sholat sebelum jama’ah. Hal ini tidak disangkal oleh fakta bahwa Rosul (sallallahu alaihi wassalaam) berdiri di samping Abu Bakar [sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, 412], karena dalam kasus ini seorang yang datang dan berdiri adalah imam yang datang dan berdiri di samping wakilnya. Selain itu, Abu Bakar tidak dapat kembali mundur dan berdiri dalam barisan shaff, dan saat itu merupakan kepentingan jama’ah agar beliau berdiri di samping Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) dan mengulang menyuarakan takbir Rasul.

2. Bagi seseorang yang mendapati barisan (shaff) penuh agar datang dan berdiri di samping imam akan menyebabkan jama’ah jengkel berkaitan dengan upayanya untuk mencapai imam.

3. Hal itu juga akan mengakibatkan kesempatan bagi orang yang datang setelahnya untuk berdiri dalam barisan shaff menjadi hilang; jika dia berdiri sendiri dengan niatan untuk membentuk barisan shaff yang baru karena shaff depan telah penuh maka saat orang lain datang setelahnya mereka bisa membentuk sebuah shaff.

Berkenaan dengan hal menarik seseorang untuk keluar dari barisan shaff untuk berdiri di sampingnya, di dalamnya terdapat 3 kesalahan gerakan:

1. Hal itu dapat menghasilkan celah di dalam barisan (shaff), dan Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) memerintahkan kita untuk membentuk barisan yang rapat dan melarang kita meninggalkan celah-celah untuk syaithon. [Ahmad, 5961; Abu Dawud, 666; dikategorikan sebagai hadits sahih oleh al-Albaani dalam al Saheehah.]


2. Yang demikian merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap orang yang ditarik keluar dari barisan dari suatu tempat yang lebih baik ke tempat yang lebih buruk.

3. Hal itu akan membuyarkan konsentrasinya dari sholatnya dan dia boleh jadi akan mendebat dan mengkritik orang yang sudah menariknya tadi ketika ia usai sholat.

Hal ini tidak berubah dengan adanya hadits yang mengkhabarkan bahwa Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) berkata pada seorang laki-laki yang dilihatnya sholat sendiri di belakang barisan:

“Mengapa kamu tidak bergabung dengan shaff atau menarik seorang keluar?” karena ini merupakan hadits dho’if yang tidak bisa digunakan sebagai hujjah. [Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al Awsat, 8/374. Haythami berkata: (hadits ini) lemah sekali].

Adapun meninggalkan jama’ah dan sholat sendiri, ini merupakan pengabaian terhadap kewajiban bagi setiap muslim yang mampu melakukan sholat berjama’ah, jadi ini adalah suatu dosa.

Sholat berjama’ah di belakang shaff serupa dengan melakukan suatu kewajiban dengan kemampuannya yang terbaik. Salah seorang yang sholat dalam jama’ah harus melakukan dua hal:

1. Sholat secara berjama’ah

2. Berdiri dalam barisan (shaff) bersama mereka.

Jika dia tidak mampu melakukan salah satu di antaranya maka dia harus melakukan hal lainnya.

Jika dikatakan bahwa sabda Rasulullah (sallallahu alaihi wassalaam),”Tidak ada sholat bagi seorang yang berdiri sendiri di belakang shaff” hal tersebut memiliki makna umum dan tidak membuat perbedaan apakah barisan (shaff) tadi penuh atau tidak, kesesuaiannya adalah bahwa hadits ini menunjukkan kalau sholatnya seorang yang berdiri sendiri tidaklah sah karena dia mengabaikan kewajiban untuk berdiri dalam barisan (shaff). Namun jika dia tidak mampu melakukannya maka kewajiban ini dibebaskan darinya. Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) tidak akan menyatakan sholat seorang tidak sah karena melakukan sesuatu yang dia tidak mampu melakukannya.

Contoh yang serupa ditemukan dalam hadits-hadits dimana Rasul (sallallahu alaihi wassalaam) berkata: “Tidak ada sholat bagi seorang yang tidak membaca Pokok Al Quran (yakni surat al Fatihah)” [diriwayatkan oleh Bukhaari, 756; Muslim, 394] dan tidak ada sholat bagi seorang yang tidak memiliki wudhu”[riwayat Imam Ahmad, 9137; Abu Daud, 101; Ibnu Majah, 399] – kalau yang terakhir ini adalah sahih. Bagi seorang yang tidak mampu menghafal al-Fatihah atau melakukan wudhu maka harus sholat tanpanya, dan sholatnya akan cukup. Tetapi dia harus menghafal bagian dari al Qur’an yang serupa panjangnya dengan al-Fatihah, atau dia harus ingat Allah (berdzikir) jika dia tidak mampu menghafal satu ayat atau satu suratpun dari Al Qur’an, dan dia harus melakukan tayyamum jika ia tidak mampu melakukan wudhu.

Sebagai kesimpulan:

Berdiri dalam barisan (shaff) merupakan kewajiban. Jika seseorang datang dan barisan (shaff) penuh, dia harus sholat berjama’ah di belakang barisan itu, dan tidak melangkah maju untuk berdiri di samping imam atau menarik seorang untuk berdiri di sampingnya, atau meninggalkan sholat berjama’ah.

Pendapat mengenai hal ini adalah bahwa diperkenankan untuk sholat berjama’ah dengan berdiri sendiri di belakang shaff jika seseorang memiliki alasan (syar’i, pent) untuk melakukannya, demikianlah pendapat Syaikh Islam Ibnu Taymiyah, dan Syaikh ‘Abdul Rahmaan asSa’di, dan ada beberapa lainnya yang mengatakan bahwa yang demikian sah pada setiap keadaan.

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa atas Alam Semesta.

I`dadul Asykar bagi Wanita

ALLah ta'ala berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ (٦٠)

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS al Anfal:60)

Kewajiban setiap muslim adalah mendakwahkan kalimat tauhid.

QS An Nahl: 125
Serulah (manusia) kepada jalan Robb-mu dengan hikmah[1] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Robbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
[1]. Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Namun apabila dakwah kepada jalan Robb kita ini dihalangi atau bahkan diperangi, maka jihad lah yang berlaku.

QS Al Baqarah: 190
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas

QS Al Baqarah: 193
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.

Ada saatnya jihadnya wanita adalah berhaji dan umroh.

Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha: Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah perempuan wajib berjihad?. Beliau menjawab: "Ya, jihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah." Riwayat Ibnu Majah dan asalnya dalam kitab Bukhari.

Namun ada kalanya, terkadang mau tidak mau wanita juga terkena kewajiban untuk berpartisipasi dalam jihad fiy sabilillah itu sendiri.

Rasulullah Saw mengikutsertakan kaum wanita dalam peperangan. Mereka mengobati orang yang terluka. Rasulullah tidak pernah memberi mereka bagian dari harta rampasan tetapi memberi mereka dari kelebihan (sisa) pembagian. (HR. Muslim)

Ibnu Qadamah Al-Hanbali berkata: Syarat orang yang terkena kewajiban jihad ada tujuh yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, tidak cacat yang fatal dan adanya biaya. (Al-Mughni 10/366) Kemudian beliau menambahkan syarat; adanya izin orang tua dan izin orang yang berhutang kepada yang menghutangi. (Al-Mughni 10/381).

Kesembilan syarat ini berlaku dalam keadaan jihad fardhu kifayah, bila jihad naik menjadi fardhu `ain maka gugurlah empat syarat yaitu, merdeka, laki-laki, izin orang tua dan izin orang yang berhutang. Jadi syarat jihad fardhu `ain hanya ada lima saja; Islam, balihg, berakal, selamat dari cacat fatal serta adanya biaya. Inipun persyaratan adanya biaya akan gugur bila musuh menyerang ke dalam negeri.

Semua ketentuan ini telah ditetapkan oleh para fuqaha berbagai madzhab yang diakui, misalnya dari kalangan madzhab Hanafi Alauddin Al-Kasani yang berfatwa: Bila seruan perang dikumandangkan oleh sebab invansi musuh kedalam negeri artinya fardhu `ain, wajib bagi setiap kepala muslim yang memenuhi syarat untuk maju berdasarkan firman Allah, “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat.” (QS Taubah 41). Maka berperanglah budak tanpa izin tuannya, ISTRI TANPA IZIN SUAMINYA, dan juga anak tanpa izin orang tuanya. (Nihayatul Muhtaj 8/85) Fatwa-fatwa yang mendukung hal ini banyak sekali.

Dari fatwa di atas, kita dapat mengetahui, bahwa ada kalanya ada saat di mana, jihad menjadi fardhu 'ain bagi setiap individu, termasuk bagi wanita (entah dia masih seorang lajang, atau sudah menjadi seorang istri). Wanita turut terjun di medan jihad, disebabkan juga oleh karena terkadang pihak tentara musuh memiliki anggota tentara-tentara wanita yang bertugas memerangi kaum muslimah. Maka mau tidak mau, wanita dari kaum muslimin juga harus turut ambil bagian menjadi benteng pertahanan bagi para muslimah dengan menangkis serangan tentara-tentara wanita kafir, murtadin, ataupun munafiqin yang menyerang kaum muslimah atau anak-anak, selain dari tugas mereka dalam mengobati orang yang terluka sebagaimana disabdakan Rasulullah tersebut di atas.

Ada kalanya, para thoghut menzalimi; menakut-nakuti kaum wanita muslimah di saat suami-suami mereka, orang tua-orang tua mereka atau kaum muslimin tidak ada untuk melindungi mereka. Ada kalanya juga kaum muslimin terpojok oleh serangan musuh, yang mengharuskan kaum muslimah untuk turun ke medan jihad melindungi saudara kandungnya atau kaum muslimin umumnya yang sedang terluka dan berperang sebisanya; membela agamanya dan demi melaksanakan sabda Rasulullah berikut.

Dari Sa’id bin Zaid radhiyallah ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: “Barangsiapa yang mati karena membela (mempertahankan) hartanya maka dia syahid. Barangsiapa mati karena membela keluarganya maka dia syahid, barangsiapa mati karena membela agamanya maka dia syahid dan barangsiapa mati karena membela darahnya maka dia syahid.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dalam kondisi seperti ini, wanita muslimah mau tidak mau harus memiliki beberapa keterampilan dan kemampuan membela diri mereka sendiri dengan kemampuan yang mereka miliki untuk menghadapi masa-masa di mana partisipasinya dibutuhkan di medan jihad atau segala kondisi yang telah dipaparkan di atas. Untuk itu, wanita juga perlu melakukan i`dad (dengan keterampilan asykar yang manapun yang dia mampui) agar bila di kemudian hari menjumpai dan harus menghadapi situasi semisal ini, mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dan melindungi kaum muslimah atau bahkan kaum muslimin lainnya.

“Kamu harus belajar memanah karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu.” (HR. Bazzar dan Thabrani)

Rasulullah saw. juga bersabda: “Lemparkanlah panahmu itu, saya bersama kamu.” (HR. Bukhari)

Sebagaimana sahabiyyah di zaman Nubuwwah, Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Beliau juga ikut berperang. Dia bercerita, "Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah saw. terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush'ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, "Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud." Begitu tangguhnya Ummu Imarah. (ص'l/muslimdaily.net)

ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR!

Semoga kaum muslimah di zaman khalaf ini dapat menjadi layaknya Ummu Imarah radiallahu anhaa.
Aamiin Yaa MuujibasSaailin

Fiqih Jihad Ust Abu Bakar Ba'asyir : JIHAD DALAM SHAF YANG TERATUR RAPI

JIHAD DALAM SHAF YANG TERATUR RAPI

Ust. Abu Bakar Ba’asyir

Zaman sekarang, kita benar-benar terjebak dalam krisis amal jama’i. Betapa susahnya menemukan mereka yang mendapatkan barokah dengan bersikap tenang dalam ketaatan terhadap Amir, serius dan tanpa banyak bicara, tetap teguh pada tugas yang telah diprogramkan. Bersikap waspada, banyak diam, sembari terus berlatih dan tidak terpengaruh situasi global hingga tujuan mereka tercapai. Sikap semacam inilah yang seharusnya dimiliki para mujahid dan ahluddin hari ini”.

(Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisy)

Dalam sebuah ayat Allah berfirman:

Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. “ (Ash Shaff: 4)

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan pentingnya pasukan jihad yang teratur dan terkendali. Dalam berbagai kitab tafsir disebutkan bahwa arti penting pasukan jihad yang terkoordinasi dengan baik terbagi dalam dua aspek;

Pertama : Adanya dalil-dalil dari nash syar’i itu sendiri

Kedua : Tuntutan kondisi kaum muslimin yang mengharuskan untuk mengambil sebab datangnya pertolongan Allah, yakni kekuatan, kekokohan dan keteguhan.

Aspek kedua muncul karena hari ini musuh umat Islam -baik itu Negara atau organisasi- telah berupaya maksimal dalam menghadapi kaum muslimin. Mereka benar-benar membekali diri dengan kekuatan yang terorganisir dan terprogram, baik dari segi persenjataan, media, kekuatan personal dan sebagainya.

Sebaliknya, tidak sedikit kaum muslimin justru bersikap ceroboh ketika menghadapi musuh. Hal ini sangat tampak ketika mereka hanya menggunakan bekal yang begitu terbatas, persiapan yang lemah dan penuh dengan ketergesaan, gerakan yang terpecah belah dan sendiri-sendiri, yang berakhir dengan terjadinya fitnah dan kerusakan yang dahsyat yang antara lain berupa hilangnya kebenaran dalam kehidupan masyarakat.

Mengapa demikian? Karena kecerobohan dalam berbagai aksi jihad yang dilakukan justru memberi kesempatan bagi thaghut untuk menghinakan Syari’at Islam dan menghapuskan jihad dari otak – benak kaum muslimin, dengan cara menangkapi para aktivisnya, memberikan citra buruk terhadap jihad dan mujahidin serta mengumumkan bahwa Islam adalah agama teror yang hina.

Allah berfirman:

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)

Jihad adalah Amal Jama’i

Meskipun jihad seorang diri termasuk jihad yang dibenarkan dan dapat mengantarkan pelakunya kepada mati syahid, tapi bukan berarti kita lantas mengabaikan manajemen sebuah peperangan yang telah dikendalikan oleh sebuah jama’ah.

Adapun alasan syar’i mengenai hal ini, adalah sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas dan bahwa Allah telah memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan kekuatan yang benar-benar cukup. Dalam rangka, memberikan rasa takut pada orang-orang kafir dan murtad.

Allah berfirman:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Al Anfal: 60)

Berdasarkan ayat di atas, seluruh kaum muslimin WAJIB menempuh semua sebab-sebab kekuatan dan berusaha keras untuk meraih kemenangan materi dan maknawi, sehingga dapat menakuti musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimin baik itu orang-orang kafir maupun munafik.

Adapun metode syar’i untuk meraihnya adalah dengan; Al-Jama’ah, Sistem Organisasi yang baik, Perencanaan yang rapi, Kepemimpinan yang kuat dan Ketaatan syar’i. Kelima unsur tersebut merupakan hal yang sifatnya darurat untuk segera dipenuhi dalam i’dad yang sesuai dengan syar’i.

Rasulullah n bersabda, “Aku memerintahkan kalian dengan lima hal yang Allah telah perintahkan aku dengannya: Mendengar dan Taat, Jihad, Hijrah dan Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Demikianlah karakter jama’iyah dari Tha’ifah Manshurah. Hari ini mereka ada, yaitu mereka yang berjihad di zaman ketika tidak adanya kekhilafahan hingga menjelang kiamat, yakni ketika seluruh nyawa orang mukmin dicabut dengan angin harum dari Yaman.

Sifat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits seputar keberadaan mereka yang sifatnya mutawatir yang berarti menunjukkan keberadaan mereka dan keberlangsungannya hingga akhir zaman.

Rasulullah n bersabda, "Akan senantiasa ada di antara ummatku suatu kelompok/jama’ah yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR. Muslim)

Dr. Abdullah Azzam berkata, Jihad adalah Ibadah Jama’iyyah yang tidak akan terlaksana, kecuali dengan adanya jama’ah yang berhadapan dengan masyarakat jahiliyyah atau masyarakat kafir. Oleh sebab itu jihad tidak akan diwajibkan di Mekah karena lemahnya kaum muslimin, sedikitnya jumlah mereka dan ketidaksanggupan mereka untuk menghadapii jahiliyyah yang mengandalkan kekuatan dan jumlah.

Adapun selama jihad itu merupakan ibadah jama’iyyah, maka yang memegang perkara ini haruslah amirul jama’ah, dan dialah yang mengumumkan jihad. (I’lanul Jihad, Dr. Abdullah Azzam, hlm.8)

Dengan demikian, apakah masuk akal jika thaifah mansurah melaksanakan kewajiban jihad dengan sendiri-sendiri tanpa bentuk jama’ah yang berpijak di atas prinsip As Sam’u wat Tha’ah? Marilah kita simak sejarah Rasulullah n dan para sahabatnya, ketika mereka belum memiliki daulah islam. Apakah mereka bergerak dalam dakwah sendiri-sendiri tanpa adanya jama’ah dan ketaatan pada Rasulullah n, ataukah mereka bergerak dalam jama’ah yang rapi dan ketaatan terhadap Amir?

Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya kalian mengikuti Al Jama’ah dan jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya syaithan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang. Barang siapa yang menginginkan intinya surge hendaknya mengikuti Al Jama’ah” (Hukmul Islam fi Ad Dimuqratiya waa Ta’adudiyyah Al Hizbiyyah: 174)

Setelah menjelaskan tentang salah satu sifat Ath Thaifah Al Manshurah, syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah memberikan peringatan bahwa meskipun jihad fie sabilillah adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim ketika tidak ada khilafah, hendaknya mereka tidak melaksanakannya secara perorangan (individu).

Karena jihad merupakan ibadah jama’I dan akan menimbulkan madharat (bahaya) jika amal jama’i ini dilakukan secara perorangan. Oleh sebab itu, antar harakah jihadiyah wajib melakukan koordinasi yang sinergis demi melaksanakan kewajiban ini. (Shifatu Ath Tha’ifah Al Manshurah Allati Yujibu An tukatsira Sawadaha Shifat II: Al Jihad Fi Sabilillah)

Tetaplah Bersabar di Jalan Allah

Sesungguhnya, jihad adalah jalan tercepat untuk menuju jannah. Betapa tidak, rasa takut yang mengguncang dada mujahidin dalam sebuah pertempuran dapat menggugurkan dosanya, juga setetes darah pertama yang menetes ke bumi dari seorang mujahid yang ikhlas dan mengharap agar ia dilihat Allah, benar-benar dapat menghapus segala dosa yang ada padanya tanpa terkecuali.

Namun menunaikan jihad fii sabilillah juga harus memperhatikan konteks riil lapangan dan adanya tingkatan kemampuan sehingga ia betul – betul tegak diatas nilai dan kaedah yang syar’I serta terbebas dari dorongan- dorongan emosi semata – mata . Karena itu Ibnul Qayyim rohimahulloh membuat paling tidak ada 13 langkah dalam 4 bagian besar menuju Jihad yang sesungguhnya .

Dalam meniti hal-hal itu , maka kita wajib bersabar sebagaimana firman Allah:

Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. ( QS Ali Imron : 146 )

Dari ayat yang mulia ini , Alloh Azza wa Jalla memberi kriteria sabar dalam tiga perwujudan yakni :

1. Tidak lemah mental dalam makna tetap bersemangat.

2. Tidak lesu yang berarti terus menerus beramal shalih. Sebab kesakitan dan pengorbanan ada nilainya di sisi Allah.

Allah berfirman:

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). jika kamu menderita kesakitan, Maka Sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 104)

3. Tidak menyerah yang menunjukan keteguhan sikap Mujahid yang hanya bersemboyan hidup mulia atau mati syahid.

Allah berfirman:

Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas, dan Allah pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Muhammad: 35)

Terkait dengan jihad dalam satu shaf perjuangan yang rapi dan kokoh maka bagi setiap anggota JAMA’AH ANSHARUT TAUHID, ingatlah bahwa kita tengah beramal jama’i. Sudah seharusnya, masing-masing kita menepati janji ( mu’ahadah ) yang kita ucapkan dan tidak melanggarnya.

Sudah seharusnya kita menyadari bahwa jika jihad pada suatu ketika menjadi fardhu ‘ain sedangkan melaksanakan syari’at al jama’ah juga fardhu ‘ain pada setiap masa, sehingga tidak selayaknya kita kemudian membatalkan salah satu diantara keduanya demi melaksanakan jihad secara sendiri-sendiri. Karena sesungguhnya, jihad adalah amal jama’i yang fardhu ‘ain.

Memang ada fenomena aneh yang berkembang, ketika seseorang membolehkan bahkan memprovokasi agar seorang Mujahid tidak perlu mematuhi Amir Jama’ahnya untuk berjihad tapi ia sendiri menuntut untuk dita’ati oleh orang yang diprovokasinya.

Jadi ia menyuruh orang bermaksiat kepada Amir agar tha’at pada kemauannya sendiri. Akhirnya, rusaklah jama’ah yang dimana seseorang telah bermu’ahadah itu, celakanya lagi , orang itu telah merasa beramal sholeh dengan merusak jama’ahnya

Oleh karena itu, kita wajib bersabar dalam jama’ah untuk melaksanakan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad secara semesta, demi menegakkan Syari’at Islam di bumi Allah.

Wajib atas kita bersabar ketika menghadapi kesempitan yang menghadang, ketika semua manusia memfitnah dan memburuk-burukkan aktifitas memperjuangkan Islam dalam sebuah amal jama’i demi tegaknya Syari’at Islam dengan dakwah dan jihad.

Wajib atas kita untuk bersabar, ketika semua manusia menimpakan penderitaan. Karena sesungguhnya, tidaklah mereka mampu menimpakan penderitaan kecuali atas izin Allah dan sesungguhnya godaan iblis dan pengikutnya itu sangatlah lemah di hadapan seorang mujahid yang betul-betul beriman.

Juga wajib atas kita nantinya, untuk bersabar dalam pertempuran. Terutama ketika Allah telah menakdirkan kita terjun di suatu daerah perang dan telah berhadap-hadapan secara langsung dengan musuh, yakni dengan tidak mundur ke belakang.

Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahannam. dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)

Maka hendaknya kita mampu bersabar untuk tidak beraksi di daerah aman yang bukan wilayah perang terbuka.

Bersabarlah! Karena sesungguhnya sifat Tha’ifah Al Manshurah adalah bersabar dalam dakwah dan jihad. Sehingga Allah Ta’ala menakdirkan datangnya pertolongan dari sisiNya kepada kaum muslimin secara keseluruhannya. Insya Alloh berjama’ah dalam ketho’atan jauh lebih barokah dan lebih berpeluang untuk menyongsong Nashrullahu Ta’ala .

Memaknai Kemudahan Dalam Al Quran Yang Disalah Arti

(TAFSIR TEMATIK AYAT-AYAT TENTANG KEMUDAHAN DALAM AL QURAN)

PENDAHULUAN

Ayat tentang kemudahan Al Quran sebagai pelajaran merupakan ayat yang cukup banyak intensitasnya digunakan sebagai dalil dalam ceramah atau khutbah oleh sebagian da’i dan mubaligh. Sebagian da’i menyatakan bahwa ayat kemudahan tersebut merupakan dalil tentang mudahnya mengamalkan syariat Islam. Beberapa keterangan lain menyebutkan bahwa kitabullah memiliki frekuensi yang sama dengan struktur kejiwaan manusia sehingga Al Quran mudah diterima sebagai pelajaran. Permasalahannya bukan benar atau salah penafsiran tersebut, namun beberapa pemaparan tersebut hanya merupakan materi ahistoris dan kurang mengakar terhadap Al Quran itu sendiri serta terkesan telah disimplifikasi.

Dalam Al Quran, Allah telah menjelaskan dalam banyak ayat bahwa Al Quran merupakan kitab yang memiliki kemudahan untuk dipelajari. Beberapa contoh ayatnya adalah sebagai berikut :

Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran? (Qs. Al Qamar, 54 :17)

Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran? (Qs. Al Qamar, 54 :22)

Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran? (Qs. Al Qamar, 54 :32)

Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran? (Qs. Al Qamar, 54 :40)

PERTAMA, BAGAIMANA KEBIJAKAN-NYA ?

Al Quran merupakan kitab yang diberikan oleh pemilik kebijakan dan pengetahuan.1 Maka kebijakan dan pengetahuan yang ada dalam Al Quran perlu dirunut kembali. Allah menurunkan wahyu dengan bahasa yang bisa dipahami oleh Rasul dan kaum-Nya sebagimana disebutkan dalam Al Quran Surat Ibrahim ayat 4 sebagi berikut :

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Ibrahim, 14 : 4 ).

Penggunaan bahasa yang dipahami oleh Rasul dan kaumnya tersebut merupakan sebuah bentuk kemudahan yang diberikan oleh Allah. Dengan demikian Allah menurunkan Al Quran dengan memberikan kemudahan, yaitu menggunakan Bahasa Arab. Hal ini Allah ditunjukkan sebagai berikut :

Maka Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.(Qs. Maryam, 19 : 97)

Sesungguhnya kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran.(Qs. Ad Dukhan, 44 : 58)

Arti kata mudah tersebut harus dipahami agar tidak terjadi penafsiran yang sembarangan yang mengarah kepada pemahaman yang salah.

Arti mudah tersebut menurut Al Quran ada 2, yaitu :

  1. Arti mudah karena diberi bayan (keterangan).

Sebagai contoh dalam Surat Al Baqarah ayat 183 -185, berikut :

183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Dalam ayat tersebut Allah menghendaki kemudahan dan bukan kesulitan. Dengan demikian apabila setiap petunjuk diberi bayinah akan menyebabkan orang yang menerima petunjuk (hudan) menjadi furqanan (bisa membedakan antara yang baik dan buruk, salah dan benar, dan lain-lain).

2. Arti mudah karena memiliki sistematika.

Jika setiap hudan (petunjuk) diberi bayan (penjelasan atau keterangan) maka akan menjadi mudah karena papaun yang diberi keterangan pasti akan mudah.

Dengan demikian arti kata mudah dalam Al quran menunjukkan adanya bayan dan sistematika. Disinilah kebijaksanaan Allah dalam memberikan kemudahan.

KEDUA, BAGAIMANA ILMIAHNYA ?

Selain memiliki sistematika, sebagai bukti keilmiahannya Al Quran memiliki methodology. Hal ini dapat dilihat dalam Al quran sebagai berikut :

  1. Allah membagi sedikit demi sedikit dan menurunkan Al Quran secara berangsur-angsur.

Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al Isra’, 17 : 106)

  1. Penurunan Al Quran secara berangsur-angsur tersebut merupakan metode deduksi yang bersifat analisis.

  2. Kemudian oleh Allah dihimpun kembali berdasarkan bacaan. Hal ini dapat kita cermati dalam Al Quran Surat Al Qiyamah, 75 : 16 -19, berikut :

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. (Qs. Al Qiyamah, 75 : 16 -19)

  1. Dapat disimpulkan bahwa dalam hal ini menggunakan metode induksi yang bersifat sintesis dan sistematis.

  2. Dengan demikian untuk mengetahui tentang tauhid dalam Al Quran kita perlu menggunakan proses berfikir deduksi dan kemudian disusun kembali dengan proses berfikir induksi secara sintesis dan sistematis.

1 Qs. An Naml, 27 : 6 sebagai berikut : “ Dan Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al qur’an dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”

Idiih, Ustadz Genit

Seorang sahabat bercerita, bahwa ia punyai kenalan seorang Ustadz, yang dengan Pe De-nya berani melototin photo-photonya sebelum akhwat tersebut berjilbab. Dan tanpa sungkan sedikitpun, Ustadz juga berani mengomentari dengan seronok bagian tubuhnya. Innalillahiwainnailahiwainnailaihiroji’uun…, MUSIBAH!

“Setiap ditanya mengenai soalan agama, dia hanya menjawab dengan mengirimkan hadits atau petikan ayat. Setiap orang ngucap terimakasih, dia jawab, terimakasihlah pada Allah. Ditanya apakah bisa menemui pada hari yang ditentukan, jawabnya tanyalah sama Allah.” begitu salah seorang sahabat mencurahkan unek-uneknya mengenai Ustadznya (sebut ini Ukhty A).”

“Aku ingin memperbaiki akhlak dan akidahku. Aku butuh bimbingan. Dan aku menemukan seorang Ustadz yang tepat untuk kutanyai tentang Islam. Ustadz ini enak diajak diskusi, pinter, Wawasannya tentang Islam cukup luas. Berbobot semua omongannya. Tapi, lama-lama aku merasa ada sesuatu yang berjalan salah antara aku dan dia. Aku merasa, dia punya perasaan lebih padaku. Aku bisa menilai dari cara dia memanggilku. Dia bilang suka, lalu sayang, akhirnya cinta. Jujur, sebenarnya aku merasa tersanjung. Tapi aku jadi kurang suka dengan situasi ini.

Hari berselang, seorang teman bercerita, dia punya kenalan seorang pria yang genit, suka mengiriminya email menggunakan bahasa asing, suka mengirim animasi berupa bunga mawar. Dan lain-lain. Pas aku tanya namanya, aku kaget banget Ukhty, ternyata oh ternyata, yang suka mengganggu temanku adalah, Ustadz yang sering diskusi dengan aku! (sebut ini Ukhty B).”

Baik Ukhty A maupun Ukhty B keduanya punyai masalah yang berbeda meskipun persoalannya masih sama. Seputar Ustadz.

Ukhty A menghadapi seorang Ustadz yang bersikap dingin dan pelit bicara. Kadang ini memang membuat jengkel dan membuat kita merasa sama sekali tidak dihargai.
Ustadz, jika kami, para akhwat bertanya, itu karena kami membutuhkan kejelasan yang perlu dijelaskan. Bukan untuk mengurai sendiri sebuah hadits atau ayat. Jika kami mampu melakukan itu, tentu kami akan melakukannya sendiri tanpa perlu bantuan antum (para Ustadz)!

Apa salahnya sih sekedar memberi sedikit penjelasan yang singkat dan padat? Menjaga izzah? Baik, itu bagus. Lantas, apakah haram bagi antum menjelaskan kepada akhwat yang benar-benar sedang butuh?

Seketika saya teringat pada salah satu kenalan, yang juga seorang Ustadz. Yang bekerja di tempat perhajian. Entah bagian apa, yang saya tahu hanya mengurus keperluan orang yang mau berangkat haji. Itu saja.

Sikap beliau dingin. Menghadapi beliau, saya juga sering mendapat perlakuan yang serupa dengan Ukhty A. Walau tidak sama persis. Bahkan kadang saya hanya dijawab dengan ucapan “Saya sibuk.” Dan tanpa ada kelanjutan. Padahal saya sangat membutuhkan jawabannya saat itu juga. “Sabar Ida, beliau memang sedang sibuk. Tunggu Ustadz selanjutnya.” Begitu saya selalu berusaha menghibur diri.

Tapi sejujurnya, menghadapi orang sedingin beliau, saya justru suka. Saya berharap bisa bertemu lebih banyak lagi orang seperti ini. Karena apa, saya merasa di sana akan ada banyak tantangan. Diantaranya melatih kesabaran.

Akhirnya, beliaupun memiliki nilai tinggi dimata saya. Saya tahu, bukan saya yang seharusnya menilai. Bahkan beliaupun tidak membutuhkan penilan dari saya. Tapi karena saya beranggapan, bahwa beliau hanya menjalankan perintah agama, untuk menjaga jarak antara dirinya dengan akhwat yang bukan mahramnya. Sekali lagi, itu bagus tentu saja. Dan saya tetap menempatkan beliau diantara orang-orang yang layak dihormati. Meskipun pelit bicara!

Tetapi perubahan memang akna selalu ada. Lebih kurang dua bulan yang lalu, saya sempat dibuat shock ketika salah seorang sahabat yang lain (sebutlah Ukhty C), mengatakan bahwa beliau (Ustadz kenalan saya ini) orangnya lucu dan menyenangkan. Sayapun bertanya-tanya, Jadi, sikap dinginnya selama ini hanya diterapkan padaku? Karena tiada sesuatu yang manarik dari dirikukah? Padahal, selama ini justru dengan sikap dinginnya itulah kesan beliau tertinggal di sini. Satu kesimpulan saya tarik dari kejadian ini (Tidak perlu saya katakan kesimpulan apa yang tercetus di sini).

Sayapun jadi curiga terhadap Ustadz, Ukhty A. Jangan-jangan beliau juga berlaku begitu hanya terhadapnya saja! Kecurigaan yang kejam memang, tapi fakta mengajari saya untuk begitu.

Ukhty B
Masalah dia lebih mengenaskan. Saya bisa membayangkan bagaimana perasaannya. Karena, jujur saya pernah mengalaminya.

Setiap wanita pasti merasakan perlakuan yang beda jika komunikasi Ustadznya semacam ini. Meskipun Ustadz memperlakukan sama pada setiap wanita. Tapi hati tiap wanita bisa punyai tanggapan lain. Karena Ustadz memakai model komunikasi yang mengundang persepsi. Memberikan panggilan mesra kepada akhwat yang ia condong kepadanya. Dan mengabaikan akhwat lain yang tidak menarik perhatiannya. Dengan alasan sibuk!

Inikah model dakwah yang dikehendaki Allah? Tidak adakah jalan lain yang tanpa mengundang persepsi yang salah?

Saya sangat kecewa dengan kenyataan ini. Hingga membuat saya kembali bertanya-tanya, apakah Ustadz yang kini berada di sekitarku juga berbuat begitu?

Ustadz, antum adalah mahluk yang mulia meskipun tidak sesempurna Rasulullah. Kami tidak akan menyebut antum dengan panggilan mulia ini jika antum tidak mengajarkan banyak hal yang bermanfaat dalam hidup kami.

Kami tidak akan menyebut antum dengan panggilan tersebut, jika kami belum tahu bagaimana orang juga menganggap antum. Kami tidak akan memanggil antum dengan sebutan Ustadz jika antum tidak memiliki apa yang tidak kami miliki.

Kami tahu tugas antum berat. Dituntut untuk tampil menjadi pribadi yang sempurna di mata masyarakat. Tapi antum tentu tidak lupa, bahwa antum ada karena dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kami tahu antum punyai tugas yang berat, karena itu Allah melebihkan derajat antum dibanding kebanyakan dari kami semua. Kami tahu terlalu berat bagi antum menjadi tempat curhat para akwat, sementara antum dituntut untuk menjaga syahwat.

Tapi Ustadz, jangan sampai kepercayaan ummat terhadap antum, terhadap sahabat-sahabat seperjuangan antum, ternodai karena ulah antum itu.

Tolong, jangan lakukan ini pada kami… Karena antum juga tahu, semua orang sepakat, bahwa perasaan wanita sangatlah sensitive.

Lagi, bayangkanlah, bagaimana jika ada seorang mualaf atau newbie ingin belajar agama Islam tapi langsung berhadapan dengan Ustadz yang kelakuannya genit semacam ini? Kalau dia sudah mendengar hitam-putihnya, mungkin dia bisa berfikir lebih terbuka. Lha kalau yang belum tahu apa-apa? Bisa-bisa dia akan membatalkan niatnya hanya gara-gara malas ketemu dan mendengarkann Ustadz yang kelakuannya genit ini? Bisa-bisa dia berfikir, ‘Ah…, ternyata Islam memang tidak bersih.’

Ustadz, antum adalah panutan. Tauladan. Orang yang mengerti batasan-batasan hukum dalam bergaul dengan non mahrom. Orang yang mengerti bagaimana seharusnya menjaga hati, menjaga pandangan. Orang yang kami percaya kelurusan akidahnya. Orang yang kami hormati dan hargai. Tolong, jangan murahkan nilai antum, karena keberadaan antum bagi kami tinggi martabat dan kedudukannya…

Dunia ini sangat sempit, jangan mengira apa yang kita lakukan tidak akan diketahui orang lain.
Kerang sangat rapat menyimpan mutiara di dalam cangkangnya, tetapi orang tetap menemukannya. Sementara orang menyimpan mayat, baunya tercium juga. Ingat itu…

Kepada Ustadz-ku, saya percaya sepenuhnya kepada antum, saya yakin antum adalah salah satu hamba pilihan-Nya. Maka itu, saya berharap, antum tidak akan pernah mempermainkan perasaan wanita. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melindungi antum dan keluarga, hingga kelak sampai di firdaus-Nya.

Ana uhibbukum fillah yaa ikhwah fillah…

Tulisan ini dibuat bukan untuk menyudutkan salah seorang. Bukan pula berniat membuka aib. Ini hanya merupakan unek-unek seorang Ida. Dan sebagai bentuk rasa sayang Ida pada antum semua. Yang berharap, agar tidak sampai ada Ustadz yang mendapat julukan buruk, GENIT atau lebih parahnya GANJEN! (mengitup istilah salah seorang Ukhty yang pernah curhat kepada ana).

Tahukah Anda Berapa Gaji Amirul Mukminin (khalifah) ???

Saya tidak mengetahui berapa gaji sesungguhnya para pejabat negara setiap bulannya sebelumnya sehingga pemerintah berencana menaikkan gajinya lebih besar. Namun, isu kenaikan gaji tersebut, oleh beberapa kalangan, dinilai akan mempertajam rasa ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Selain itu, kenaikan gaji tersebut juga tak memiliki dasar rasionalitas yang kuat.

"Jika dilaksanakan, hanya akan mempertajam rasa ketidakadilan," ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, Kamis (29/10)

Selama ini tak ada patokan yang jelas mengenai standar penggajian pejabat di Indonesia. Bila saja standar penggajian tersebut ada, alasan beban kerja tak perlu dikemukakan karena semakin tinggi beban kerja, sesuai aturan sudah ada kenaikan secara otomatis.

Argumen klasik yang kerap dikemukakan pejabat terkait rencana kenaikan gaji tersebut adalah telah dianggarkannya kenaikan gaji itu dalam tahun anggaran sebelumnya. "Ini alasan yang tak masuk akal. Toh, yang membuat anggaran juga manusia, bukan malaikat. Artinya, itu kan bisa dihapus," ucap dia.[1]

Melihat polemik itupun, aku justru menjadi tertarik untuk mencari tahu berapa besaran gaji yang diterima oleh para pejabat negara di masa zaman kekhalifahan Islam, khususnya zaman Khulafa’ur Rasyidin. Terlebih lagi, aku menjadi ingin mengetahui berapa nilai besaran gaji para khalifah Islam, sebagai pembanding. Selain itu, aku juga ingin melihat bagaimana mekanisme penggajian mereka dan apa yang menjadi dasar besaran nilai gajinya.

Setelah mencari-cari lewat mbah google dan beberapa buku sejarah khalifah milik temen kost-an selama hampir 1 pekan (tidak berturut-turut), awalnya, aku hanya menemukan sedikit informasi tentang besaran uang belanja harian Khalifah Umar bin Abdul Aziz saja. Aku berusaha mencari gaji khalifah lainnya namun belum menemukan (jika ada informasi, mohon berilah saya informasi melalui email). Sempat aku berfikir jangan-jangan khalifah itu tidak memperoleh gaji. Singkat cerita, aku menemukan informasi belanja Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yaitu sebesar 3,5 dirham per hari. Informasi ini pun kuperoleh dari eksplorasi di internet. Jadi, mohon maaf untuk keabsahan rujukannya. Saya mengharapkan ada penguatan informasi tersebut.

Sampai kemudian, aku memperoleh informasi yang lebih jelas dari e-book tentang gaji khalifah.


Alhamdulillah, aku menemukan titik terang nilai gaji khalifah di masa Khulafaur Rasyidin. Informasi ini aku temukan dari referensi e-book berjudul Early Caliphate (Khulafa’ur Rasyidin), penulis Muhammad Ali; Penterjemah Imam Musa dengan editor Bambang Dharma Putra, yang diambil dari cetakan pertama tahun 2007 oleh penerbit Darul Kutubil Islamiyah, Jl. Kesehatan IX No. 12 Jakarta Pusat 10160.

Berikut, kutipan selengkapnya, “Ketika diangkat sebagai khalifah, tepat sehari sesuahnya dia (Abu Bakar RA) terlihat berangkat jalan ke pasar dengan barang dagangannya. Umar kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkan dia bahwa di bahunya sekarang terpikul beban yang penuh kesulitan dalam kenegaraan, dan karena demikian itu mustahil baginya untuk mengejar bisnis bersamaan dengan memecahkan masalah negara. Untuk mempertahankan hidup keluarga, jawab khalifah, dia (Abu Bakar_pen) harus bekerja. Para sahabat lalu berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tanga basanya sehari-hari dan menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham baginya, yang belakangan ditingkatkan 500 dirham sebulan. Pada saat wafatnya, dia mempunyai satu sprei tua dan seekor unta, yang merupakan harta negara. Ini pun dikembalikannya kepada penggantinya, Umar (halaman 62)[2].

Dari satu referensi tersebut, saya belum menemukan lagi adanya informasi seputar gaji khalifah lainnya kecuali hanya informasi tentang belanja Umar bin Abdul Aziz atau Umar II. Informasi nilai belanja tersebut ternukil dari sebuah kisah keteladanan Umar II dalam sebuah kisahnya. Berikut kisah lengkapnya.[3]

Alkisah pada suatu hari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz disediakan makanan oleh Istrinya yang beda dari biasanya. Saat itu ada sepotong roti yang masih hangat, harum dan wangi tampak roti itu begitu lezatnya hingga membangkitkan selera.

Sang Khalifah merasa heran dan bertanya pada Istrinya: “ Wahai Istriku dari mana kau memperoleh roti yang harum dan tampak lezat ini ? “.

Istrinya menjawab “Ooh itu buatanku sendiri wahai Amirul Mukminin, aku sengaja membuatkan ini hanya untuk menyenangkan hatimu yang setiap hari selalu sibuk dengan urusan negara dan umat“.

“ Berapa uang yang kamu perlukan untuk membuat roti seperti ini “ tanya Khalifah.

“ Hanya tiga setengah dirham saja, kenapa memangnya?“ jawab sang istri

“ Aku perlu tahu asal usul makanan dan minuman yang akan masuk ke dalam perutku ini, agar aku bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT nanti “ jawab Khalifah, dan dilanjutkan pertanyaan lagi “ terus uang yang 3,5 dirham itu kau dapatkan dari mana ? “.

“Uang itu saya dapatkan dari hasil penyisihan setengah dirham tiap hari dari uang belanja harian rumah tangga kita yang selalu kau berikan kepadaku , jadi dalam seminggu terkumpulah 3.5 dirham dan itu cukup untuk membuat roti seperti ini yang halalan toyyiban “ jawab istrinya.

“ Baiklah kalau begitu. Saya percaya bahwa asal usul roti ini halal dan bersih “ kata Khalifah yang lalu menambahkan “ Berarti kebutuhan biaya harian rumah tangga kita harus dikurangi setengah dirham, agar tak mendapat kelebihan yg membuat kita mampu memakan roti yang lezat atas tanggungan umat “.

Kemudian Khalifah memanggil Bendahara Baitul Maal (Kas Negara) dan meminta agar uang belanja harian untuk rumah tangga Khalifah dikurangi setengah dirham. Dan Khalifah berkata kepada istrinya “ saya akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan, karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi “.

Subhanalaah …Cerita ini benar-benar mengandung keteladanan dari seorang Khalifah atau Presiden pimpinan negara yang begitu kuat berprinsip dan berhati-hati bahwa apapun yang dimakan dan minum harus benar2 tahu asal usul nya bahwa semua itu didapat secara halal dan benar. sebagai khalifah dia juga tak mau menggunakan serta menghamburkan uang negara untuk kepentingan pribadi. kalau biaya rumahtangganya cukup 3 dirham sehari kenapa mesti 3.5 dirham. ()

'Amr bin Muhajir berkata, "Uang belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya hanya dua dirham.” [4]

Dari 2 kisah tersebut, setidaknya ada 3 kesimpulan. Pertama bahwa besar gaji khalifah adalah sebesar 2,500 dirham setahun yang kemudian dinaikkan menjadi 500 dirham per bulan. Kedua, bahwa dari adanya uang belanja Umar II sebesar 3,5 dirham tersebut beberapa orang menafsirkan sebagai gajinya karena hakikatnya gaji khalifah adalah besaran uang belanjanya. Jadi, gaji khalifah (Umar II dalam hal ini) sebesar 3,5 dirham sehari atau sekitar 105 dirham per bulan. Ketiga, gaji umar 2 dirham sehari atau 60 dirham per bulan.

Dari ketiga kisah di atas menurut saya, yang paling jelas menyebut nominal gaji adalah sumber yang pertama, yaitu 2,500 dirham setahun yang kemudian menjadi 500 dirham per bulannya. Jadi saya lebih memilih bahwa gaji khalifah sebesar 2,500 dirham setahun (atau jika dikonversi per bulannya maka sebesar 208,33 dirham per bulan). Alasan saya karena yang secara jelas menyebut nilai gaji adalah referensi yang pertama. Sedangkan yang kedua dan ketiga tidak menyebut gaji namun uang belanja. Jadi, aku menyimpulkan bahwa gaji khalifah adalah sebesar 208,33 dirham per bulan – 500 dirham per bulan.

Menurut Wakala Nusantara, yang memberikan informasi kurs nilai tukar Dinar-Dirham terhadap rupiah, disebutkan bahwa 1 dirham adalah Rp. 29.842,- (data ini diakses pada tanggal 12 Nov 2009 pukul 13.00an). Jadi jika kita konversi ke dalam rupiah, maka gaji khalifah adalah berkisar antara Rp. 6.217.083,33 / bulan (208,33 dirham) - Rp. 14.921.000,- (500 dirham).[5]

Gaji sebesar 6 juta – 15 juta rupiah sekilas memanglah sepertinya terhitung besar. Namun jangan lupa bahwa itu merupakan gaji seorang Khalifah. Dalam istilah sekarang, itu merupakan gaji seorang Presiden yang merupakan jabatan tertinggi dalam suatu negara (Bandingkan dengan gaji Presiden-presiden negara lain!)[6]. Tanggungjawab yang sangat besar yang dipikul seorang khalifah digaji dengan uang sebesar 6-15 juta per bulan. Dan uang sebesar itu di zaman beliau merupakan kisaran nominal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi di kalangan masyarakat Muhajirin (UMR nya umat Islam saat itu), artinya masyarakat juga berpendapatan sebesar itu setiap bulannya secara umum. Bandingkan dengan gaji seorang Presiden Republik Indonesia yang konon sebesar Rp. 62,7 juta / bulan, lebih dari 4-10 kali lipat gaji seorang khalifah yang tanggungjawabnya lebih besar. Bahkan gaji seorang khalifah Islam saja tidak melebihi gaji Wapres RI sebesar Rp. 42,1 juta; ketua KPK sebesar Rp. 36,0 juta; Ketua DPR sebesar Rp. 30,9 juta; Ketua MA sebesar Rp. 24,3 juta; atau setingkat pejabat tinggi (menteri, jaksa agung, dan panglima TNI) sebesar Rp. 18,6 juta.[7] Gaji sebesar itu diberikan di tengah-tengah masyarakat saat rakyat jauh dari kesejahteraan. UMR rakyat Indonesia saja tidak ada yang lebih bear dari 2 juta rupiah per bulannya.

Namun, hanya dengan gaji sekitar 6-15 juta rupiah saja, khulafa’ur rasyidin dan Umar II mampu menjaga wibawa negara dan membuat surplus negara serta mengefektifkan pemerintahan dan yang terpenting bebas Korupsi & Kolusi. Kas Negara pun karena saking banyaknya, hampir tidak ada aliran dana keluar karena tidak ada rakyat yang miskin atau dililit hutang atau pemuda yang takut menikah karena tidak punya harta.

Bandingkan dengan Indonesia yang mencetak rekor negara terkorup Asia bahkan dunia. Para pejabatnya tersangkut kasus korupsi. Perang Cicak vs Buaya yang tidak ada hentinya yang ujung-ujungnya rebutan lahan kaplingan ghonimah”.

Sering kita mendengar bahwa kasus korupsi terjadi karena kecilnya gaji para pegawai atau pejabat negara. Oleh karena itu, gaji pejabat kemudian dinaikkan untuk mencegah korupsi. Hasilnya, gaji naik korupsi tetap sama saja. Departemen-departemen yang ”miskin” ramai-ramai berebut mengajukan renumerasi untuk meningkatkan gaji mereka sekian kali lipat yang konon juga dalam rangka mengurangi korupsi. Toh, sama saja. Kinerja pejabat tetap saja penuh korupsi, birokrasi belibet, dan tidak efektif. Kas negara selalu kosong bahkan minus a.k.a defisit.


Terlebih lagi, tidak ada standar yang jelas tentang dasar penggajian para pejabat dan pegawai negara, mengutip pendapat Mestika Zed, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang,

Selama ini tak ada patokan yang jelas mengenai standar penggajian pejabat di Indonesia. Bila saja standar penggajian tersebut ada, alasan beban kerja tak perlu dikemukakan karena semakin tinggi beban kerja, sesuai aturan sudah ada kenaikan secara otomatis.

Hal ini beda dengan standar yang dipakai oleh sistem khilafah Islam yang tersirat dalam kisah Abu Bakar saat sehari menjadi khalifah dimana ketika itu abu Bakar masih pergi ke pasar untuk berdagang padahal beliau sehari sebelumnya diangkat menjadi Khalifah.

Umar kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkannya bahwa di bahunya sekarang terpikul beban yang penuh kesulitan dalam kenegaraan, dan karena demikian itu mustahil baginya untuk mengejar bisnis bersamaan dengan memecahkan masalah negara.

”Untuk mempertahankan hidup keluarga”, jawab khalifah, ”aku harus bekerja” jawab Abu Bakar ash Shiddiq. Seketika itu pula kemudian para sahabat lalu berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tanga biasanya sehari-hari dan selanjutnya menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham baginya, yang belakangan ditingkatkan 500 dirham sebulan.

Artinya, dasar standar gaji yang dijadikan dasar penggajian khalifah adalah besaran nilai belanja kebutuhan sehari-hari khalifah tersebut bukan beratnya tanggungjawab atau prestasi apalagi sekedar penghalang agar tidak korupsi.

Maka dari dasar hal inilah muncul pendapat bahwa gaji khalifah itu didasarkan pada belanja sehari-harinya yang kemudian memunculkan pendapat bahwa gaji Umar bin Abdul Aziz sebesar 2-3,5 dirham sehari (60-105 dirham/bulan) sesuai belanja kebutuhannya. Sehingga jika dirupiahkan maka gaji Umar tidak lebih dari 5 juta rupiah, yaitu antara Rp. 1.790.520,- (60 dirham) – Rp. 3.133.410,- (105 dirham). Jika memang benar gaji seorang Khalifah saja sebesar itu gajinya dengan prestasi yang luar biasa hebatnya, lantas apalah artinya kita hari ini dengan gaji besar namun sering menuntut kenaikan gaji tanpa peningkatan prestasi. Na’udzubillah.

Meskipun gaji khalifah sebesar itu, para khalifah tidak lantas kemudian mengambil seluruh gaji itu. Mereka (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib serta Umar II) justru mengembalikan kelebihan gaji atau sisa gaji yang mereka peroleh kepada Baitul Mal (Kas Negara). Dalam arti lain, dengan gaji yang tidak besar itupun, sang khalifah masih saja mengembalikan baik sebagian maupun keseluruhannya kepada Kas Negara (lihat pada kasus Umar II di awal artikel).

Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu bakar ra,”Saya ingin membeli sedikit manisan.” Abu Bakar menjawab,”Saya tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.” Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, saya akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga saya dapat membeli manisan itu.” Akhirnya Abu Bakar pun menyetujuinya.

Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kumudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.

Namun Abu Bakar berkata,”Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar ra mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya. [8]

”Utsman tak pernah mengambil dan menerima gaji sebagai khalifah dari baitulmal. Setiap hari Jumat, Utsman berupaya untuk memerdekakan budak. Dia juga menjamin kehidupan janda dan anak yatim-piatu.” [9]

Dengan demikian, pada akhirnya penulis akhirnya mengetahui bahwa ternyata gaji para khalifah Islam tidaklah besar karena jabatan pegawai atau pejabat negara bukanlah merupakan jabatan yang ditujukan dalam rangka untuk meningkatkan kekayaan atau menumpuk harta dan mengejar karier serta mendirikan sebuah dinasti. Namun, jabatan tersebut adalah sebuah jabatan yang lebih berorientasi pada tuntutan pengabdian serta profesionalitas. Dan ternyata profesionalitas bisa berjalan tanpa didukung dengan banyaknya materi yang berlimpah. Untuk itu, aku berpesan kepada diriku sendiri bahwa banyaknya harta bukanlah tujuan utama. Jika diberikan harta yang berlimpah semoga aku bisa mensyukurinya selalu. Dan ketika memperoleh sedikit maka semoga aku bisa ikhlas menerimanya. Bagi kita semua yang telah bergaji di atas gaji khalifah, maka sesungguhnya kalian berarti seharusnya telah memiliki tanggungjawab dan kepedulian kepada umat yang lebih besar